Oleh Deni Iskandar
Genap sudah 4 bulan saya belajar hidup dan mengarungi bait-bait kehidupan di Kota Roma, Kota Abadi, Ibukota Italia. Tentu sangat berbeda jauh dengan kehidupan di negeri saya lahir (Indonesia).
Namun demikian, hari demi hari saya lalui, tidak pantas rasanya saya mengeluh, bersedih, apalagi sampai ingin segera kembali. Rasa itu jauh sekali, dan tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benak saya; maksud saya untuk kembali ke Indonesia.
Seumur hidup saya, Kota Roma, Ibukota Italia adalah kota dan negara pertama di luar negri yang tanahnya saya injak dan tempatnya saya singgahi. Terus-terang, saya belum pernah ke luar negeri sebelumnya. Ada banyak pengalaman hidup yang saya dapatkan di sini, yang tentu saja itu tidak didapatkan dan tidak dirasakan oleh teman-teman yang se-angkatan dengan saya.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa suatu waktu di dalam hidup saya, saya akan merasakan bagaimana belajar dan kuliah di Pontifical University Thomas Aquinas-Angelicum dan Universita Pontifica Gregoriana, juga di Nostra Aetate Foundation pada Dicastery for Interreligious Dialogue (NAF-DID) Office di Vatikan.
Berkat wasilah (Pertolongan melalui perantaraan) dari seorang Pastor Katolik, bernama Padre Marco, SVD, saya bisa punya kesempatan belajar di kampus-kampus Kepausan dan juga pada Dikasterium Kepausan milik negara Vatikan ini.
Saya bersyukur diberi kesempatan untuk belajar secara formal di dua kampus dan di Nostra Aetate Foundation Office, yang itu adalah tempat bekerja Padre Marco, tentang metode dan strategi serta pendasaran Gereja Katolik bekerja dan memajukan dialog lintas agama untuk perdamaian dan kerukunan global.
Saya belajar dan melakukan berbagai pengalaman untuk memperkaya diri saya ketika semuanya itu saya elaborasi dalam perbandingan dengan agama saya Islam. Sungguh-sungguh ada banyak nilai bersama yang harus kita gali, kita refleksikan dan kita cari aplikasi-aplikasi nyata agar membantu mendekatkan kita dan bekerjasama untuk kesejahteraan bersama.
Sebagai orang Indonesia, saya merasa bangga, bisa kenal dengan Padre Marco. Selain karena sosoknya yang humble (rendah hati) beliau juga sangat peduli dengan saya, yang sebenarnya bukanlah siapa-siapa. Saya bukan anak menteri, bukan anak gubernur, bukan anak walikota/bupati, bukan juga anak jenderal. Saya ini hanyalah orang kampung (gembel) yang dengan campur tangan ilahi mendapat kesempatan belajar di Uni-Eropa. Jalan ilahi selalu beda dengan pikiran dan rencana manusia.
Lepas dari itu, ada satu hal lain yang membuat saya merasa bangga bisa kenal dengan Padre Marco adalah beliau ini adalah satu-satunya orang Indonesia dan orang Indonesia pertama yang bekerja di Kuria Tahta Suci dan negara Vatikan. Negara paling kecil di dunia, yang mempunyai kedaulatan serta mempunyai teritori utama seluas 0,44 kilometer persegi, dan sekaligus ekstra teritori di Kota Roma dan sekitarnya. Negara kecil di bawah pimpinan Paus Fransiskus kelahiran Argentina ini terkenal sangat kuat pengaruhnya untuk sejarah dan peradaban dunia hingga saat ini.
Bagaimana tidak, saya yang dilahirkan dari keluarga yang bukan ningrat, apalagi mapan, koq bisa-bisanya saya diberikan beasiswa full oleh Vatikan. Bahkan lebih dahsyatnya lagi, negara Vatikan menjamin kehidupan saya, mulai dari urusan besar seperti izin tinggal, asuransi, studi, hingga tempat tinggal dan makan minum.
Rasanya tidak bosan-bosan untuk berkata: Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan pimpinan organisasi, bukan anak kiai, dan bukan anak tokoh ini. Dalam hal ini, saya kadang merasa bahwa dunia sudah mulai terbalik….!!!
Hanya dengan bermodalkan semangat dan keinginan saja saya berangkat tinggalkan kampung halaman dan belajar hal-hal baru menyangkut keagamaan di Kota Roma ini. Lain-lainnya, tidak ada. Bahkan saya ingat betul modal awal saya ketika berangkat ke Kota Roma. Tanpa Sponsor! Untungnya Tuhan itu maha baik. Dalam proses persiapan perjalanan menuju Roma, saya dibantu secara full oleh Bapak Kardinal Suharyo, Bapak Uskup Paskalis Bruno Syukur, OFM, Bang Melki Laka Lena, juga Pak Putut Prabantoro. Betapa saya berterima kasih kepada mereka. Tanpa mereka, saya tidak mungkin sampai di sini.
Dalam rumus kehidupan, saya meyakini tentang konsep Wasilah, bahwa pertolongan Tuhan akan selalu datang bagi orang-orang yang berjuang, dan pertolongan Tuhan itu diturunkan dan datang melalui manusia, yang memiliki sifat-sifat Ketuhanan.
Dalam doktrin Gereja Katolik, mungkin konsep ini mirip dengan apa yang disebut Juru Selamat. Seperti halnya, Yesus Kristus menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan, yang rela berkorban untuk umat manusia di dunia ini.
Bagi saya, konsep Juru Selamat maupun konsep Wasilah ini mirip, bahwa ada campur tangan Ilahi, ada pengorbanan, ada kebahagiaan dan keselamatan. Hanya saja, peristiwa atau konsep Juru Selamat ini lebih kepada jalan Teologi-Spiritualis.
Selama hidup di Kota Roma ini, saya menemukan dan aktif melakukan banyak pengalaman, mulai dari perjalanan spiritual, akademis hingga kepada pencarian dan pembangunan jaringan relasi persahabatan berskala internasional.
Saya menyadari bahwa peristiwa perjalanan kehidupan umat manusia hanyalah menjemput Qodo (Ketetapan) dan Qodar (Ketentuan) Tuhan yang telah digariskan di alam Ajali (Asal). Alam dimana sebelum kita dilahirkan ke dunia, kemudian Tuhan menuliskan semua kesimpulan perjalanan kehidupan umat manusia, di alam mayapada ini.
Di Kota Roma ini saya melihat banyak sekali situs-situs antik sejarah peradaban yang diabadikan dengan baik. Entah berapa ratus juta turis manca negara per-tahun datang ke kota ini. Tiap hari Roma selalu dipadati para turis.
Saya melihat banyak bangunan tua, setengah roboh, hingga patahan-patahan tembok yang dirawat dengan baik, juga banyak museum, Gedung-Gedung Basilika, terkhusus Basilika Santo Petrus di Vatikan, Basilika Santo Paulus di luar tembok Kota Roma, Basilica Santa Maria Maggiore, Basilika Santo Yohanes Lateran.
Empat Basilika ini adalah Basilika-basilika Kepausan milik Tahta Suci Vatikan. Ada ribuan gereja di Kota Roma. Ada julukan diberikan kepada Kota Roma sebagai kota seribu gereja.
Selain itu ada peninggalan paling bersejarah di sini, yaitu Colloseum, ada juga lapangan Circo Massimo, ada Piazza Venezia, ada Museum Campidoglia, ada Forum Romanum, ada Fontana di Trevi, ada Tangga Spanyol, ada Piazza del Popolo, ada Pantheon, Piazza Navona, dan tentu saja ada Vatikan yang merupakan obyek kunjungan manusia dari seluruh dunia, entah dari budaya dan agama apapun.
Rasa syukur saya tidak pernah berubah. Tidak terasa puas hanya tinggal beberapa hari lagi akan selesai dengan semua program di Roma dan Vatikan. Ramadhan juga sebentar lagi akan berakhir. Apakah Ramadhan yang akan datang, saya akan bisa berpuasa kembali seperti ini? Waallahu ‘Alam.!
Meskipun di Kota Roma ini umat muslim hanya terhitung dengan jari, namun saya harus salut dan angkat jempol untuk keramahan dan keterbukaan pemerintah dan masyarakat di sini. Karena dalam praktek beragama, umat Muslim bisa dengan bebas dan leluasa menjalankan ibadah puasa, solat berjamaah, juga berpuasa.
Sepanjang saya hidup di Kota Roma ini, saya melihat dan merasakan betul, bahwa umat Muslim di Kota Abadi ini, bisa mengekspresikan kehidupan beragamanya secara luwes. Semua hak-hak beribadahnya terpenuhi. Kalau ada Muslim yang tidak sholat atau tidak berpuasa, itu adalah persoalan pribadinya saja yang koplok, dan bukan karena orang-orang non-Muslim di sini yang mempersulit dirinya.
Di Kota Roma ada Masjid Agung yang besar, malah terbesar di Uni Eropa, dan ada juga puluhan musola-musola, yang digunakan sebagai tempat ibadah, termasuk juga Ibadah Sholat Jumat, dan juga sholat Tarawih. Salah satu mosolanya terletak di wilayah Vittorio Emanuele, bernama Musola Baitu Assalam (Rumah Keselamatan). Menariknya bahwa Mosala ini persis berdampingan dengan sebuah Gereja Katolik.
Satu hal lain lagi di Kota Roma ini yang membuat saya juga sangat bersyukur adalah bahwa, di sini, alhamdulillah, puasa saya selama bulan suci Ramadan ini lancar-lancar saja, alias tidak batal. Sahabat-sahabat Katolik yang serumah dengan saya, memberikan kepada saya apa yang saya butuhkan untuk berpuasa.
Dari Masjid Agung Roma saya mendapatkan daftar lengkap tentang jam saur, jam sholat, jam matahri terbit, jam matahari terbenam dan jam buka puasa. Semua lengkap.
Hal ini membuat puasa saya memiliki makna berbeda dan spesifik, tidak seperti di Indonesia. Sebelumnya, selama 9 tahuh lebih, selepas keluar dari Pondok Pesantren, biasanya puasa saya selalu batal. Hehehhehe… Alhamdulillah, di Kota Abadi ini, puasa saya berjalan dengan lancar.!!!!
Inilah salah satu keuntungannya kalau kita sedikit keluar dari lingkungan sempit kita untuk mengenal dunia lain. Ada banyak hal indah yang kita temukan dan membantu memperlebar horison kita, dan mengubah cara pandang dan cara paham kita. Yang kita takut-takutkan sebelumnya tidak harus semuanya benar. Saya berdoa semoga hari-hari dan malam-malam ke depannya lebih panjang, biar masih bisa tinggal lebih lama di sini.
Kata orang, kalau mau kembali lagi ke Roma, harus buang coin-coin kecil di Fontana di Trevi dengan posisi membelakanginya. Mau coba deh. Jangankan sekali, bisa berkali-kali. Mumpung masih punya banyak coin euro kecil di celengan.. Hehee…
D. Sant. Gregorio, Cellio, Rome
Kamis, 20 April 2023