Oleh P. Kons Beo, SVD
“Di dalam kehadiran Wajah Yesus itulah kita menemukan siapa diri kita” (Si Bijak)
Mari hitung seadanya. “Berapa kali, dalam sehari, tatapan wajah sesama terarah padamu, pun tatapanmu terhadap sesama?” Mungkin saja tak terlalu penting untuk menghitung jumlah. Sebab menatap atau pun ditatap adalah kelumrahan dalam keseharian. Lain ceritanya jika memang mesti bicara tentang kualitas ‘raut wajah’ atau ‘sinar mata’ dalam tatapan itu. Artinya?
Dalam tatapan itu ada gema sukacita, ceria, penuh polos, berkobar-kobar. Sinar mata itu pun membahasakan rasa peduli. Iya, aura pandangan itu ungkapkan pula belasa rasa yang dalam, yang tak tertahankan. Iya, tatapan yang sejuk atau pun sayu adalah cerita batin kita yang terpintal dan terpaut hendak berbagi.
Tatapan pun juga berkisah seputar potret romantisme. Terkonek pada kisah pandangan pertama. Di situ, saling menatap penuh pikat sungguh mendebarkan jantung. Membarakan nyanyian rindu. Menggemakan senandung jatuh cinta. Seperti lukisan, “Inilah dia tulang dari tulangku, daging dari dagingku…” (Kej ). Adam bersua si Eva di romantisme Firdaus.
Tetapi, tidakkah tatapan dalam seraut wajah sebenarnya sering juga membiaskan rasa hati penuh kepahitan? Pada wajah yang menatap kita tak sanggup sembunyikan aura suram serentak seram dari hati yang bergejolak. ‘Lihatlah bahwa aura tatapanmu itu tak mampu untuk kau sembunyikan amarah, dendam dan ketiksukaan hatimu terhadap tetangga, sahabat, rekan kerja, saudara-saudarimu sendiri, pimpinan, atau siapapun yang tak sejalan dengan segala ‘mau-maumu.’
Tatapan sarat sinis, penuh cibir, pelototan mata, hingga tak ada lemparkan pandangan atau ‘buang muka.’ Ada sesuatu yang lagi ‘bikin hati sungguh gusar serta penuh benci mendengki.’ Entah kah telah berapa kali kita sorotkan mata tajam dalam raut wajah sekian sangar? Namun….
Renungkanlah tatapan Tuhan bagi kita. “Tak pancarkan marah biar sengsara…” Itu lukisan syair sebuah lagu di Masa Prapaskah. Tuhan menatap kita ‘sungguh penuh dan terbagi.’ Di dalam segala kelebihan dan kehebatan kita.
Tuhan telalu kuat serentak lembut pula untuk menatap kedirian kita yang rapuh, lemah, tak berdaya serta segala erornya kita di hari silam dan di segala kisah kita yang dulu itu! “Tatapan mata Yesus bukanlah kebaikan hati yang sementara dan samar-samar. Ia memandang orang sebagaimana adanya.
Tatapan Yesus, Tuhan, adalah pandangan dalam ‘kebenaran yang utuh.’ Yang tak dapat disembunyikan oleh segala ‘kekuatan dan kehebatan manusiawi kita.’ Saat Tuhan menatap setiap kita, di situlah kita segera terlepas dari segala belenggu ‘kepura-puraan, dan masuk dalam terangNya.’
Si Bijak tetap ingatkan kita, “Pandangan Yesus membuka semua topeng yang kita gunakan dan menata kembali wajah-wajah palsu, yang tadinya kita tunjukan kepada dunia.” Tidak kah dalam jumpa keseharian yang sederhana hingga perdebatan penuh sengit, wajah-wajah itu sekian dipertebal dengan sekian banyak kepalsuan?
Wajah-wajah palsu itulah yang mudah dan jamak terlihat di TV dan berbagai media sosial, di hadapan publik, dan bahkan di mimbar suci sekalipun. Orang-orang nampaknya tegar dan lantang suarakan ‘seolah-olah tentang kebenaran dan kepastian. Namun semuanya dalam wajah yang dipersolek kepalsuan.’
Di situlah sesungguhnya mesti ditemukan makna terdalam dari gerak suci pertobatan. Setiap kita memang sepantasnya bergerak ‘Aku harus pulang…’ Untuk lunturkan semua harum parfum, olesan gincu, bedak dan lipstik kepalsuan.
Saat keasyikan tebalkan wajah dengan segala yang samar itu, tatapan Tuhan, sebaliknya, menuntun kita untuk berpaling padaNya. Allah sungguh rindu menatap kita. Satu refleksi alkitab tunjukan kita betapa malunya Adam dan Hawa dalam cawat untuk tutupi ketelanjangannya dari pencaharian Tuhan. Tetapi, disinyalir, ketelanjangan dalam baptis dalam Gereja awal ‘adalah tanda bahwa rasa malu sudah berakhir.’
Yang lama, usang serta telah ‘tua,’ yang ‘sudah-sudah itu’ mesti berlalu untuk ditatap penuh harapan dalam Tuhan. Terenunglah kita akan kata-kata penuh makna dari st Gregorius dari Nyssa, “Dengan melepaskan daun-daun tua yang menutup hidup kita seharusnya, sekali lagi, kita menghadirkan diri di hadapan Pencipta kita.”
Tidakkah primavera tunas-tunas jatidiri dan ziarah hidup selanjutnya menuntut keberanian serta kerendahan hati musim gugur untuk ‘lepaskan daun-daun tua dan usang?’ Iya, angin musim gugur biarkan tanggalkan semuanya yang kerontang itu. Namun ‘tatapan lembut Matahari musim semi’ adalah harapan demi derap tunas-tunas baru di langkah berikutnya.
Yakinlah tatapan Tuhan tak pernah mengadili dan menghukum walau ‘dengan sinar matanya yang lebih tajam dari matahari.’ Kata Walt Whitman, “Ia mengadili tidak seperti seorang hakim mengadili, namun seperti surya menyinari sesuatu yang tak berdaya…” Selanjutnya…?
Kini, tinggallah kita baharui cara kita menatap dunia dan sesama. Ditatap oleh Tuhan dalam kasih dan kebenaran ilahi adalah kekuatan kita untuk beranikan diri untuk menatap sesama dalam kasih dan kebenaran pula. Hal yang tak mudah dinyatakan.
Tatapan seperti itu pasti menuntut pertarungan demi ‘transformasi sinar mata dalam memandang sesama. Bola mata kristiani sungguh menembus kabut kebohongan dalam menilai orang lain. Kebohongan terbesar itu nyata saat kita “memandang orang lain tanpa belas kasihan, menutup mata kita terhadap kebaikan mereka sebagai manusia dan membebani mereka dengan dosa-dosa mereka.”
Dari Getsemani hingga ke tiang kemenangan bukit Kalvari, Yesus, Tuhan, menatap semuanya dalam kasih. “Hai teman, untuk itukah engkau datang?” (Mat 26:50). Ada tatapan dan ungkapan kasih Yesus akan Yudas Iskariot, sang pengkhianat. Di hadapan Mahkamah Agama, dapat dibayangkan tatapan sejuk Tuhan pada Petrus, yang menyangkalNya. Dan lantas, “Petrus pergi keluar dan menangis dengan sedihnya” (Matius 26:75).
Yesus, dalam deritaNya masih tetap teguhkan hati para perempuan Yerusalem yang meratapiNya. Ia menatap dan meneguhkan semuanya tetap dalam ‘kasih dan kebenaran’ itu (cf Lukas 23:27-28). Dan pada puncaknya, bukan Kasih dan Kebenaran lah yang memeteraikan semuanya? Saat Yesus sunggh larut dalam doa pada Bapa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).
Sungguh, pada akhirnya, kebenaran Injili mesti dibuktikan bahwa ‘tatapan dan kata-kata penuh benci, ketidaksukaan, amarah, dendam serta segala rancangan untuk membalas sepatutnya diluluhkan dalam pengampunan. Dan mari memulai semuanya dalam langkah baru penuh iman, harapan dan kasih serta kebesaran jiwa di dalam Tuhan sendiri.
Tuhan sungguh telah menatap kita masing-masing.
Verbo Dei Amorem Spiranti..
* Penulis, rohaniwan Katolik, tnggal di Roma