Saling Silang ‘Gagal’ dan ‘Berhasil’

Kons Beo8

Oleh : P. Kons Beo, SVD

“Hidup adalah aksi dan gairah. Oleh karena itu, butuh seseorang yang mau berbagi kecintaan dan tindakannya di saat-saat kritis yang semua orang mengira tidak ada harapan lagi…” (Oliver Wendell Holmes, penulis dan penyair Amerika, 1809 – 1894)

Bacaan Lainnya

Memang terasa sulit untuk pahami makna terdalam di balik Ucapan Selamat itu. Iya, Auguri atas kemenangan PraGib itu. Lalu dilanjutkan dengan “Proficiat untuk selamat bertugas.” Itulah yang sudah terucap di Tanah Air. Semuanya demi Prabowo-Gibran, yang bakal pasti dilantik di 20 Oktober 2024 mendatang.

AMIN dan GAMA, dua paket kompetitoris itu, sudah cukup berbesar hati untuk ucapkan Selamat memimpin negeri bagi PraGib. Padahal, bila harus dirunut balik, sebenarnya tak mudah dipikir dan dicerna akal sehat. Apalagi jika mesti didamaikan di dalam dunia rasa. Begini maksudnya…..

Sepertinya, buah dari Pilpres ini ‘diakui.’ Diterima sebagai ‘kemenangan PraGib.’ Padahal, proses untuk tiba pada muara kemenangan itu telah ditelanjangi dan dikuliti. Inti dari semuanya? Pilpres 2024 ini sebenarnya terasa mengerikan! Katakan saja sebagai dinamika pembusukan demokrasi yang menjijikkan. Itulah simpul sederhana dari dari Tim AMIN dan GAMA di persidangan sengketa. Ini belum lagi pada ‘pengadilan non formal’ di pelbagai tayangan di TV, misalnya. Kata-kata pengadilan sesat termuntahkan tak terbendung.

Suhartono dan crew-nya, para pengadil dan pemutus di Mahkamah Konstitusi itu dinilai telah ‘bermain cantik nan rapih. Penuh akal-akalannya.’ Di hari-hari persidangan itu sepertinya ada gemericik gema harapan yang membias. Marwah MK mesti ditata kembali semenjak anjlok di titik nadir pada Kisah Putusan MK 90/PUU-XXI/2023. Namun, semuanya ‘hilanglah sudah ditelan dusta.’

Tuduhan-tuduhan berat Pilpres penuh curang, toh ditangkis penuh enteng oleh MK. Intinya ‘kurang bukti’ dan itu tak sanggup yakinkan para hakim MK yang mulia, terutama yang berlima itu. Intinya Jokowi terlumputkan segala tuduhan telah bergentayangkan dalam segala aksi cawe-cawenya. Pun dari segala lalu lintas bansos – gentong babi di sana-sini. Dan bahkan Gibran yang telah dimahkotai duri tajam  nepotisme oleh discermen yuridis dianggap MK ‘tak seperti yang dituduhkan.’

Bagaimanapun suara kontra tak surut menurun. Pipres yang gagal, manipulatif, dan sarat mainkan rasa keadilan ‘publik’ tetap jelas terdengar. Sebab itulah, sebenarnya publik yang kontra itu tak perlu merasa disejukkan hatinya bahwa alhamdulilah masih ada Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arif Hidayat, yang ternilai tetap beretika. Sebab bertiga itu kokoh di jalur dissenting opinion.

Wah, jangan-jangan semuanya sebatas beda pendapat yang dikaroseri sekedar untuk alihkan perhatian, karena toh ujung-ujung Hasil Keputusan MK jelas sudah Final dan Mengikat. Sepertinya, semua yang kontra hasil Pilpres itu hendak dirayu pada alam bawah sadar di lintasan ‘kalah terhormat.’ Bahwa ‘biar kalah’ namun ‘masih ada kehormatannya pada sikap ketiga hakim yang lain itu.

Pilpres yang gagal ini disebabkan oleh proses yang awal penuh taktis nan licik, dalam dinamika selanjutnya yang suram bahkan seram pula. Jokowi yang dituduh berat telah melukai demokrasi dalam Pilpres, kini seolah-olah  hadir dalam ‘obat penenang amarah’ dalam ketiga hakim ‘beda pendapat’ itu.

Di titik lain, Pilpres yang gagal ini sepantasnya direnung dan disikapi penuh serius. Sebab publik bisa saja dijerat dalam logika kacangan nan simplisistik: “Yang kalah itu biasanya bilangnya curang, curang, curang… Untuk kami yang menang menyambut semuanya hanya dalam senyum. Sudahlah, terima sajalah kekalahan itu dan segera jabat tangan. Akui saja kemenangan pihak sebelah….

Sepantasnya, tanah air tak boleh dihibur oleh kata-kata belagu, “Kiranya Pilpres kali berikutnya akan menjadi lebih baik dari yang dilaksanakan pada tahun ini.” Yang diproyeksikan bakal mesti menjadi lebih baik, sepatutnya bertolak dari evaluasi integral-holistik Pilpres 2024 ini pada titik jelas dan suramnya, terang dan samarnya, lurus dan bercabang kelok-keloknya… Tak mudah memang!

Namun, seandainya tak demikian? Pilpres atau segala jenis ajang pesta demokrasi toh akan disiasati dalam strategi penuh curang. Tak perlu pada pertarungan gagasan, visi, serta cita-cita kepemimpinan Indonesia ke depan. Cukuplah pada siasati semuanya dengan geliat kecurangi. Curang pada mekanisme dan aturan. Dan terutama curangi apa yang menjadi ‘potensi subur kemenangan paket lawan atau tandingan.’

Untuk ‘menang’ memang harus bertindak curang. Dan terlebih pula harus bertindak sejadinya untuk amankan kecurangan itu dengan segala cara hingga pada puncak kemenangan itu. Inikah yang bakal jadi warisan pesta demokrasi untuk perhelatan yang sama di episode berikutnya?

Apapun terjadi, semuanya telah terlewati. Nada-nada suara Pilpres 2024 antara ‘gagal dan berhasil’ masih sengit di pentas ‘baku ambil kata’ dan saling bertabrakan. Itu yang terjadi di tayangan-tayangan publik serta sekian banyak medsos yang deru menggebu. Mungkin kah ini semua karena Indonesia masih terlalu lemah lembut sebatas gertak sambal ‘hak angket?’

Semuanya sepatutnya usai sudah di sini. Kini, biarlah PraGib dengan segala kekuatannya siap melaju memimpin Negeri. Semua yang berseberangan ada bagusnya tetap saja di haluan yang berseberangan itu. Dalam sikap kritis yang konstruktif.

Bagusnya, Pak Prabowo, misalnya, mesti merasa nyaman untuk tak sertakan Bu Mega dan Keluarga Besar PDIP dalam perahu koalisinya. Telah memenangkan pertarungan menuju kursi 01 legislatif kepemerintahan Negeri, kini mesti dibuktikan pula kemenangan dan kekuatan dalam memimpin negeri.

Dan juga, kiranya Prabowo mesti jeli serentak untuk menantap pihak berseberangan yang mulai bergerilya untuk ‘untuk tunjuk wajah dan stor muka’ ke dalam koalisinya. Iya, yang mulai merapat demi kabinet dan semua kepentingannya. Indonesia tak selamanya mesti dalam ‘gotong royong’ dalam segala aksi solidernya. Mesti ada sisi-sisi lain yang berjalan teguh dalam sikap kritis dan sungguh korektif. Toh, kemajuan akan dapat terasa dalam pertarungan antara ‘suara gagal dan suara berhasil.’

Jika masih disangsi, kita perlu belajar lebih banyak lagi dalam pengalaman berbangsa dan bernegara. Tak perlu kita harus bertanya dan bersandar pada gemerincing suara ‘’cincin yang bergoyang.” Begitulah kiranya jika mesti senyawa dengan Rocky Gerung yang selalu mengguntur itu…..

Verbo Dei Amorem Spiranti

* Penulis rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait