Oleh: Agustinus Tetiro
Mewarnai halalbihalal antarpara alumninya pada Rabu (24/4/2024), Golkar Institute menggelar diskusi bertema “Ekonomi Indonesia di Tengah Tantangan Ekonomi Global”. Dua pakar hadir sebagai pembicara utama: mantan Menteri Keuangan Profesor Bambang Brojonegoro (Bambroj) dan mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Rosan Perkasa Roeslani.
Bambroj memulai diskusi di hadapan kader-kader milenial (under 40) dengan melontarkan pertanyaan yang cukup provokatif, “Mampukah Indonesia bebas dari jebakan negara berpendapatan (kelas) menengah?”
Bambroj tidak langsung memberikan jawaban. Guru besar ilmu ekonomi itu mengajak peserta diskusi untuk belajar dari sejarah, baik sejarah negara sendiri, maupun sejarah bangsa lain. Indonesia perlu melakukan transformasi di tengah tantangan global, tegas Bambroj.
Menurut Bambroj, Indonesia pernah sukses melakukan tranformasi ekonomi dan industri pada akhir masa orde baru dan awal reformasi dengan ‘meninggalkan’ minyak dan berfokus pada manufaktur yang padat karya. Fokus pada manufaktur terbukti mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Bambroj yakin, kesuksesan manufaktur perlu diulang. Tentu saja, dengan memperkuat daya saing dan meningkatkan produktivitas manufaktur. Untuk hal ini, kita bisa belajar dari Jepang, Korea dan China. Ketiga negara ini sangat sukses di sektor manufaktur.
Tentu saja, Bambroj paham betul konteks dan relevansi manufaktur untuk Indonesia. Kita tidak bisa bersaing dengan Jepang, Korea dan China saat ini. Kendati demikian, kita bisa belajar dari negara sejenis seperti Chile yang sukses dalam manufaktur, terutama dalam hilirisasi tembaga.
Bambroj menegaskan, Indonesia perlu melihat dengan serius salah satu ciri negara maju yang jarang disebut di negara kita: kemiskinan yang diminimalisir sedemikian rupa dan ketimpangan yang secara relatif harus manageable.
Sementara itu, Rosan menyatakan, industri manufaktur hanya bisa berjalan baik kalau didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing global. Indonesia memiliki modal kuat, yakni bonus demografi yang harus dioptimalkan. Ini keharusan, karena secara historis, tidak butuh waktu lama bagi negara yang telah tiba pada bonus demografi akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Rosan, Indonesia juga perlu terus memahami dunia, terutama hubungan China dan Amerika Serikat (AS) yang diprediksi tensinya akan berlanjut terus. Oleh karena itu, Indonesia perlu selalu mengantisipasi kondisi ini. Kondisi ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk terus menaikkan perdagangan ke AS dan China.
Indonesia, kata Rosan, perlu memperlakukan diri sebagai ‘gadis cantik’ untuk AS dan China, sambil selalu berkompetisi secara sehat dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Penguatan diplomasi menjadi keharusan.
Ketong Mo Pilih Sapa e?
Menyimak dua tokoh di atas, Bambroj dan Rosan, kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Pertama, Indonesia memiliki peluang dan potensi menjadi negara maju. Kedua, kalau salah kelola, Indonesia bisa terjebak pada negara berpenghasilan menengah ke bawah (baca: tidak bisa mengurangi kemiskinan dan tidak mampu mempersempit ketimpangan). Ketiga, manufaktur dan proyek-proyek padat karya perlu kembali jadi prioritas. Keempat, penguatan SDM berdaya saing global menjadi keharusan.
Lalu, bagaimana dengan konteks Nusa Tenggara Timur (NTT)? Tentu saja, apa yang dikatakan Bambroj dan Rosan tidak perlu di-copy-paste 100%. Kita bisa membacanya secara kreatif sesuai konteks dan kebutuhan di NTT. Saat ini, NTT sedang disibuk-sibukkan dengan masa jelang pilkada (pilgub dan pilbup). Hampir semua grup media sosial (WAG, dll) berbicara tentang politik lokal dan suksesi pilkada.
Menurut saya, persoalan ekonomi perlu menjadi prioritas perhatian para calon kepala daerah (cakada). NTT selama ini selalu dikenal sebagai daerah tertinggal, kekurangan lapangan kerja, masalah ibu dan anak, stunting, dan lain-lain. Ini tentu saja menjadi catatan negatif.
Kendati demikian, NTT memiliki modal dan potensi yang bagus di bidang SDM. Hal ini terbukti dengan banyaknya orang NTT yang mengisi pos-pos penting di luar daerahnya, terutama di tanah Jawa.
Salah satu bukti bahwa SDM NTT tidak kalah saing adalah tampilnya beberapa nama yang saat ini digadang-gadang menjadi calon Gubernur NTT. Mereka datang dari berbagai latar belakang dan menjadi ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya, ada cagub dari kalangan akademisi seperti Frans Aba, dari kalangan eksekutif seperti Orias Petrus Moedak dan dari kalangan pengusaha seperti Fransiskus Go. Tiga nama ini tidak datang dari partai politik.
Sementara itu, dari kalangan politisi berpartai ada nama seperti Esthon Foenay (Gerindra) yang juga merupakan mantan Wakil Gubernur NTT, Ansy Lema (PDI Perjuangan) yang terkenal dengan tagline Nelayan-Tani-Ternak (NTT), dan Melki Laka Lena (Golkar) yang sangat fokus pada kesehatan dan ketenagakerjaan.
Jika keenam nama ini kemudian maju dalam pilgub-pilwagub, maka kita mempunyai banyak pilihan. Jika kita menginginkan seorang akademisi untuk mengkaji masalah-masalah ekonomi di NTT, kita punya pilihan. Jika kita menghendaki seorang eksekutif dan CEO, kita juga telah menemukan orangnya. Begitu pun, jika kita orang NTT merindukan masuknya investasi yang pada gilirannya bisa membuka banyak lapangan kerja bagi masyarakat NTT, kita telah memiliki Frans Go di dalam daftar, seseorang yang sudah kita tahu telah membuka banyak lapangan kerja bagi orang NTT dan telah membawa banyak investasi ke NTT.
Sementara itu, dari kalangan anggota DPR-RI terpilih, kita memiliki Ansy Lema dan Melki Laka Lena. Dalam konteks pesan Bambroj dan Rosan, Ansy dan Melki berpeluang membawa banyak industri manufaktur ke NTT melalui jaringan yang selama ini mereka bangun. Jika pilihan kita pada penguatan Nelayan-Tani-Ternak, Ansy bisa jadi pilihan. Apabila kita mau fokus pada isu ketenagakerjaan secara keseluruhan dan pembangunan fasilitas Kesehatan di NTT secara berkualitas, pilihan kita ada pada Melki.
Saya dengan sengaja menyebut 5-6 nama di atas secara selektif. Menurut saya, siapapun di antara mereka yang akan berpasangan dan menang saat pilkada nanti, keenam nama ini perlu terus menjalin silaturahmi dan saling belajar-mendukung untuk percepatan pembangunan NTT menuju visi Indonesia Emas 2024.
Tentu saja, kecerdasan dan kebijaksanaan warga dan pemilih sangat menentukan. Pesan saya hanya satu: kita tidak boleh mengamini dan membenarkan politik transaksional. Mari kita mendidik warga kita menjadi pemilih rasional sambil selalu menjaga keharmonisan di tengah Masyarakat Flobamorata!
- Alumnus Golkar Institute, pengurus inti Golkar Academy NTT