Gerabah Bikin Antonie ke Jakarta dan Puluhan Pekerja Bisa Beli Beras

Antonie Nae asyik dengan usaha gerabahnya

Oleh: Yosman Seran

Bangunan gedungnya sudah termakan usia. Berdinding pelepah dan atap seng pun terlihat sudah mulai berkarat. Bagian lantainya masih beralaskan tanah. Bangunan tua ini  berukuran kurang lebih 6 x 12 meter.

Bacaan Lainnya

Di dalam gedung tua itu, Antonie Nae (65) duduk  bersimpuh sambil kedua tangannya membentuk bongkahan tanah liat untuk dijadikan sebuah gerabah berukuran kecil di Dusun Lor, Desa Webriamata, Kecamatan Wewiku, Kabupaten  Malaka, Nusa Tenggara Timur  (NTT).

Ia tak lelah mencetak puluhan gerabah setiap hari. Mulai dari ukuran paling kecil hingga besar. Pembuatan gerabah sudah menjadi rutinitasnya setiap hari. Aktivitasnya dari pagi sampai malam.

“Kalau banyak pemesan, kami kerja dengan malam juga. Dulu belum ada listrik. Saya dan anggota buat gerabah pakai lampu lantera dan lampu gas,” kata Antonie, Rabu (10/1/2024).

Ia menekuni seni pembuatan gerabah sejak tahun 1995. Usaha ini  ditekuninya setelah dua tahun mengikuti pelatihan di Lombok, Mataram, NTB tahun 1993 silam. Sudah 30 tahun Antonie bergelut dalam dunia seni pengrajin gerabah.

Tak heran, kulit tangannya terlihat mulai keriput. Urat tampak jelas menjalar pada pergelangan tangan dan jari-jemarinya. Tubuhnya sedikit mulai membungkuk, namun Antonie masih tegar merakit gerabah di dalam bangunan tua itu.

Banyak bantuan yang mengalir ke ‘dapur’ Antonie. Selain alat pembuatan gerabah, ada dua gedung yang dibangun sebagai dukungan untuk usaha Ibu Antonie dan anggota kelompoknya. Dua bangunan itu berbeda bentuk. Satu bangunan berbentuk panggung dengan ketinggian 1,5 meter, luas ruangannya 5 x 6 meter, sebagai tempat penyimpanan gerabah yang sudah siap didistribusikan. Satu bangunan lainnya berlantaikan tanah yang dimanfaatkan untuk tempat pembuatan gerabah. Dua gedung sederhana itu dibangun sejak tahun 1997 oleh seorang donatur asal Selandia Baru.

Gerabah-gerabah buatan Malaka

Antonie memulai kariernya sebagai pengrajin gerabah dengan membentuk kelompok sebanyak 25 anggota pada tahun 1995, ketika Kabupaten Malaka belum mekar dari Kabupaten Belu. Memang tidak mudah memulai sebuah pekerjaan, apalagi berurusan dengan seni. Meskipun berjalan bertatih-tatih, namun benar, usaha memang tidak mengkhianati hasil.

Rupanya Antonie semakin mendalami pembuatan gerabah, sehingga pada tahun 1995, ia bersama 4 anggota lainnya diminta ikut pelatihan kedua kalinya di Desa Banyumulek, Lombok Barat, NTB, guna mengetahui model gerabah terbaru. Pelatihan berjalan selama dua minggu lamanya.

Waktu terus mengalir. Ratusan bahkan ribuan gerabah terus dicetak dan menghasilkan uang jutaan rupiah.

“Saya pernah ke Jakarta bawa gerabah didampingi dua pegawai dari dinas perdagangan dan perindustrian Provinsi NTT. Gerabah yang saya bawa ke Jakarta habis terjual. Total uangnya Rp 8.300.000. Gerabah bikin saya ke Jakarta. Saya baru pertama kali ke Jakarta waktu itu, tepatnya di Senayan. Saya tidak tahu Senayan itu ada di mana, intinya gerabah ini bisa terjual,” kata Antonie polos.

Antonie membawa beberapa buah gerabah ukuran besar sebanyak 5 buah, ukuran sedang sebanyak 10 buah, dan ukuran kecil sebanyak empat lusin.

“Waktu itu saya ragu, takut tidak laku. Sudah jalan jauh, gerabah dimuat pakai pesawat gratis lagi, ada uang makan, uang penginapan, total semua sebanyak 15 juta waktu itu. Kalau tidak laku, saya malu dan takut dengan dua pegawai pendamping dari Dinas Perindag Provinsi NTT itu kecewa. Bikin malu-malu saja,” ungkapnya.

Gerabah yang diproduksi Antonie bersama anggota ‘Kelompok Karasaen’ (nama kelompok) selalu dibawa ke Kupang dalam setiap kali perlombaan pada acara pameran di Kupang.

“Gerabah dari Malaka memiliki kekhasan karena bermotif mengikuti tenunan kain Malaka. Unik dan berbeda dengan pembuatan gerabah dari luar NTT. Kami pernah mendapat juara di Kupang. waktu itu ada pameran di Fatuleu,” jelas Antonie.

Dari pembentukan awal kelompok beranggotakan 25 orang, akhirnya bertambah bahkan meningkat sampai 100 lebih. Semua aktif membuat gerabah setelah berkecimpung dalam usaha seni ini. Namun sebagian dari mereka akhirnya harus keluar karena tidak bertahan. “Kalau tidak seni memang tidak bisa. Tidak tahan,” ungkap Antonie.

Setelah mengikuti pelatihan kedua kalinya, Antonie mengikuti lagi pelatihan pada tahun 1998 dan 2014 di Lombok Timur, NTB.

“Empat kali latihan tapi tidak semua diajarkan. Kita putar otak sendiri. Kita pergi orang kas tunjuk semua, eee..tidak, otak juga harus bermain. Kita juga harus seni. Ilmu itu memang mahal,” ungkap Antonie dalam dialeg khas Malaka.

Pembuatan gerabah Malaka mengalami ‘bencana’ di saat pandemi Covid-19 melanda sebagian besar belahan dunia, termasuk Kabupaten Malaka. Banyak anggota satu demi satu mundur karena tingkat pembeli gerabah menurun drastis, bahkan hampir tidak ada.

Kegiatan-kegiatan seperti pameran pun tidak ada, sehingga Antonie bersama anggota kelompoknya mengalami kesulitan. Pasang surut anggota tentunya berdampak pada jumlah pembuatan gerabah. Produksi gerabah pun ikut menurun.

Gerabah yang dibawa ke tempat pameran tidak sedikit. Dalam jumlah banyak. “Kami biasa muat di dua sampai tiga truk. Anggota banyak sehingga kami kumpul uang pakai sewa. Kami sewa satu truk Rp 1.500.000. Semua anggota senang karena pulang pasti bawa uang,” ungkap Antonie.

Gerabah yang dibuat berbagai bentuk. Ada ukuran besar, sedang dan kecil. Tidak hanya satu jenis. Ada beberapa jenis. Mulai dari tempat lilin, asbak rokok, celengan, piring, cangkir, cerek, botol sopi, vas bunga, dan beberapa jenis lainnya.

Gerabah jenis vas bunga dengan ukuran tinggi 1,80 cm maksimal dijual dengan harga 1 juta. Ukuran sedang dengan tinggi 50 cm dijual dengan Rp 500.000. Ada ukuran yang dijual dengan Rp. 25.000, dan paling kecil seperti tempat simpan lilin dijual dengan harga Rp. 10.000.

Pasca pandemi Covid-19, usaha ini mulai surut. Banyak anggota pun mulai hengkang karena tidak berpenghasilan. “Saat ini anggota yang masih tersisa hanya 30 orang pengrajin saja. Ada yang sudah meninggal. Pembeli pun menurun. Dua hingga tiga bulan baru ada pembeli. Itu pun cuman 2 gerabah atau paling tinggi 3 buah gerabah saja,” kata Antonie.

Tidak hanya itu, kelompok Karasaen yang diketuai oleh Antonie pun mulai kesulitan mendapatkan modal usaha. “Kami bisa bertahan dengan meminjam di koperasi harian tetapi bukan untuk bayar anggota pengrajin, tapi hanya untuk bertahan agar usaha seni ini tidak hilang. Selama ini anggota mereka tidak susah makan. Mereka bisa beli beras dengan pembuatan gerabah. Kalau dulu masih di kabupaten Belu, Dinas Perindag Belu tukar gerabah dengan beras,” kata Antonie.

Meskipun demikian, ia terus mencetak gerabah. Sebelum Covid-19, Antonie diminta untuk memberi pelatihan di beberapa tempat di NTT. “Saya pernah diminta beri pelatihan di Camplong dan satu kampung di Oesao sana. Waktu itu dong (mereka) minta saya dan bayar saya satu hari Rp  500.000 per hari. Mereka hitung per hari. Kegiatan selama satu minggu,” ujarnya.

Tidak hanya di Pulau Timor. Antonie juga melanglang buana sampai Pulau Flores, tepatnya di Kabupaten Ende, di salah satu kecamatan yang tidak disebutkan nama tempat tersebut, Antonie membagikan pengalamannya melalui pelatihan pembuatan gerabah.

Bagi Antonie, pelatihan selama satu minggu bukan waktu yang cukup untuk pembuatan gerabah. Harus dua minggu, karena sampai pada proses pembakaran gerabah sehingga tidak asal bakar. Kelompok pengrajin yang dibangun Antonie memiliki peralatan yang cukup lengkap. Mulai dari proses pembuatan hingga alat yang digunakan untuk pembakaran gerabah.

Sementara itu, Yasinta Hoar (52) Bendahara Kelompok Karasaen mengatakan, merasa bersyukur karena selama ini Ibu Antonie sangat membantu warga di Dusun Lor, bahkan dari dusun lain di Desa Webriamata pun terlibat dalam pembuatan gerabah demi mendapatkan uang. Namun saat ini pemasaran hampir tidak ada sehingga modal juga ikutan mati.

“Saya bersyukur adanya usaha pembuatan gerabah. Tapi mau bagaimana lagi, sekarang ini modal tidak ada. Padahal peralatan masih baik dan lengkap,” kata Yasinta.

Pemerintah pusat pernah membantu peralatan berupa alat putar sebanyak 20 unit. Alat putar 20 unit tersebut masih kurang karena pengrajin gerabah lebih dari 20 orang. Solusinya dibuat sendiri sebanyak 20 unit, sehingga totalnya mencapai 40 unit alat putar. Selain alat putar, kelompok gerabah karasaen juga dapat bantuan peralatan yang cukup lengkap.

Selain modal, pemasaran pun menjadi kendala terbesar saat ini. Sebelum Covid-19, anggota tidak susah. “Dulu sebelum covid-19, kami tidak susah. Selalu ada uang karena gerabah selalu laris di setiap acara pameran. Tapi sekarang susah. Makanya kita kerja banyak-banyak juga mau jual di mana. Kita tunggu pameran, tapi pameran tidak ada. Mau jual di mana,” kata Yasinta. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *