Cinta-Derita-Setia  : Tak Membuatmu Pudar

Oleh P. Kons Beo, SVD

“Cinta yang tidak tahu penderitaan tidak layak disebut namanya….”  (Sta.  Klara dari Assisi)

Bacaan Lainnya

Jauh-jauh Kahlil Gibran sudah lukiskan indah, “Jika Cinta adalah Raja, kesetiaan adalah mahkotanya.”  Adakah raja pun ratu beraura tanpa mahkota? Pada semua penguasa dan pemimpin  tetap tersemat ‘mahkota kesetiaan’ itu.

Apa yang dicari dan dipertaruhkan para penguasa itu sungguh adalah bukti cinta dan kesetiaan. Alam penguasa dan pemimpin bukanlah muara ‘sembah sujud’ segenap abdi dan rakyat. Tetapi sebaliknya, seturut Yesus, Tuhan, ‘Marwah pemimpin – penguasa itu ada di tempat terakhir dan jadi pelayan bagi semua (cf Lukas 9:48).

Kepelayanan sesungguhnya adalah ‘detak kegelisahan hati tak karuan. Yang selalu tak nyaman demi yang diabdi.’ Pelayan dan kepelayanan tentu bukanlah tampilan diri menor Mina ancor yang sering salah kaprah. Yang hanya untuk jadi pusat atensi publik. Bukan!

Pater Kons Beo, SVD

Teringat lagi animasi kena pas dari seorang pembicara nyentrik. Katanya, “Bagi seorang pelayan cukuplah untuk kobarkan spirit 3 M.” Diringkaskannya padat. M inisteria (kepelayanan) sama dengan alam hati gelisah pada keadaan M inus (kurang), dan lalu ia bertindak dengan M anus (tangan).

Hanya pemimpin berjiwa pelayanlah yang berbelah rasa. Yang tahu apa artinya alam Minus. Alam yang masih serba kurang, terbelakang, tertinggal, masih jauh dari segala perhatian. Dan ia lalu bertindak dengan tindakannya. Iya,  ia jadi lebih repot untuk gerakan tangannya. Lebih dari gerakkan mulutnya untuk hanya rentetkan orasi tak jelas arah dan kabur sasaran. Iya, sebatas lips service.

Tetapi, lebih dari itu, kata Tuhan, “Sangkal diri” mesti jadi pertaruhan tanpa batas untuk jadi muridNya. Karena itulah ‘bikin diri elit, populer penuh pencitraan’ adalah penyakit dalam tubuh kepelayanan.

Kiranya pula ‘teritori penuh salib’ adalah area yang mesti ‘diambil dan dipikul.’ Zona nyaman adalah antitesis dari via crucis yang berpuncak pada selesai agung di puncak Kalvari.

Salib yang dipikul seorang pemimpin berkepelayanan adalah salib ‘bertubuh jiwa Kristus, Anak Manusia dan Tuhan.’ Ia telah disalibkan sejak pengkhianatan Iskariot, saat Ia dihina dan dicaci maki, dan dituduh yang bukan-bukan.  Dalam sederet litania verbal sakarstik premanisme.

Tetapi jalan kepelayanan tetaplah jalan penderitaan. Jalan yang mesti dilewati dengan kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Cinta dan pengabdian senantiasa menghanguskan derita dan membuatnya tak berdaya. Kasih pasti mengalahkan segalanya. Kasih membuat siapapun sanggup untuk ‘sangkal diri, pangkul salib dan ikut Tuhan’ ke manapun Ia pergi, pun ke tempat di mana IA tunjukkan (cf Matius 16:24).

Cinta tak pernah sangkali derita, perjuangan dan pengorbanan. Sebab di situlah ia temukan kemuliaannya. Di zaman ini, katanya, cinta semakin jadi tak berakar oleh ketakpastian tempat  berpijak. Sebab cinta — kesetiaan – pengorbanan telah diseruduk oleh interese akan zona nyaman; ia tengah diacak-acak oleh mental instan tanpa perjuangan; cinta telah dikaburkan oleh gelisah liar akan diri dan kepentingan sendiri. Yang tipiskan dan auskan rasa solider dan keberpihakan pada yang buntung tak beruntung nasibnya.

“Bila kau alami derita dan tahu apa artinya rasa sakit penuh keperihan, maka dari situlah bunga-bunga cinta bakal bersemi dan mekar berseri. Dan kau kan jadi  pahlawan dan pemenang bersama SANG CINTA SEJATI.”

Tuhan telah memenangkan kita semua dalam cinta penuh derita. Dibalut dalam korban dan setia. Dan tidakkah kita ada di jalur yang sama itu?

Komunitas Pasionis, Via San Paolo della Croce – Roma

pada peringatan St Klara dr Assisi, 11 Agustus 2023

  • Penulis, rohaniwan Katolik

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *