Idola Versus Admiratio

Oleh P. Kons Beo, SVD

“Teman, di partai semifinal itu, dua tim mana yang bakal menang dan melaju ke babak final?” Bukannya menjawab dua tim dari keempat tim yang berlaga, teman saya itu malah balik bertanya pada saya, “Eja, tim-tim mana saja itu yang berlaga di semifinal?

Bacaan Lainnya

Piala Dunia Qatar 2022 telah usai. Sudah berakhir. Sejak Brasil tumbang di tangan Kroasia, animo teman saya itu anjlok drastis. Ia tak berselera total. Tak ada lagi koar-koar tentang Piala Dunia. Ia tak tampak lagi dalam komentar-komentarnya yang biasanya selangit.

Baginya, Brasil tamat. Semuanya telah usai. Ini pun berlaku bagi sekelompok teman. Seolah ada kesepakatan bahwa Piala Dunia Qatar telah berakhir. “Ronaldo tak main lagi. Ia bersama Portugal sudah dihabok oleh Maroko.”

Piala Dunia tak berdaya pikat lagi. Tak mengandung umpan lagi. Padahal sudah panjar ceriah di hati sekiranya di Minggu malam, 18 Desember 2022 nanti, karier Ronaldo bermuara pada glorious and happy ending. Sia-sia, Bro!

Padahal, sebelumnya, artinya ketika Brasil atau CR 7 masih di laga-laga sebelumnya, nyaris “tiada hari tanpa Brasil atau Ronaldo itu.” Timnas dan tokoh itu sudah tersimpan dan dikeramatkan dalam ‘tabernakel hati.’ Sesekali bahkan sering ditampakkan dalam ‘status WA atau berbagai status lainnya.’

Itulah risikonya bila sungguh telah terbius oleh bingkai. Bikin hati terkesima. Terpikat hingga terikat mati. Banyak ‘anak asrama, misalnya,  cuek malas tahu untuk jebol aturan umum.’ Hanya karena ada tim favorit atau tokoh pujaannya berlaga. Itu pasti!

Seorang teman asal Spanyol pernah ‘rasa tak aman dan terganggu.’ Itu karena saya hanya bilang, “Sebentar kita nonton bersama saja…” Itu pas ada laga Spanyol vs Maroko. Secepatnya ia tanggapi,  “Saya mau tidur malam ini dengan tenang. Kau tidak usah  ganggu yang tidak perlu…” Dia memang serius tanggapi.

Sungguh cerdas ia ambil ‘jalan tengah.’ Tak usah nonton bareng. Jika memang Spanyol kalah, dia sudah punya firasat nantinya ada senyum ceriah milik saya dan teman-teman lain. Ini yang hanya untuk bikin tak nyaman saja.

Piala Dunia selalu berdaya magis. Punya daya tarik penuh pesona. Fanatisme dipertebal. Jiwa patriotik dikobarkan. Isu-isu sensitif di lini-lini kehidupan digelontorkan. Tetapi, tentang timnas atau pemain pujaan? Ia sudah terpaku mati pada forma dan isi idola. Itu semisal timnas Brasil atau pemain seperti Ronaldo, yang sudah ditakhtakan pada singgasana idola itu.

Idola, di kisah kemenangannya, pasti membangkitkan euforia tak terbendung. Tetapi lihat saja jika sebaliknya kalah? Atau apalagi gagal untuk laga selanjutnya? Kebesaran hati untuk terima kenyataan bukanlah perkara gampangan. Dan di situ, sebenarnya kekalahan bisa pastikan aura ‘jiwa yang rapuh dan semangat yang terpecah.’

Datang ke Piala Dunia dengan arus ‘kultus-idolik’ memang tak disalahkan. Sebab toh ada  spirit nasionalis yang jadi alasannya. Masih kubayangkan teman-teman saya seperti Simon, Titus dan Endi di Argentina sana, misalnya saja, sudah pada gregetan akan Messi dkk. Apalagi ada coretan dari Simon, “іViva Argentina! Hidup Argentina Calon juara dunia Qatar 2022.

Si Tuan Simon benar! Dinihari tadi Argentina benar-benar viva! Dia tetap jadi ikon dan idola sepakbola dunia. Kroatia sudah ditumbangkannya 3 – 0. Iya, Kroatia itu yang sudah keokan Brazil itu. Dinihari tadi bukan milik Kroatia. Laga versus Brasil itulah final baginya. Itu yang pernah disinyalir Zlatko Dalić, pelatih Kroatia. Lawan Argentina  Kroatia sungguh di jalur antiklimaks.

Inikah pembalasan Messi dkk atas Luca Modrić dkk atas kekalahan di fase group Piala Dunia 2018? Messi tetap jadi idola-ikon yang cantik dan berbahaya. Tidakkah gol ketiga Argentina yang diarsiteki  Messi itu sungguh sebuah estetika gol yang brilian dan jenius? Teman saya yang lain seperti Abraham Runga pasti histeria dengan liukan Messi seperti itu.

“Maradonna sta entrando nel campo,” begitulah komentar yang sempat terdengar dari chanel TV Rai1. Iya, seperti itulah. “Maradona sedang masuk dalam lapangan.” Mungkin seperti ingatkan publik akan gol solo run-nya Maradona saat mengecoh 4 pemain Inggris di Piala Dunia 1986 Meksiko. Iya, bedanya, Messi setelah ‘menari-nari’ itu masih menyuplai bola ke Alvarez  yang ‘tinggal mencetak gol.’

Sudahlah! Mari kita tinggalkan dan lupakan sudah Brasil, Portugal atau nasib Ronaldo atau lain-lainnya. Argentina, dengan Messi sebagai kapitanonya, kini sudah gerbang utama Final Piala Dunia Qatar 2022.  Kini tinggal menanti hasil laga Prancis vs Maroko.

Bisa jadi Mbappè sudah awali ‘rasa anggap entengnya’ akan Maroko. Bagaimana pun, hati-hati sajalah! Maroko lagi menanjak. Bukankah Spanyol dan Portugal telah bernasib “surya sudah terbenam” di tangannya?

Kita andaikan saja sekiranya Marokolah yang masuk final. Bayangkan nanti bahwa ada tafsiran yang ‘aneh-aneh’ dan ‘kurang kerjaan.’ Bahwa itu adalah final antara ‘Dunia muslim dan Dunia Kristen.’ Ini buruknya ‘politisasi sepakbola ke dalam sentimen keagamaan.’ Dan itu bukannya tak mungkin!

Dan bila ini yang terjadi, maka seturut bahasa hasil cakap-cakap Daniel Mananta dengan Abdul Somad, bisa dianalogi bahwa di dalam stadion, dalam gemuruhnya suporter, dan pada Piala Dunia yang bakal diterima, diangkat penuh sukacita dan dikecup penuh semangat oleh tim pemenang (juara), betapa semua di situ terdapat apa yang disebut Daniel Mananta sebagai unclean spirit…..

Wah, aneh-aneh saja. іViva Argentina. Vamos…..! Maaf, Kroatia! Untuk malam ini admiratio, kekaguman itu, untuk sementara lagi tertahan.

Mari kita tutup percakapan kita dengan doa dan harapan:

“Yang tidak fans Argentina semoga kembali ke jalan benar. Amin”

Itu doanya si Leku. Begitu dia disapa. Si ‘ana Ende’ yang ‘fans ngeri mati punya pada Messi.’

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *