Maria Maximillla Ingir Tolok, Eks Biarawati Yang Mau Cakades

Pendidikan dalam biara mestinya mengharuskan seseorang untuk lebih terlibat dalam hal-hal kerohanian. Bidang yang digeluti sesudahnya bila tidak menjadi biarawati lagi tidak jauh dari pelayanan itu entah terlibat dalam  kehidupan sosial atau menjadi guru.

Tetapi itu tidak terjadi dengan Maria Maximilla Ingir Tolok. Eks biarawati pada Kongregasi St. Agustinus di Kalimantan itu melamar menjadi Calon Kepala Desa Nuba Mado, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata.

Bacaan Lainnya

Bagimana kisah wanita kelahiran Lerek, 27 Maret 1973 ini? Apa yang bisa mengantarnya memutuskan untuk menjadi salah satu calon Kepala Desa Nuba Mado (Namaweka?) Lembata NTT?

Hidup Selibat

Tujuh tahun dalam biara (1992 -1997) merupakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Tujuh  tahun ini pula yang menempahnya menjadi seorang pribadi yang prihatin dengan sesama, ingin berjuang dengan mereka yang menderita, dan ingin memberdayakan mereka menjadi pribadi mandiri.

Demikian Maximilla ketika ditanyakan tentang apa dampak pengalaman hidup membiara pada pilihannya menjadi salah seorang calon kepala desa. Puteri tunggal Yosef Lele Teka dan Marta Ingir Lajar ini menyadari bahwa sejak awal ia sangat tertarik untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang biarawati.

Memang pilihan itu tidak mudah karena ia adalah puteri satu-satunya dari 6 bersaudara. Tetapi kedua orang tuanya seakan bahagia bahwa ketika puteri mereka mengabdikan diri bagi banyak orang, di situ mereka mendapatkan kebahagiaan hidup.

Tetapi cita-cita mulia itu kandas. Maximilla  sadari juga bahwa prinsip hidupnya yang bisa disebut ‘keras kepala’ kerap membuat pimpinan kerepotan. Ingir selalu suka agar  kehidupan membiara keluar dari hal-hal biasa dan lebih terlibat memberdayakan umat dalam aneka kegiatan sosial.

Akibat perbedaan prinsip itu, Mila yang menamatkan SMA Negeri 2 Nubatukan tahun 1992 memberanikan diri untuk keluar dari biara. Setelah berhenti setahun dari Kalimantan, ia berkonsultasi dengan Rm Dammer, seorang pastor asal Belanda di Malang hendak masuk salah satu biara lainnya di Malang. Sang pastor pun mengantarnya ke satu biara lain.

Tetapi melihat prinsip hidup yang sangat kuat, Romo yang tadinya mau mengantarnya ke biara lain, akhirnya memutuskan bersama Mila untuk meneruskan hidup selibat tanpa hidup membiara.

Pengalaman pada awal tahun 2000 itu kemudian membuat Mila untuk merancang hidupnya di luar biara dengan tetap mempertahankan hidup selibat (hidup tanpa berkeluarga sebagaimana kaum biarawati di biara).  Ia lalu memutuskan untuk pulang kampung. Kebetulan ayah dan ibunya butuh anak perempuannya agar bisa memperhatikan mereka.

Tetapi sebleum pulang kampung. Mila sempat jadi TKW di Malaysia selama 2 tahun (2001 – 2003). Sebuah pengalaman singkat tetapi memberinya gambaran tentang kerasnya perjuangan dan siapapun di mana saja bisa berjuang, sekeras para TKI / TKW di Malaysia.

Mengabdi di Pemerintahan

Di kampungnya (Nuba Mado), Mila tidak terlalu lama untuk ‘dipinang’ di pemerintahan desa. Hal itu karena Mila selalu terlibat dalam aneka kegiatan di kampungnya. Tahun 2004, ia diminta menjadi Kaur Pemerintahan. Sebuah pekerjaan yang digeluti dengan penuh antusiasme. Dalam waktu yang relatif singkat, ia diangkat jadi sekretaris Desa (2007) dan 2 tahun kemudian diangkat menjadi PNS. Beruntung saat itu sekretaris desa ditawarkan jadi PNS hal mana diambil sebagai sebuah kesempatan.

Pekerjaan sebagai sekretaris desa selalu dilakukan dengan penuh dedikatif dan hal itu diakui oleh pemerintah kabupaten. Dalam kesempatan pelantikan Kepala Desa Nuba Mado tahun 2014, Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur. memuji di depan masyarakat kinerja Milla. Bagi Sunur, Milla melakukan tugas pelaporan dengan sangat teliti.

Ketika ditanya mengapa ia memberikan seluruhnya terhadap pemerintahan? Ia mengatakan, justru dalam pemerintahan, kita bisa melayani. “Seorang Kepala Desa memiliki wewenang yang sangat besar untuk membantu masyarakat. Dengan dana yang begitu besar dan ketika memungkinkan, maka seorang Kades bisa memperhatikan masyarakat,” ungkap wanita tamatan SMP Tanjung Kelapa Lerek, 1988 ini.

Tetapi membantu masyarakat tidak hanya berarti membagi-bagi dana dari pemerintah melainkan memberdayakan mereka. Untuk itu ia punya tiga program unggulan yaitu optimalisasi air, pengembangan bumdes dan penataan masyarakat adat.

Baginya, masyarakat Nuba Mado sangat dimanjakan oleh alam yang memberi mereka air berlimpah. Air itu terbuang begitu saja. Baginya, masyarakat bisa dimotivasi dan dirangsang untuk bisa memanfaatkan 3 bulan pasca panen (Juli – Agustus – September) untuk menanam sayur. Hasilnya bisa langsung dijual ke Lewoleba yang jaraknya hanya 30 menit.

Usaha kreatif seperti inilah yang dikembangkan dan akan menjadi tulang punggung untuk bumdes. “Selama ini bumdes dikembangkan dengan jalan penimbunan hasil atau penjaran sembako, tetapi dalam kenyataannya tidak efektif,” katanya.

Untuk itu, menurutnya, selain sayuran, Namaweka bisa dikembangkan menjadi sentra peternakan aya, petelur,” katanya

Hal lain yang menjadi prioritas adalah transformasi lembaga adaat. Di desa harus dibentuk lembaga adat yang bisa menjadi acuan dalam hidup bersama.

“Kita harus duduk bersama agar menentukan acuan misalnya dalam hal bels dan lain-lain agar orang tidak sampai terbebankan. Lebih baik adatnya sederhana tetapi bisa dimaknai.

Tegas  demi Rakyat

Di akhir wawancara ketika ditanyakan tentang kelemahan dirinya, ia secara spontan mengatakan bahwa sikapnya yang tegas (disebut keras) dan prinsipiil membuat ia sering dicap keras kepala dan bahkan arogan. Hal ini karena apa yang dianggapnya tidak baik langsung disampaikan, terutama bila ada gelagat akan adanya pelanggaran yang secara sengaja.

Hal itu juga terjadi dalam hal pengelolaan keuangan. Ia tidak terlalu ambil pusing ketika berbicara tentang prinsip. “Saya seperti itu tentu karena didikan biara yang membuat kita harus bertindak jujur dan terus terang,” demikian kata Mila.

Tetapi sikapnya yang keras itu tidak semuanya dilihat negatif. Ada yang secara langsung mendukung sikap itu. “Memang dengan masyarakat tertentu yang tidak konsekuen, kita butuh wanita baja seperti Mila,” aku seorang ibu yang tidak mau disebut namanya. Meski demikian mereka berharap juga agar bila terpilih jadi Kades Nuba Mado, ia perlu sabar juga mendampingi masyarakat karena mereka sebenarnya butuh perhatian.

Terhadap hal ini, Mila berjanji akan melancarkan lagi pendekatan tidak saja kepada kaum tua tetapi juga kaum muda. Di lingkungan umat, Mila juga menjadi seorang penggerak dan inspirator untuk kaum muda. Ia bisa melewatkan waktu berjam-jam untuk ngobrol dengan kaum muda memberikan merekan inspirasi.

Anak muda yang sama yang jadi “Orang Muda Katolik” kemudian di pemerintahan ia rangkul dalam Karang Taruna. “Anak muda itu hanya butuh perhatian dan kalau diberikan perhatian yang pas, maka mereka akan dengan semangat” demikian ungkapnya. Mila malah berencana agar kelak usaha bumdes berkembang dengan baik maka perlu menyekolahkan anak-anak muda potensial yang bisa membantu bumdes ‘go publik’ dengan kecakapan mereka dalam bidang IT, demikian tanas wanita yang sudah menjadi dirigen koor baik di gereja maupun di masyarakat.

Lalu apa apa harapannya terhadap masyarakat Nuba Mado saat pilkades seperti ini? Mila jawab bahwa apa yang ia sudah lakukan di desa sudah bisa menjadi bahan kampanye.

“Masyarakat sudah melihat apa yang saya buat selama ini sejak jadi Kaur Pemerintahan hingga jadi Sekdes,” ngkapnya.

Selama 16 tahun hidup di Namaweka hingga bulan Juni 2021 ia dipindahtugaskan di Kantor Kecamatan Nubatukan. Ia tidak banyak menjanjikan banyak hal. Tetap ia yakin, bahwa masyarakat akan menilai sendiri sesuai apa yang mereka lihat sendiri. (robert bala)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *