Tak Ada Playing Victim di Bait Allah

Pater Kons Beo, SVD

Oleh P. Kons Beo, SVD

“Musuh sering lebih berguna dibandingkan teman. Teman cenderung memaafkan kelemahanmu. Tetapi, musuh itu teliti ingatkan kekurangan dan kelemahanmu. Jangan abaikan suara keras musuhmu” (Leo Tolstoy – sastrawan Rusia, 1828 – 1910)

Bacaan Lainnya

Entah siapakah dari kedua orang itu yang duluan tiba di Bait Allah? Yesus sendiri tak bilang dalam perumpamaanNya. Intinya “ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa…” (Luk 18:10). Bisa saja yang satu duluan pergi, dan yang satunya lagi belakangan munculnya.

Untuk pergi bersamaan, apalagi harus sambil bergandengan tangan, itu tak mungkin! Tak mungkin! Si Farisi tentu tak mau dinajiskan dengan kedekatannya dengan pendosa, si pemungut cukai itu. Hidup kotor dan kerja najis tak layak disandingkan dengan kerohanian triumfalistik milik si Farisi dan kelompok elit sejenisnya.

Namun, yakinlah! Si pemungut cukai sudah pada tahu diri yang sungguh-sungguh punya. Kerja suram dengan ‘peras-peras orang’ dan tindak timbun-timbun demi diri sendiri, sudah jadi isi paten curiga dan tuduhan sosial. Bagi kelompok pemungut cukai,  stigma perilaku borok itu tetap tersemat dan sulit tergeser dari siapapun.

Dan arus ‘menganggap dan dianggap’ antara para orang benar-saleh dan kaum berdosa pun terbawa  hingga dalam Bait Allah, Rumah Tuhan. Di situ, di Bait Allah, bayangkan, isi pikiran dan mental penuh sekat dan banyak kampling pembatas dan pembedah dalam hati, tetap terasa jelas dan tebal. Gurita relasi sosial memang tetap lekat melengket yang buat hati dan daya pandang jadi (tetap) kabur.

Si Farisi itu memang ada di pusaran glorifikasi diri yang tersamar namun nyata! Ia memang datang di rumah ibadat. Tetapi tidak untuk berdoa. Tidak! Itu kata para ahli tafsir Kitab Suci. Ia datang ke Bait Allah untuk tempatkan dirinya sendiri sebagai protagista. Iya, sebagai tokoh utama dari segala yang terbaik! Koq bisa, ya? Datang ke Rumah Tuhan untuk sentralkan diri sendiri? Caranya? Gampang, Bro!

Yang dibangun awal mula oleh di Farisi adalah framing diri penuh kemuliaan. Perilaku dan cara hidup terhormat dan santun patut dinarasikan. Mesti ada rasa percaya diri penuh pasti bahwa ‘aku bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina….’ (Luk 18:11). Luar biasa. Tak ada soal serius di sini.

Tetapi, soal tak dapat disamar selamanya. Godaan berat mendera si Farisi oleh kehadiran si pemungut cukai. Banyak tafsiran campur aduk muncul di kepala? Tak suka dan sekian terusik kah si Farisi sebagai orang ‘saleh’ melihat seorang pemungut cukai, orang berdosa, yang ‘sungguh tidak tahu malu dan tak tahu diri nekat hadir di rumah suci?’

Ataukah, justru kehadiran si pendosa, pemungut cukai dalam Bait Allah itu dimanfaatkan beneran untuk ‘lebih mempertampakkan kesalehan si Farisi itu?’  Maksudnya, agar Tuhan ‘bisa dengan mudah buat perbandingan sikap dan perilaku hidup antara keduanya.’ Biarkan saja Tuhan yang menilai dan segera putuskan! Jelas, si pemungut kalah telak dalam soal perilaku hidup dan derajat kesalehan.

Sayangnya, si Farisi itu lepas kendali dan tak rem diri dalam ‘menilai dan menghakimi.’ Lihatlah! Apa yang jadi hak, wewenang dan kuasa Tuhan, ia copot begitu saja. Dengan enteng penuh yakin, yang tersuara dalam hati, “…bukan juga seperti pemungut cukai ini” (Luk 18:12).

Wah, soal sudah jadi lebih menggumpal. Si Farisi datang ‘dengan animo puja-puji akan diri sendiri, rasa diri sendiri saleh, copot wewenang Tuhan yang berhak mengadili dan menghakimi, dan lagi sudah zalimi orang lain.’ Itulah peluru-peluru penilaian terhadap si Farisi. Datang ke Bait Allah bukannya untuk berdoa, tapi hanya untuk ‘pasang dan jaim.’ Tetapi, adakah yang ‘dapat direnung indah dari sikapnya si Farisi?’

Teringat lagi bincang-bincang dengan seorang teman pastor di satu ristorante cinese sambil nikmati sekadar riso cantonese. Katanya, “Bro, si Farisi itu, biar begitu-begitu, ia tetap konsisten dengan sikap intolerannya terhadap kaum kafir (baca: pemungut cukai dan semua kelompok pendosa). Dia itu jujur dengan sikap dan bawaan mentalnya. Ia tak mau poles-poles dengan banyak modus dan triknya. Dengan intensi agar ia tergelar oleh surga dan bumi sebagai ‘bapa toleransi…Tidak!”

Si Farisi, ingin tetap setia pada resonansi ‘politik identitasnya.’ Sebab, ia memang telah plintirkan citra Bait Allah, Rumah Tuhan demi pencitraan dirinya sendiri. Tetapi, patut diingat, ia mesti ‘dipuji’ pula. Sebab, ia, si Farisi itu, tidak mau berakrobat sana-sini agar secara ‘mendadak diakui dan diterima telah  jadi orang baik dan benar, suci lahir dan di dalam batin,  di mata publik dan di dalam tatapan biji mata Tuhan.

Dan lagi, kata teman saya itu, “Bro, ingat pula  si  pemungut cukai   itu. Bukankah ia datang ke Bait Allah, sungguh sebagai tokoh pemeran dalam jalan hidupnya sendiri yang penuh durjana? Ia tak mau berhalu sendu pilu dan baperan sana-sini, apalagi sampai merengek-rengek pada Tuhan bahwa ia telah jadi korban kezaliman di berbagai titik hidup di masyarakat. Tidak. Ia hanya merindu Kasih dan pengampunan Tuhan yang tak terbatas.

Di muara inilah, jadilah kita paham. Di rumah Tuhan tak pernah boleh ada banyak poles-polesnya. Hadirlah ‘sebagaimana kita apa adanya.’ Dengan segala luka, debu, kekurangan, kelemahan, cacat, dan semua noda dosa…’

Kita hanya tetap berharap dan berdoa  agar “semoga aku kembali sebagai orang yang dibenarkan Allah…” (Luk 18:14).

Verbo Dei Amorem Spiranti

* Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *