“Saat Kata Maaf Itu Terungkapkan”

(Satu Permenungan Atas Sikap dan Kata’ Maaf’ Ustadz Yahya Waloni)

Oleh P. Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

 Maaf Penuh Tanya

Ustad Yahya Yahya Waloni tampak tak segarang seperti biasanya. Ia tak lagi bagai singa mimbar. Meraung-raung membakar semangat. Baru pada menit-menit awal babak-babak pengadilan atas dirinya, sepertinya ia telah lempar handuk.  Ia ingin ‘telanjang.’ Tanpa siapa. Gugatan Praperadilan Kasus Dugaan Penodaan Agama resmi dicabut. Jawaban Waloni jelas tegas. Pencabutan gugatan praperadilan itu punya dampak. Akibatnya, Abdullah Alkatiri, dari pihak kuasa hukum Waloni, lantas mesti tinggalkan ruang  pengadilan. Kuasanya telah lenyap oleh kata ‘cabut.’

Tak cuma itu. Pada Senin, 26 September 2021, di PN Jakarta Selatan, terdengar aura retorika terbalik. Tak seperti biasanya. Waloni melemah, “Di hadapan khalayak, di hadapan yang mulia, dan di hadapan wartawan saya memohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, wabil khusus kepada saudara-saudaraku sebangsa setanah air kaum nasrani…”

Ada kata sikap sesal dan maaf di bibir Waloni. Di media sosial, segera muncul tumpukan cibiran. Ada reaksi tak percaya. Reaksi ragu penuh curiga tak terbendung. Ada sorot psikologis sekadarnya: seperti apakah sikap seseorang yang berubah drastis? Dari yang sekian garang, sekejab berubah jadi santun?

Yang pasti Waloni kini jadi satu misteri. Penuh tanya. Minta maaf pada saudara nasrani tidakkah itu adalah tindakan tebalkan kembali isi iman kristiani yang telah ia kikiskan? Atau kah ‘minta maaf’ hanya karena segenap nasrani telah terluka oleh ucapannya?

Yakinlah, Waloni ada di posisi dilematis untuk satu ungkapan ‘maaf’ itu. Bukankah ada konsekuensi suram baginya dari para jemaat yang setia mendengarkannya? Iya, andaikan minta maaf itu ditafsir secara liar bahwa ‘ternyata selama ini kita telah diperdayai. Kita sudah jadi sasaran gorengan Waloni dengan segala bualannya.’

Patut disayangkan kalau hanya mendengar ceramah agama sebatas emosi ‘senang dan puas sesaat. Tanpa pertimbangan nalar yang cerdas dan bijak.’ Ataukah bahwa Waloni sengaja berdrama untuk pura-pura minta maaf? Hanya demi sebuah keterpaksaan depan pengadilan yang mulia?

Bible Itu Palsu?!

Coba kita mundur sejenak. Sekedar tahu kembali pokok soal Wahloni digiring ke pengadilan. “Saya tidak mengatakan Bible Kristen itu fiktif. Bible Kristen itu palsu!” Ditambah lagi dengan sikap penuh angkuh. Menantang siapapun untuk melaporkannya.

Fiktifkah Bible? Palsukah Alkitab orang Kristen? Tentu perlu kajian mendalam! Ini bukan telaah akademik gampangan. Dari segi bahasa saja, perlu ketekunan tak sedikit. Alkitab adalah pewahyuan Diri Allah yang menyejarah. Terjadi dalam kisah dan peristiwa hidup manusia yang nyata. Allah yang dikisahkan dalam Alkitab adalah Allah Pengasih dan Penyayang bagi manusia.

Kasih Allah itu berpuncak pada kehadiran Yesus Kristus. Karenanya, tak sekedar sebuah ‘buku kaku, beku dan mati,’ Alkitab secara nyata hadir dalam seluruh hidup, karya dan pewartaan Yesus. Bahkan Yesus adalah Sang Firman itu sendiri. Orang Kristen, lebih dari sekedar membaca huruf-huruf (mati), sungguh percaya akan Pribadi Yesus itu yang berkuasa dalam tindak dan SabdaNya itu.

Tetapi, apakah Alkitab itu ‘palsu,’ bisa juga tergantung dari kesaksian nyata orang-orang Kristen sendiri.

Tantangan Bagi Orang Kristen

Tetapi, ‘perang’ melawan Waloni belum berakhir. Sebuah tantangan iman dibentangkan Waloni. Memohon maaf adalah tantangan untuk memberi maaf! Sesal hati menguji kebesaran jiwa dalam pengampunan. Entah di saat belum sesal hingga sekarang teduh hati mohon maaf, Waloni tetap jadi ujian nyata bagi isi Alkitab dan penghayatannya.

Lepaskan dulu telaah ilmiah tentang Alkitab itu. Di kisah Waloni, fokuskan saja pada Alkitab sebagai buku iman dan buku kehidupan. “Tuhan, sampai berapa kali aku mengampuni saudaraku jika ia bersalah terhadapku? Sampai tujuh kali?” Oleh Yesus, pengampunan tujuh puluh kali tujuh kali tujuh kali adalah sebuah kelapangan hati pengampunan. Tanpa batas dan tanpa syarat (cf Mat 18:21).

Kemuliaan kristiani nampak dalam sikap tidakmembalas kejahatan dengan kejahatan; lakukan apa yang baik bagi semua orang” (Rom 12:17). Orang Kristen pasti ingat akan nasihat Rasul Petrus, “Janganlah kamu membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya hendaknya kamu memberkati, sebab untuk itulah kamu dipanggil” (1Ptr 3:9-10).

Dalam Yesus tak ada ajaran untuk hanya mengasihi ‘yang menyenangkan’ dan membenci ‘yang tak masuk hitungan’ (cf Mat 7:43-44). Mata ganti mata dan gigi ganti gigi sebagai balas dendam dalam kekerasan adalah cerminan ilusi pengahayatan iman tanpa kasih dan bangunan keagamaan yang rapuh!

Iman tanpa perbuatan  adalah mati (cf Yak 2:17). Dan Alkitab tanpa penghayatan mungkin kah itu adalah sebuah kepalsuan (hidup)?   Waloni, sekali lagi, tetap menjadi ujian serius bagi iman bagi orang Kristen. Tetap teringat lagi kata-kata seorang teman imam bahwa orang Kristen sepantasnya tetap membutuhkan kehadiran orang-orang seperti Somad, Waloni dan sejenisnya justru untuk memperkuat iman kristiani.

Dan andaikan Waloni berdendang “Aku Ingin Pulang” toh yakinlah pintu Gereja selalu terbuka dan lonceng gereja tetap berdentang. menyambutnya kembali dalam Kasih (cf Luk 15:11:32).

Mohon Maaf Kepada Sesama Muslim

Waloni pasti tahu persis kotbah dan pengajaran di Gereja tetaplah yang itu: Cinta Kasih tanpa syarat! Ya, termasuk kepatuhan hati nurani dan panggilan iman untuk memaafkan. Waloni pasti sadar bahwa amat jarang seorang pastor membakar api anti kasih dengan histeria balas dendam penuh kekerasan! Dan Waloni pun yakin bahwa ia diampuni dengan penuh kebesaran jiwa dan ketulusan hati.

Tetapi, mungkin kah dan sanggup kah seorang ustad Yahya Waloni memohon ampun pada sesama muslim atas sikap, tindakan dan perbuatannya telah cemarkan mimbar suci dakwah  dengan berbagai ujaran kebencian? Penuh provokasi? Atau bahwa ia sebenarnya tak menyentuh ajaran Islam yang luhur dan mendalam?

Bagaimana pun, andaikan Waloni penuh rendah hati memohonkan maaf pada saudara-saudari muslim, semoga ada kemuliaan hati dan kebesaran jiwa untuk mengampuninya.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *