Niniwe-Irak: Antara Kunjungan Nabi Yunus dan Kunjungan Paus Fransiskus

Oleh P. Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

Keengganan vs Kerinduan

Yunus, nabi Tuhan yang hidup di sekitar tahun 787 – 747 sebelum Kristus itu, sejatinya, bersikeras tak mau ke Ninive. Itulah yang dikisahkan dalam Alkitab Kristen.

Hati enggan Yunus ke Ninive dilukiskan sekian dramatis. Perikop pertama dalam Kitab Nabi Yunus punya judul: “Yunus mengingkari panggilan Tuhan” (Yun 1:1-17). Betapa Tuhan telah melihat rupa-rupa kejahatan yang terjadi di Niniwe. Kejahatan berjamaah yang libatkan baik raja maupun segenap bangsa Niniwe. Tak ada pilihan lain bagi Tuhan, selain Ia mesti bersuara kepada Yunus bin Amitai itu, “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu berserulah kepada mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku” (Yun 1:2).

Walhasil, bukannya menuju Niniwe, Yunus malah membelot ke Yafo. Di kota itu, Yunus siap berangkat ke Tarsis dengan sebuah kapal. Sialnya, angin ribut dan gelombang laut menerpa kapal. Bongkar dan buang semua barang ke laut lepas tak sanggup surutkan kepanikan. Gelora badai laut tetap menerpa. Bahkan seruan kepada allah masing-masing pun tak membawa hasil. Yunus yang lagi pulas tertidur di dek paling bawah dihardik nahkoda. Sepertinya Yunus rasa nyaman-nyaman saja, sementara yang lain sekian huru-hara.

Demi teduhnya lautan, maka pilihan terakhir adalah buang undi untuk menelisik prima causa dari badai gelombang itu. Sebab kata para ABK, “Marilah kita buang undi, supaya kita mengetahui, karena siapa kita ditimpah oleh malapetaka ini” (Yun 1:7). Dan ternyata, Yunus lah yang kena undi. Dicampakkannya Yunus  ke dalam laut, berujung teduhnya lautan itu.

Tetapi, di hati Paus Fransiskus ada kerinduan membara untuk ke Irak. Ya, termasuk ke wilayah Niniwe itu. Kekerasan, peperangan, serta rupa-rupa tindak kekerasan di Irak tak surutkan  niat Paus untuk mendatangi wilayah itu. Ini tidak berarti bahwa Paus Fransiskus lebih bernyali ketimbang Nabi Yunus. Karena di balik dua pribadi ini pasti ada karya, rencana dan kehendak Tuhan sendiri. Pun keduanya ada dalam situasi jaman yang berbentangan teramat jauh.

Nabi Yunus dan Paus Fransiskus ‘bertemu’ di Irak

Kisah Nabi Yunus untuk Niniwe berujung manis. Ada rencana Tuhan di balik retret agungnya. Tiga hari tiga malam di dalam perut ikan besar (Yun 1:17). Yunus, di panggilan kedua dari Tuhan, lalu menjadi pribadi berani. Niniwe, yang besar kotanya tiga hari perjalanan itu, berubah menjadi tanda keataan Yunus pada Tuhan dan pengorbannannya demi Niniwe. Yunus berseru, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan” (Yun 3:4) Puasa, mati raga, serta sungguh hidup dalam sikap batin penuh sesal adalah jawaban Niniwe yang paling tepat. Dan mereka diselamatkan.

Di hari kunjungan Paus Fransiskus, ada nama NINIWE disebut. Kardinal Louis Raphael Sako, Patriak Katolik Babilonia, ritus kaldea, ungkapkan rasa suka cita atas kehadiran Paus dalam ‘visita coraggiosa’-nya (kujungan penuh keberanian). Sang Patriak berusia 72 tahun itu bersaksi di hadapan Paus: Ada kebesaran hati komunitas minoritas untuk bertahan dalam perbagai situasi sulit. Mereka ditinggalkan oleh nyaris 120 ribu umat Kristen di dataran Niniwe dan Mosul. Perang dan kekerasan pun perbagai tindak terorisme telah jadi tragedi yang menghancurkan.  Memisahkan nyaris segala. Kecuali melepaskan iman kepada Kristus.

Nabi Yunus menyerukan pertobatan Niniwe. Agar segera akhlak dan sikap segera dibaharui melalui pertobatan. Seruan yang sama, dalam kata-kata yang lain, disampaikan juga Paus Fransiskus. Irak, ya termasuk dataran Niniwe dan Mosul itu mesti dibangun kembali. Ada harapan terdalam dari Paus Fransiskus agar umat Kristen tetap bertahan dan kuat hadapi tantangan dan bertarung untuk membangun kembali negeri Irak tercinta. Umat Kriten Irak di diaspora, yang ada di Lebanon, Yordania, dan di mana saja mereka berada, oleh Paus, diharapkan untuk kembali. Pulang membangun kembali Irak dalam semangat baru. Umat kristiani yang tercatat 1,5 juta di tahun 2003, kini bertahan di jumlah sekitar 400.000 orang.

Mari kita catat pula. Suara Yunus mampu getarkan hati Raja di Niniwe untuk seruan pertobatan dan kembali kepada damai dengan Tuhan. Dapat dibayangkan bahwa Raja segera turun dari singgasananya. Segera ditanggalkan jubah kebesarannya, dan kenakan pakaian kabung. Bahkan sang raja sendiri mesti duduk di abu (Yun 3:6). Demi Niniwe yang tak boleh lenyap oleh angkara murka Tuhan.

Vi ringrazio, fratelli vescovi e sacerdoti, di essere rimasti vicini al vostro popolo…” Itulah kata-kata ucapan terima kasih Paus Fransiskus bagi para rekan uskup dan imam yang tetap bertahan, berada, selalu dekat dengan umat. Itulah para pemimpin yang sungguh mengenal situasi, mendorong umatnya untuk kembali membangun Irak demi demi kebaikan bersama. Pemimpin yang tepat, tak boleh hanya bertiktah dari singgasana. Ia mesti ada serius, bertanggungjawab di tengah keadaan umat dan rakyat. Mesti dijauhkan sekedar ada bersama dengan intrik pencitraan.

Dari Kehancuran Menuju Harapan Akan Pemulihan

Wilayah Irak adalah kisah-kisah pilu penuh ratapan. Bukankah kehancurannya telah dimulai dari runtuhnya menara Babel (Kej 11:1-9)? Ketika bahasa manusia dikacaukan Tuhan oleh karena kesombongan hati? Pun di Babilonia ada ratap tangis Israel yang teramat sedih merindukan Yahwe dan ingin pulang ke Yerusalem?

Irak mesti berani bangkit! Abraham bin Terah yang berasal dari Ur-Kasdim (Kej 11:28) adalah bapa segenap bangsa. Dialah Bapa,yang dari kesaksian imannya yang tangguh, mempertemukan dunia Yahudi-Kristen-Islam. Itulah agama Abrahamik!

Memulihkan Irak kini harus menjadi pilihan yang tak terelakan. Pemulihan itu harus berangkat dari kehendak baik bersama serta itikad yang tulus. Bahasa ketakutan, ancaman, kekerasan, terorisme serta aneka persekusi yang berujung kehancurkan mesti segera diganti dengan bahasa kasih, damai, keadilan serta pengharapan.

Di Niniwe telah dipasang kembali api harapan oleh Paus Fransiskus. Ya, di Niniwe itu, yang pada tahun 2014, jadi fokus serangan pasukan ISIS untuk menekan secara keji agama minoritas dan segala atributnya. Tetapi, semuanya telah berlalu. Kekerasan tidak pernah bermuara pada kedamaian.

Tetapi, kita tentu tahu, di wilayah Irak (pernah) ada taman Eden. Di situlah romantisme manusia dan Tuhan berawal. Eufrat dan Tigris adalah sungai-sungai cantik yang mengitari taman itu. Di taman itu ada kemesrahan manusia dengan Tuhan. Ada kisah ‘kisah cinta arkais’ Adam dan Hawa. Namun, semuanya telah berlalu….  Tetapi Kasih Tuhan tak pernah berlalu. Kasih Tuhan tak pergi selamanya. Karena di ujung perbuatan tidak taat manusia itu, Tuhan tetap dan selalu mencari manusia, “Adam, di mana kah engkau?” (Kej 3:9).

Tuhan selalu mengasihi dan mencari rakyat Irak. Untuk membangun kembali segalanya dalam alam kerukunan dan saling menghormati. ‘They have to return to Eden, to return Eden”. Mereka harus kembali ke Eden, untuk mengembalikan suasana Eden. Mari kita dukung bangsa Irak untuk memperoleh kedamaian, sekurang-kurangnya dalam doa-doa kita. Tak pernah boleh dengan dukungan yang membarakan terorisme, yang cuma mau menghancurkan.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *