Mengenang Pater Henri Daros, SVD, Sofa Merah di Rumah Tua

HARI Minggu, 5 Juli 1992. Saya menjejak Kota Ende untuk pertama kali. Setahun ke depan saya akan menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) sebagai seorang frater dari tarekat SVD.

Surat Kabar Mingguan DIAN jadi tempat saya menjalani masa praktek wajib itu. Praktek di surat kabar, tentu saja, jadi wartawan. Dan, saya bangga.  Bangga karena dengan itu bakat dan minat menulis tersalurkan.

Bacaan Lainnya

Di Ende saya tinggal di Biara St. Yosep. Biara di kompleks Gereja Katedral Kristus Raja Ende. Kamar saya nomor 3 di lantai dua rumah tinggi. Persis di gerbang  masuk sebelah kiri Gereja Katedral.

Biara St. Yosep itu jadi biara pusat SVD di Provinsi Ende. Banyak pimpinan SVD Provinsi Ende tinggal dan berkantor di situ. Percetakan Arnoldus sudah ada di tempat itu sejak Indonesia merdeka.

Ada juga bengkel kayu, bengkel besi. Toko Buku Nusa Indah. Semuanya di kompleks  1 hektar lebih di atas bukit itu.

Hari pertama masuk kamar makan saya gugup juga. Ketika dipernalkan oleh Pater John Dami Mukese, SVD yang membimbing saya di SKM Dian, ada perasaan gugup. Gugup karena nama-nama penting di SVD Ende yang selama ini hanya terdengar, malam itu bergabung di kamar makan.

Satu set kursi sofa merah kenang-kenangan dari Pater Henri Daros

Di biara St. Yosep ini saya melihat dari dekat wajah Pater Henri Daros, SVD  yang meninggal dunia,  Rabu (11/8/2021), jelang rembang petang.  Namanya sudah lama saya kenal. Sejak masih di seminari menengah di Hokeng.

Nama  resminya Hendrik Daros. Tetapi beliau menggunakan nama Henri Daros untuk semua lagu gubahannya yang menghiasi halaman-halaman buku ibadat pujian sore dan malam di biara-biara. Nama lain yang juga sama tenarnya adalah Apoly Bala. Nama Henri Daros juga dipakainya sebagai nama pena ketika menulis sejak dari Ledalero sampai akhir hayatnya.

Penasaran juga dengan nama  Henri Daros. Penasaran karena syair-syair pujian buah karyanya jadi begitu ringan dimadahkan di kapela dan gereja.

Di Seminari Tinggi Ledalero, ketika bergabung di dapur Majalah VOX pada tingkat III (semester 5-6) saya menemukan nama Henri Daros di bundelan-bundelan VOX. Ada beberapa nama lain yang juga sangat sering menulis di VOX pada era medio hingga akhir tahun 1970-an.  Ignas Kleden, Kosmas Fernandez,  Alex Tabe, Guido Tisera, Leo Kleden, John Dami Mukese, dan sejumlah nama lain. Pater Henri Daros di  angkatannya menjadi Pemimpin Redaksi VOX.

Baru ketika satu rumah di Ende saat menjalani TOP 1992-1993  itulah, saya lebih dekat dengan Henri Daros, pastor asal Manggarai Timur ini. Ketika itu Pater Henri jadi Direktur Penerbit Nusa Indah. Kami kerja di satu kompleks di Jalan El Tari, Ende.

Saban pagi sama-sama dengan satu mobil toyota tua ke kantor. Begitu juga ketika  jam kantor usai pukul 14.00 Wita kami kembali ke  St. Yosep dengan mobil yang sama.  Kadang-kadang Pater John Dami Muksese,  SVD (alm) dan Pater Frans Ndoi, SVD (Rektor St. Yosep sekarang)  ikut menumpang.

Satu tahun tinggal bersama dan selalu berinteraksi, saya tahu betul  seperti apa sosok Pater Henri Daros.  Pastor yang ditahbiskan jadi imam 2 Juli 1978 ini adalah seorang biarawan yang setia dan total pada panggilannya.  Bakti pada pekerjaan dan tugas dijalani dengan penuh tanggung jawab. Pada masanya menjadi direktur, Penerbit Nusa Indah Ende punya nama di Tanah Air.

Disiplin hidupnya luar biasa. Tertib di segala waktu dan tempat. Sosoknya sebagai seorang  pastor sangat dijaganya. Imamatnya dijunjung penuh tanggung jawab.  Dihayati tanpa banyak pamrih.

Pater Henri juga selalu tampil rapi. Rapi berpakaian. Rapi di rumah. Rapi juga di kantor. Dia juga sangat santun berbicara. Jadi pendengar yang baik untuk lawan bicara.

Di biara usai pulang kantor, Pater Henri lebih banyak di kamar. Istirahat dan membaca. Dia sangat jarang keluar biara. Sosok ini menjalani kehidupan membiara secara paripurna. Dia mengajar hidup membiara melalui contoh dan praktek hidupnya.

Juli 1993 saya kembali ke Ledalero. Kami berpisah. Tahun 1994 saya meninggalkan Ledalero menuju Jakarta. Setahun di ibukota negara, akhir 1995 saya kembali ke Flores. Berniat  bergabung di Mingguan Dian. Niat itu tak kesampaian.  Suratan  nasib menentukan lain. Tidak jadi ke Dian, saya diajak  Pius Rengka bergabung di Pos Kupang.

Demikianlah saya kemudian bergabung di Pos Kupang mulai Januari 1996.  Januari 1999, saya kembali ke Ende. Sebagai Kepala Biro Pos Kupang di Ende. Bertemu lagi dengan Pater Henri.

Sekali waktu, saya mampir di markas Dian dan Penerbit Nusa Indah. Melepas rindu dan menghirup kehangatan dengan kolega-kolega yang pernah bersama. Bertemu dengan Pater JDM – sapaan akrab untuk Pater John Dami Mukese. Bertemu juga dengan Pater Henri Daros.

Kali ini interaksinya jadi berbeda. Kepada kedua pastor asal Manggarai itu saya sebut nama  calon bapak mantu saya. “Wah, itu orangtua kami di Maumere waktu masih frater dulu,” kata Pater Henri. Dan mengalirlah semua kisah kenangan semasa frater di Maumere.

Pater Henri Darso (kiri) dengan seorang pengunjung Pojok Bung Karno Ende

Tidak salah. Bapak mantu saya, Piet Boekan (alm), ketika menjadi Kepala Departemen Penerangan (Deppen) Sikka (1976-1982) jadi orangtua para frater asal Manggarai, terutama Manggarai Timur.

Tak ayal hampir setiap hari Minggu, para frater ramai-ramai ke rumah orangtua di Maumere. Frater Henri yang piawai menggubah lagu, tampil beda. Dia ajar si kembar Vera dan Veri Boekan di rumah lagu “Tanjung Perak di Tepi Laut”. Sambil berdiri menghadap Frater Henri,  keduanya yang masih bocah menyanyi lagu andalan itu. Lagu itu masih diingat dengan baik hingga sekarang.

Ketika Pater Henri mengikrarkan kaul kekal di Ledalero,  orangtua mantu ikut  hadir mendampingi. Bahkan bapak mantu membawakan sambutan mewakili orangtua frater yang berkaul kekal.

Sampai sekarang kami merasakan benar eratnya kekeluargaan antara keluarga istri saya dengan keluarga Pater Henri. Suster Maria Yohana, SSpS (Provinsial SSpS Flores Bagian Barat), saudari Pater Henri kalau ke Kupang pasti mengontak dan bertemu. Ada-ada saja yang dibawa untuk kami. Kopi, kompiang, beras merah. Bahkan sayur segar pun dibawa Suster Yohana.

Kalau ke Kupang, Pater Henri pasti mampir mengunjungi orangtua di rumah.

Semalam ketika berita meninggalnya Pater Henri beredar di grup keluarga, semua  jadi sedih. Terharu. Larut dalam duka. Masing-masing anak (ipar saya) memberi catatan kenang-kenangan  tentang Pater Henri.

Si Vera datang ke  rumah.  “Ingat terakhir Pater datang kunjung ke rumah ini sekitar 10 tahun lalu, sempat kasih amplop di oma. Kami buka ada uang Rp 1.750.000. Oma bilang uang ini tidak boleh kita pake makan, kita pake belanja barang saja supaya ada kenangan dari  Pater dan selalu ingat Pater. Akhirnya oma putuskan beli kursi sofa merah yang sekarang ada di ruang SDM (ruang khusus tempat orangtua menasehati dan berbagi kisah dengan semua anak). Ini sofa kenang-kenangan dari Pater,”  kata Vera, yang sekarang sebagai Kasubag Keuangan di Kantor Pengadilan Tinggi NTT.

Veri yang sekarang jadi Kepala BPJS Ketenagakerjaan di Kabupaten Mimika, Papua, mengirim di grup keluarga komunikasi terakhir dia dengan Pater Henri sekitar 6 bulan lalu via media sosial facebook.

Veri mengaku menyimpan dengan baik kenangan indah semasa kecil di Maumere bersama Pater Henri.

“Selalu ingat lagu itu (lagu Tanjung Perak di Tepi Laut). Majalah Kunang-Kunang menemani dari SD sampai SMA di Kupang,” kata Veri.

Tiga tahun lalu, tepatnya 12 Juli 2018,  Pater Henri merayakan pesta pancawindu imamatnya di Ruteng. Suster Yohana mengirim undangan ke Kupang. Semua gembira.  Atur rencana mau ke Ruteng. Sekalian pulang lihat  tanah asal. Saya dan istri sepakat menghadiri acara itu.

Tak dinyana si sulung, Vincentius Jeskial Boekan, meninggal dunia 15 Mei 2018.  Belum sampai sebulan, Mama Mantu menyusul si sulung, 13 Juni 2018. Kembali ke Rumah Bapa. Duka beruntun. Rencana ke Ruteng batal.

Hari ini jasad Pater Henri Daros dikebumikan. Pastor seniman itu telah mati berkalang tanah. Rohnya kembali ke sang pengasal, ke tempat dari mana tak seorang pun tahu. Nusa Tenggara Timur, Flores  khususnya, kehilangan seorang seniman. Tarekat Societas Verbi Divini (SVD) kehilangan seorang anggotanya yang 17 tahun menjadi dosen di Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang.

Untuk mengenang penggagas dan pengawal Pojok Bung Karno di Ende itu, saya mengutip sajak karya Sapardi Djoko Damono berjudul ‘Pada Suatu Hari Nanti’ berikut ini:

Pada suatu hari nanti

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait-bait sajak ini

Kau takkan kurelakan sendiri

 

Pada suatu hari nanti

Suaraku tak terdengar lagi

Tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

 

Pada suatu hari nanti

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau takkan letih-letihnya kucari

 

Selamat jalan Pater Henri Daros, SVD. Requiem aeternam, dona ei, Domine!*  (tony kleden)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *