Felix Pullu, Politik sebagai Pertaruhan Hidup

Oleh Tony Kleden

 

“Telah berpulang dengan damai Ketua Wantim bpk Felix Pulu pagi ini jam 07.00 WITA di RS Siloam… Tuhan memberikan kekuatan & penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan… Amin.

Bacaan Lainnya

Berita duka ini menyebar cepat di grup WhatsApp (WA) Keluarga Besar Golkar NTT,  Dewan Pertimbangan Golkar NTT, dan juga di Bapilu Golkar NTT.

Felix Pullu meninggal dunia tepat di tanggal dan bulan yang sama dengan tanggal dan bulan lahirnya, 18 Januari. Lahir 18 Januari 1941 di Mataloko, Ngada, meninggal dunia 18 Januari 2021 di Kupang. Usianya panjang. Tepat 80 tahun.  Sudah dapat bonus 10 tahun. Sebagai manusia, capaian usia ini luar biasa.

Sebagai wartawan, saya sudah mengenal  lulusan sarjana muda (BA) IKIP Sanata Dharma (kini Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta tahun 1969 ini. Pertama-tama sebagai Ketua Organda NTT, dan kedua tentu sebagai anggota DPRD NTT dan kemudian sebagai Wakil Ketua DPRD NTT pada dua periode  terakhir dari empat masa baktinya sebagai anggota DPRD NTT (1977-1997).  Namanya sering menghiasi halaman koran dalam dua posisinya di atas. Ketua Organda NTT bahkan masih dijabatnya  hingga akhir hayatnya.

Pengenalan secara pribadi dan personal dengan Felix mulai lebih intens sejak saya bergabung dengan Partai Golkar sejak awal tahun silam. Sosoknya ramah, murah senyum dan cepat familiar.  Sebagai orang tua, Felix seorang pendengar yang baik. Dia membiarkan lawan bicaranya tuntas berbicara baru menyela atau merespon.

Di DPD Partai Golkar NTT, Felix jarang absen pada kegiatan-kegiatan semisal rapat atau kunjungan ke daerah. Dia hadir dan selalu diberi kesempatan menyampaikan pandangan dan pikirannya, terutama sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Golkar NTT.

Di luar rapat-rapat Golkar, kami sering bertemu. Ngobrol dan  diskusi. Aneka tema dibicarakan.  Dari politik hingga pemerintahan. Dia sangat antusias kalau diskusi sudah beralih fokus  ke tema seputar agama dan politik. Dia banyak membagi pengalamannya di bidang politik. Dari orde baru hingga sekarang. Dia bercerita penuh semangat.

Perjumpaan terakhir terjadi  ketika sama-sama mengawal  Pilkada Ngada Desember tahun lalu.  Tepat pada hari H pencoblosan, 9 Desember 2020, kami menikmati alam pegunungan Ngada di Manulalu, tempat favorit wisatawan ketika berada di Ngada.  Kawasan resort Manulalu ini dikelola putranya yang sangat paham tentang dunia pariwisata karena punya pengalaman di Eropa dan Amerika Serikat.

Dari pengenalan, perjumpaan dan diskusi serta ngobrol dengan Felix, saya jadi paham seperti apa sosok ini di dunia politik. Saya paham bagaimana watak dan karakter politiknya.

Harus diakui, Felix adalah salah satu tokoh politik NTT. Dia  politisi  lintas zaman. Dari awal orde baru, reformasi hingga sekarang di era milenial. Dia  mengalami, melakoni dan  ikut  merasakan debar-debar politik di NTT. Dia  mengetahui dengan sangat  baik riwayat tualang  dan geliat pembangunan  NTT di bawah  kepemimpinan beberapa gubernur. Dari El Tari, Ben Mboi, Hendrik Fernandez, Herman Musakabe hingga Piet Tallo.  Dia paham benar desain pembangunan NTT dari gubernur ke gubernur dengan titik  penekanannya.

Di titian panjang riwayat politiknya, Felix memaknai politik bukan terutama sebagai pertaruhan kepentingan yang sifatnya pragmatis sebagaimana lazim  dalam praksis politik sekarang.  Bagi Felix, politik itu bukan semata ajang bergulat dan bertarung merebut kekuasaan dan dengan kekuasaan itu melipatgandakan keuntungan dan kepentingan pribadi dan atau golongan. Bagi Felix politik itu juga bukan sekadar panggung menempatkan diri di zona nyaman. Sebaliknya bagi Felix, politik itu arena membumikan gagasan,  menyatakan pikiran, membahasakan harapan, dan menggolkan cita-cita demi kepentingan masyarakat banyak.

Dengan demikian bagi Felix, politik itu vocation, panggilan. Panggilan memperjuangkan bonum commune, mengejar kebaikan bersama. Panggilan mengejawantahkan visi dan misi partai yang tak lain untuk kesejahteraan masyarakat. Menjiwai  untuk kemudian memperjuangkan panggilan itu menjadi spirit dasar Felix terjun ke dunia politik.  Yang dicarinya adalah pengabdian, dedikasi, penyerahan diri. Yang dicarinya adalah point, bukan koin. Nilai, bukan uang.

Tegasnya, dengan keputusan dan pilihannya terjun di dan terlibat penuh dan aktif demikian lama di politik, Felix ingin menerjemahkan politik dari ortodoksi menjadi ortopraksis.  Atas upayanya seperti ini, kita patut memberi apresiasi untuk putra Ngada ini.

Tepat di hari jadinya yang ke-80 tahun, Felix menghembuskan nafas terakhirnya. Politisi lintas zaman itu telah tiba di ujung batas ziarah panjangnya. Raganya sudah berkalang tanah. Jiwanya sudah kembali ke Sang Pengasal. Yang tinggal adalah spiritnya. Warisan berharganya adalah totalitas dan bakti di jalan panggilan, jalan politik.

Sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller, ini tepat untuk mengenang Felix Pullu,  “und zetzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein (hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan).

Selamat jalan senior yang ramah dan hangat. Selamat berjumpa dengan Sang Cahaya Maha Cahaya. Requiem aeternam, dona ei, Domine! (*)

Penulis, Wartawan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPD Golkar NTT

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *