Oleh P. Kons Beo, SVD
“Luka kita seringkali merupakan bukaan menuju bagian yang terbaik dan terindah dari diri kita” (David Richo)
Manusia Rentan
Alangkah rentannya kita. Anugerah akal budi itu tak cukup untuk menangkap semua dalam logika. ‘Kepala’ tak pernah punya kekuatan penuh, apalagi sempurna untuk bereaksi yang wajar atas segala kisah yang menikam jantung. Singkat kata, kita, manusia ini, mudah terluka dan rasa tersakiti. Dan, di situlah alam perasaan mulai ‘bermain kasar pun ada halusnya.’ Dan itu mengguncang diri. Kita bereaksi….
Galau, cemas, gelisah, tak nyaman, comel di sana-gerutu di sini, reaktif tak menentu, sekian sentimental. Itulah sederet riak-riak suram yang bergelora di dalam dunia batin. Ini belum terbaca lagi dari raut wajah lamentatif, serta reaksi fisik yang ungkapkan kesedihan mendera. Pun nyata dalam wajah sangar ‘seperti mau terkam orang saja,’ penuh sinis. Bahkan bisa juga menjurus ke kekerasan verbal dan fisik.
Di balik semuanya, apakah yang sebenarnya terjadi? Itu tanda kita masih dan tengah terluka. Dan senyatanya kita ‘belum pada sembuh-sembuhnya juga.’ Kita seperti hidup dan berziarah dengan ‘luka bernanah di wajah kita.’ Kita bereaksi sungguh atas percikan bara api hati panas membakar atau pun gumpalan hati es nan membeku yang ‘bikin kita mati rasa.’ Iya, kita sungguh masih terluka….
Asap Ketidakpedulian
Tentang diri yang terluka itu, si bijak punya perenungan, “Orang bersalah terhadap kita. Dengan kata-kata dan perbuatan yang menyakitkan mereka melukai kita.” Masih ditambahkan, “Kita terluka tidak dengan apa yang orang lakukan terhadap kita, tetapi juga oleh apa yang mereka lupa lakukan kepada kita.” Di situlah rasa diabaikan segera mendera. “Dan bukankah ketidakpedulian itu adalah bentuk lain dari kekejaman?”
Bila mesti dilukis lebih jauh, manusia alami keterlukaan bagai sebuah alur hidup kerontang padang gurun. Gersang tanpa oase. Tak ada citra relasi dari hati ke hati. Meredupnya gairah penuh spontanitas. Tak ada dialog. Tiada kewajaran dalam bertanya untuk dapatkan sebuah jawaban. Kita terluka dalam cercaan serba hitam dan pekat. Semuanya berujung agar hidup dan kisah kita ‘tinggal cerita hati yang luka.’
Hidup Nan Keras dan Gersang?
Kita terluka pun karena alam hidup yang keras. Terforma dalam indoktrinasi yang mesti ditaati bulat-bulat dan buta. Sebab ‘naluri tanya dan ragu telah terkebiri.’ Hak bicara dan bersuara telah dicopot paksa. Mari bayangkan saja dinamika sebuah taman sekolah yang dipaksa dalam ‘penghafalan tanpa paham. Yang mudah terbelenggu dalam rantai tekanan menuju fanatisme.’
Kita sungguh jadi manusia terluka dan tersakiti karena forma potret kehidupan yang gersang dan keropos itu. Itulah kehidupan yang tak dirayakan bersama. Hidup yang tak disyukuri bersama. Hidup yang tak dirosting santai hingga nasib kehidupan yang tak ditangisi bersama!
Memang, sepertinya ‘spiritualisme dunia manjakan kita dengan narasi dan karoseri diksi yang sedap terdengar. “EGP (Emangnya Gua Pikirin), Persetan! Bodo amat! Urus diri dan atur hidup masing-masing!” Dalam ketidakpedulian dan ‘malas tahu,’ jarak fisik semakin jauh. Dan jarak batin pun semakin menebal. Sayangnya, justru di situlah luka-luka kehidupan semakin menganga.
Beban Spiritualisme
Apa yang diyakini sebagai EGP atau gema sejenisnya, justru pada titiknya tetap membuat manusia terluka dan tersakiti. Yang justru bikin manusia itu kepikiran dalam sesal dan terjerembab pada penghakiman terhadap diri sendiri.
Satu keyakinan dari Sang Bijak, “Bagi orang Kristen kebohongan terbesar adalah tetap memandang orang lain tanpa belas kasihan. Kita jadi buta atas kebaikan-kebaikan mereka dan tetap membebani mereka dengan segala beban-beban kesalahan dan dosa mereka.” Inilah kekejaman hati nurani sempit yang sekian takut dan jadi pengecut ‘untuk memaafkan dan mengampuni.’
Siapa pun manusia, di dalam ziarah kehidupan ini, tentu berlangkah dalam beban-beban derita. Dan lewati kisah-kisah hidup tak elok. Sebesar atau sekecil apapun. Dalam ziarah rohani, pun dalam bahtera institusi keagamaan yang lebih luas, riak-riak luka dan duka tampak nyata tak tersembunyikan. Luka-luka mesti dibikin terlihat menganga.
Seluruh Diri Kita Berada
Satu catatan patut disimak, “Sungguh sulit untuk bersifat fair dan obyektif karena setiap orang termasuk aku, ikut terperangkap dalam kemelut. Tak seorangpun dari kita bebas.” Namun, bagaimana pun, mesti diusahakan agar setiap orang sanggup untuk merasakan bahwa di suatu tempat dan lingkungan di situlah seluruh dirinya berada…
Seruan profetis, misalnya, mesti digemakan dalam konteks komunio, persekutuan dan rasa persaudaraan yang menjadi muara dan kiblat hati bersama. Sebab itulah, “Kita harus menolak untuk berbicara tentang Gereja seolah-olah di sana ada pahlawan-pahlawan yang baik dan penjahat-pejahat yang keji. “
Tidakkah tampilan nabi di dalam Gereja sering diaplaus’ sebagai “orang yang berdiri menentang para pejabat Gereja dan mengumumkan kegagalan mereka. Nubuat kenabian sering dipandang sebagai pengumuman tentang kesalahan orang lain?”
Kita Mesti Kembali Pulang
Sejatinya, yang mendasar dalam satu persekutuan adalah promosi dan usaha nyata yang sehat dan seharusnya dalam mengatasi pemisahan. Memang, tak mudahlah untuk “harus memanggil satu sama lain agar pulang dari pengasingan” untuk tak terus merasa sakit dan terus saling melukai….
Memang, dalam kenyataan yang paling dalam, tak mudahlah untuk melupakan momentum saat kita tersekap dalam ketidakpedulian. Terdengar simpel, namun tak semudah dalam memulainya. Kata si bijak, “Hadapi rasa sakit itu. Akui kegersangan yang ada, dan ampunilah siapapun yang pernah ciptakan luka di hati kita.”
Tuhan Tak Pernah Curang
Tetapi juga bahwa kita tetap belajar untuk “membuka hati untuk kehadiran orang lain. Untuk belajar mendidik diri sendiri bahwa untuk segala sesuatu di kesementaraan ini selalu ada titik-titik risikonya. Kisah nyata dan ungkapan iman Nabi Ayub bisa jadi inspirasi. Bahwa Tuhan tak sedikit pun berlaku curang di dalam kisah-kisah batin yang dirasakan, dan di dalam ziarah nyata alur pengalaman hidupnya.
Dalam iman dan keyakinan akan Tuhan, setiap kita bukanlah orang yang terus terluka dan tersakiti. Namun di atas segalanya kita adalah insan beriman yang dikasihi. Dan kita sungguh miliki pengharapan di dalamnya.
Verbo Dei Amorem Spiranti
- Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Collegio San Pietro – Roma