Ustad  Kainama, Debat  dan Kegagapan Intelektual

Kons Beo5
(satu perenungan adventus: menanti Tuhan yang peduli)

Oleh Pater Kons Beo, SVD
Kita ini bersaudara, tidak perlu saling tegang. Surga itu terlalu luas sehingga tidak perlu memonopoli surga hanya untuk diri sendiri” (Quraish Shihab

Di usai debat itu, beberapa saat kemudian, Pendeta Esra Soru memang tak mampu sembunyikan rasa kecewanya. Harapan akan adanya tarung opini atas dasar kajian sejarawi dan tafsiran alkitabiah tentang ‘bangkit tidakNya Yesus’ mesti berakhir datar, melempem. Tak sengit. Tak mengasa nalar untuk jadi cerah ceriah.

Bacaan Lainnya

Kainama  yang telah ‘diustadkan’ itu tampil awal meyakinkan. Tampilan muslimahnya, maksudnya. Tentu ada harapan besar dari ‘dunia dan segenap suporternya’ bahwa Esra Soru (kekristenan) bakal dibuat mati suri. Kecakapan dan kedalaman kualitas ilmiah Kainama akan merobek jantung iman kristiani, yakni Kebangkitan Yesus.

Namun, ekspektasi massif terhadap diri Kainama itu ternyata berujung sia-sia. Iya, mesti disimpulkan demikian. Adakah sebuah debat yang seharusnya punya dasar scientifik mesti dikerdilkan dan dikudungkan dalam ‘perang sanggahan yang tak seimbang’?

Kainama hanya sebatas banyak cengar-cengirnya, yang maaf, penuh ngelesnya. Ia tampak kelabakan antara ‘diam seribu bahasa’ dan banyak tawa ngos-ngosan yang tak lucu, sambil berjuang untuk ‘lindungi dirinya.’ Iya, lindungi dirinya sendiri dari rasa percaya diri yang keropos di arena debat itu.

Kainama memang tak sedang postulatkan dalil-dalil yang kokoh bahwa Yesus itu tidak mati. Ia datang hanya berbekal kutipan-kutipan ini dan itu yang tercecer dan ‘ayat-ayat Alkitab yang disortir dan dipenggal-penggal semaunya’ untuk hanya menunjukkan bahwa ‘Yesus tidak mati.’ Soal konteks peristiwanya, nampaknya Kaimana tak peduli. Semuanya ini seperti hendak katakan ‘emangnya gua pikirin…’

Gol bunuh diri yang bikin Kainama mati langkah sebenarnya adalah dalilnya yang teramat simplistik: Yesus tidak mati. Buktinya adalah bahwa tidak ada bukti… Kainama sudah berakrobat untuk untuk ‘mengulak-ulak’ Alkitab bahwa Yesus tidak mati. Lalu dengan lincahnya ia bersalto ke keyakinan imannya seperti tersurat dalam Al Quran. Tentu yang dimaksudkan Kainama adalah dari QS. An-Nisa ayat 157 itu…. “Orang yang diserupakan seperti Isa…” Itulah tanda bahwa Allah SAW, Islam memuliakan nabinya. Isa bin Mariam, tak pernah mati….Sebagai arena adu hasil telaah ilmiah, debat di Rabu, 30 Juli 2024 itu, seharusnya, itu tadi, bercitra akademik dan berwibawa keilmuan semuanya pupus sudah. Maka, harus kah itu disebut sebagai arena debat? Tetapi, mari kita menangkap serius dari kisah ‘debat’ seminggu yang telah lewat itu….

Pertama, sebenarnya melalui ‘debat’ itu, sungguh nyata bahwa Kainama tengah secara tak langsung memperkuat dan meneguhkan pengakuan penuh jujurnya bahwa ia bukan lulusan Sekolah Tinggi Theologi Menteng-Jakarta dan mantan pendeta, dan lalu studi lanjut di Leiden Universiteit (Theologi Liturgi), dan akhirnya sungguh tamatan S3 Biblical Study di Haifa, Israel.

Kedua, juga sebenarnya nyata betapa minimnya pengetahuan dan penguasaan obyek dan kajian islamiah sang Ustad mualaf ini. Suara publik selalu deras mendesak, “Para mualaf, sewajarnyalah kalian masuk dan belajarlah berenang jauh ke kedalaman samudra keislaman. Agar tak hanya tampil dengan hafalan-hafalan ayat dan ungkapan arabic ‘yang tak variatif dan itu-itu saja.” Namun yang terpenting tetap bersandar pada sebatas tampilan dan gelegar suara yang dianggap berdaya magic dan agamis…”

Sungguh disayangkan bahwa sebenarnya posisi tak jelas penuh ambigu masih mendera ustad mualaf sekelas Kainama dan kelompok sejenisnya. Antara ‘keislaman yang masih dangkal dan kekristenan yang telah dibencinya’ memang mengisyaratkan basis berpijak yang rapuh dan keberakaran yang dangkal dalam sikap batin religius-spiritual.

Patut kah Kainama mewakili kewibawaan dunia Islam di arena debat, yang tak bisa tidak, telah mengambrukkan rasa percaya diri dan bahkan harga dirinya sendiri?

Ketiga, bagaimana pun patut ditelaah (seadanya) tidakkah (fenomen) Kainama ini nampaknya sungguh dirawat dan dilindungi sebagai aset bernilai. Semuanya berintensi untuk ‘mengganggu dan membuyarkan rasa nyaman dan damai dalam dunia kekristenan?’ Ganti dialog, atau sejenis share iman, misalnya, oleh level mualaf sekelas Kainama dan sejenisnya, telah berubah jadi hamburan kata-kata ‘suka-sukanya’ tanpa satu telaah yang harus dipertanggungjawabkan secara akademik.

Keempat, tetapi di alam kegalauan dan kegagapan ilmiah si Kainama, tidakkah telah terbentang karpet merah demi satu momentum evangelisasi? Di kisah debat itu, tentu tak seluruhnya  wajib disesalkan oleh Pendeta Soru. Plintar-plintir Kainama ke sana ke mari di arena terbuka itu tidak kah dilihat sebagai ‘blessing in disguise’ oleh Pendeta Soru untuk dinamika pencerahan iman Kristen dalam alur apologetik.

Sesungguhnya, bukan hanya Kainama in persona singular yang ‘diceramahi’ melainkan juga ‘kainama kolektif’ yang mesti dengan teduh namun tegas dicerahi oleh Pendeta Soru. Katakan semisal para ustad seperti Abdul Somad, si mualaf Yahya Waloni, Bangun Samudra, Rizieq Sihab, dan para ustad sealiran yang terbiasa ‘jago menggelegar’ dalam monolog menyerang atau ‘menghina isi iman Kristen. Tanpa pernah lewati pengalaman dialog atau debat langsung. Yang hanya ‘ribut melulu’ tentang kekristenan di hadapan pendengar setianya sendiri. Di titik ini, ya ‘bae sonde bae, Kaimana lebe bae’ dari yang belum punya hati atau keberanian untuk berdialog dan berdebat.

Inilah momentum, yang walau pun disesali, toh menjadi ‘kesempatan untuk bersaksi’ (cf Luk 21: 13-15). Ada banyak butir indah yang patut ditangkap dari arena debat berskala nasional itu. Iman, sederhananya, adalah cara memahami Tuhan Mahasegala, dan bagaimana menghayat isi ajaran agama itu dalam keseharian nyata dan dalam perjumpaan dengan sesama.

Kita, dalam rasa dan nilai keber-agamaan, tentu tidak menjadi ‘besar, mulia dan terlebih benar’ hanya karena telah merasa ‘di atas angin berhasil’ menghina dan menekan sesama yang lain, dan mencela isi iman sesama itu. Kita tidak boleh sekian enteng ‘bersembunyi’ di balik ‘untukmu agama-mu dan untukku agamaku’ saat merasa terpojok. Namun kemudian sekian ‘ganas dan bahkan membabi buta’ menyerang inti keyakinan dari yang ‘bukan kita.’

Wah, sekiranya tarung batin si mualaf seperti Kainama mesti direnungkannya sendiri sebagai ziarah spiritual personal. Biarlah Kainama, dan para ustad mualaf sejenisnya mesti belajar lebih banyak lagi segala seluk beluk dunia keislaman. Terdapat masih banyak hal yang mesti dihafal dan dipahami sungguh! Perlu perjuangan yang tak gampang untuk dapat menemukan ‘bonum, verum et pulchrum’ sebagai warisan otentik dari Nabi Mohammad SAW. Dari pada hanya sekedar menghujat dan mencela sana-sini. Namun, pada titiknya kedapatan benar-benar kegagapan intelektual-akademik seperti di saat debat itu.

Ataukah sebenarnya (fenomen) Kainama ini adalah juga sebentuk arus hati benci tapi rindu nih ye…?’ Pura-pura membenci atau sebetulnya hati sungguh merindu untuk kembali, untuk pulang? Entahlah….

Jika memang demikian, suara Pendeta Esra Soru tetap jadi tawaran bernilai intan bagi (fenomena) Kainama: “Sudahlah… Mari, dan kembalilah!” Kita gelarkan kata-kata Bang Ebiet, sekiranya benar pula. Bahwa untuk pulang, “Tak ada kata terlambat untuk bertobat. Nyatanya jiwaku tetap terpidana. Sesungguhnya aku tlah mati dalam hidup…”

Ya, itulah….

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma

Pos terkait