Uskup Budi: Antara Lintasan Melambung Jauh dan Jalur  Mendarat Teduh

kons beo7

Oleh Pater Kons Beo, SVD

Memang saya tak terlibat langsung di Sabtu, 10 Agustus 2024 itu. Namun, dari live  gampang untuk bersimpul: Uskup Budi dirindui dan ditunggu kehadirannya di Ende. Eforia massa yang ditata demi nuansa penyambutan telah berjalan apik.

Bacaan Lainnya

Intinya?

Uskup Budi mesti disambut meriah. Hati penuh  welcome  mesti pula tergambar nyata. Dan itu semua mesti dibayar mahal oleh Uskup Budi. Iya, dibayar mahal. Bahkan dipanjar…

Bayangkan! Dari Roma ke Ende harus butuh 8 hari (memang)? Terlalu la. Jet lag model bagaimana lagi ini? Sebagai  bagian dari ‘pusat kekuasaan SVD’ selama 12 tahun, tidak kah Uskup Budi sudah malang melintang dan terbiasa dengan berbagai  ‘perjalanan jauh hampir seantero jagat?’

Bagaimana pun

Tentu ada beda bro dengan perjalanan dari Roma sejak 1 Agustus 2024 itu. Uskup Budi amat sadar, kali ini ia tak lagi lakukan perjalanan  ‘pergi pulang’ dari Generalat SVD menuju tempat karya sama Saudara SVD. Sebab, ‘perjalanan’  kali ini adalah awal pembuktian dari  pemberian diri demi segalanya dalam Keuskupan Agung Ende.

Uskup Budi sungguh tahu, bahwa sejak namanya diumumkan resmi jadi gembala di Keuskupan Agung Ende, nama dan seluruh dirinya segera dilambungkan setingginya. Di sana-sini ia dilayang-layangkan dengan segala positif, keutamaan, kepantasan, keunggulan atau semua  light side-nya. Iya, sudahlah. Itu hak dan kemerdekaan untuk bersuara dan berpendapat! Syukur, ada pula nada-nada alarm agar ‘Budi jangan terlalu dibesar-besarkan.  Biarkan dia sebagaimana adanya dia….Jangan heboh yang kelewatan!’

Bagaimana pun…

Sumpek dan tumpah ruahnya segala litani puja-puji, seolah-olah dipagar dalam tembok beton  de Budi numquam satis. Di perjananan dari Roma ke Ndona, sejak hari pengumuman resmi itu, rasa-rasanya Uskup Budi sudah ‘dihadang dan dimacetkan’ dengan segala macam puja-puji ini dan itu.

Saya tahu persis, sebagai pribadi, Uskup Budi sudah tak nyaman dengan nada-nada eforistik-populistik penuh glorifikasi. Toh, ‘angkat-angkat orang terlalu tinggi tidak kah bisa juga akhirnya kebablasan dalam ‘ciptakan jarak lebar dan jauh’ dari ‘yang pada umumnya?

Dalam arus dan banjir puja-puji, Uskup Budi nampaknya mulai bergulat ‘berenang’ selamatkan diri menuju ke tepian. Iya, ke daratan. Dari situ, ia mulai belajar bergerak dari ‘melihat massa’ ke perlahan-lahan ‘mengalami semuanya sebagai umat KAE dan masyarakat Ngada – Nagekeo – Ende.’

Uskup Budi dengan bijak telah membagi kata hatinya yang amat personal dan afektif. Ia telah hadir di Ndona, di tengah-tengah umat Keuskupan Agung Ende dengan segenap hati dan dengan badannya.

Apakah ini satu isyarat dari Uskup Budi, bahwa ‘jiwa-raganya’ yang sudah melambung dan dilayang-layangkan itu, sederhananya, dapat dijumpai, didekati, didatangi sebagai seorang bapak, sahabat, sebagai saudara (dalam kasih persaudaraan)?

Saya banyak senyum-senyum kecil lihat Uskup Budi lambai-lambaikan tangannya dari mobil di perjalanan menuju Ndona. Tampak kaku dia dengan gerak-gerik tangannya beri berkat. Tapi itulah ungkapan sukacita umat. Sempat tertangkap komen  ‘ata Ende, “Kami tu mau sekali misa tahbisan Uskup tu di lapangan terbuka. Tapi uskup maunya di Katedral. Makanya, yang gaya penyambutan begini ni itu yang kami ator sudah.’

Akhirnya…

Iya, Uskup Budi, setidaknya telah ‘melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi’ umat dan masyarakat Ngada – Nagekeo – Ende. Bagaimana pun kiat-kiat jalan landing bakal segera ditata bersama. Kiranya dalam alam kasih persaudaraan, tetaplah pohon iman dalam Kristus itulah yang semakin berakar dan bertumbuh…

Proficiat Umat Keuskupan Agung Ende.

  • Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait