“Umat Allah Terkasih, Maafkanlah Kami…..”

kons beo2

(Hanya Setipis Debu dari Hari Tahbisan Uskup Agung Ende)

Oleh P. Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

Ramai. Sesak. Membludak dan tumpah ruah kelompok para imam di Biara St. Yosef, Ende. Semuanya pada siap untuk  prosesi akbar menuju Kathedral. Sebab Liturgi tahbisan Uskup segera dimulai.

Tapi, tetap ada celah bagi para imam untuk temu-jumpa di antara para rekan imam seangkatan, misalnya. Seperti sudah dikaroseri ‘alam’ bahwa Stef Lebuan, Rudi Parera, Remi Misa, Domi De, Amatus Kariaman, Stef Buyung, Don Jata dan saya sendiri bisa ‘kumpul bergara-gara sedikit.’ Sebabai teman kelas.

Tiba saatnya untuk gerak prosesi. Si Cerem panitia bikin pengumuman sebelumnya. Ini agar kita bergerak ritual. Bukan melaju ‘tak terkendali.’ Supaya rapih, katanya, ada kelompok imam kuria, ada kelompok imam yang punya kedudukan fungsionaris dalam lembaga keuskupan. Dan yang menarik bahwa di barisan-barisan awal prosesi disebutkan _’kelompok imam teman kelas Mgr Budi.’

Kelompok-kelompok tersebutkan ini tentu diharapkan dan berharap bakal dapat tempat dalam Kathedral. Sedangkan kelompok ‘imam pada umumnya’ diharapkan siap pasrah mengekor. Dan entah kah bagaimana nasib dapat tempat posisi dalam area tahbisan?

Satu suara pertanyaan terdengar dari seorang imam untuk saya, “Hei orang Roma. Kau tu kan temannya Mgr Budi to?”

Saya jawab enteng dan seadanya saja, “Iya, saya memang teman. Tapi teman yang, tidak berkelas apalagi sekelas Budi.”  Satu jawaban yang bikin beberapa imam lain senyum-senyum saja. Mungkin ini jawaban yang punya makna tersurat dan tersirat dalamnya.

Prosesi para imam yang mengular ini sepertinya isyaratkan bahwa “Peliharalah Kasih Persaudaraan” itu sesungguhnya bergerak awal dan bertolak dari Para Imam.  Kumpul-kumpul bersama hari ini sungguh membiaskan tanda-tanda suka cita dan harapan. “Sudah lama kami tak bersua wajah dan berbagi kisah.” Dan di gerak prosesi itu tampak ceriah wajah Umat Allah. Saling sapa tak terhindarkan. Sesekali tertangkap beberapa wajah sembab satu dua umat. Entah rasa apakah yang lagi bersemayamkan di hati mereka? Iya, perayaan kerinduan hati umat sudah di depan mata. Tuhan telah menjawabi harapan polos dan penuh tulus demi kehadiran seorang gembala Umat di Keuskupan Agung Ende.

Perlahan-lahan para imam masuk Kathedral. Dua demi dua hormati altar. Lalu dipersilahkan ambil tempat di bangku gereja. Berbahagialah kelompok para imam yang punya ‘kedudukan dalam Keuskupan dan punya relasi ber-kelas teman dengan Mgr Budi. Untuk kami yang ‘pada umumnya’ ini memang ada di pusaran hati harap-harap cemas. Sekurang-kurangnya saya! Syukurlah, bisa senyum longkar akhirnya karena ada tempat!

Bagaimanapun pikiran dengan satu dua tanya mulai melata, “Tadi bangku-bangku terlihat sudah sudah terisi semua. Kenapa koq untuk kelompok kami imam ‘belakangan’ tempatnya masih ada? Mujizat ka? Lirik punya lirik, tatap punya tatap, perhatikan punya perhatian, jawabannya jelas. Demi kami para imam, umat mesti bangun berdiri dan tinggalkan bangku yang telah ditempatinya. Semuanya agar para imam bisa duduk manis dan nyaman.

Di situlah, hati saya jadi ‘terganggu.’ Terbayang liar saja bahwa untuk ke Kathedral dan ‘tempat duduk’ mereka sudah bergegas dan berpacu dalam waktu. Sayangnya, ‘tempat itu’ mesti ditinggalkan. Sebab kaum berkasula lah yang mesti duduk! Teringat lagi satu syair lagu pembuka misa dalam bahasa Italia: “Andiamo Fratelli, il Signore ci chiama. Andiamo alla cena, c’è posto anche per voi.” Sebuah ajakan kepada Perjamuan, karena Tuhan memanggil kita. Dan juga ada tempat buat kalian…

Di Kathedral tadi memang kisah itu tampak sederhana. Bisa pula ditafsir enteng: ‘Umat selalu rela dan penuh perhatian serta berkorban. Itu semua demi para imamnya. Rasa persaudaraan memang lahir pula dari kesediaan hati untuk mengalah. Untuk membiarkan dan melepaskan penuh tulus.’

Bagaimana pun….

Jika mesti jujur dengan pikiran ‘nakal dan liar mengembara’ mestinya saya apa adanya bilang pada Uskup Budi. “Tuan, di hari tahbisanmu, karena kami sekelompok ini, ada sekelompok besar umat yang mesti _tersingkir dari bangku gereja_ . Entah ke mana mereka sesudahnya? Di sketsa pengalaman lainnya, saya memang mesti periksa diri dan tahu diri bahwa karena saya lah, imam – pastor ini, ada sekian banyak siapapun yang telah tak terhitung lagi dalam Kasih Persaudaraan.

Sepertinya umat tidak lagi merasa memiliki bangku di dalam gereja. Mungkin semakin pudar rasa Kasih Persaudaraan.

Apakah…..

Rasa hati ini yang terlalu dramatis dan penuh sentimentalnya? Rasanya tidak juga! Sebab, sekecil apapun sebuah kisah dan kenyataan yang terjadi mesti ditangkap arti di baliknya! Sekolompok umat yang mesti tinggalkan bangku gereja, justru pada hari tahbisan uskupnya, pasti pulang membawa dan menyimpan kenangan yang tak terlupakan.

Dan….

Di saat uskup Budi tinggalkan  ‘Cathedra’- nya, untuk menyapa umat Allah, saat Uskup tinggalkan area dalam Kathedral, saya pribadi membayangkannya sebagai gembala yang menyapa umat Allah. Semoga ada ‘rasa terjumpai dan tersapa oleh uskup’ untuk sekelompok umat Allah yang tadi itu ‘mesti pergi karena kami mesti tempati bangku mereka tadi.’

Umat terkasih, maafkanlah aku tadi…

Sebab karena akulah, salah satunya, kalian mesti ‘pergi dan tinggalkan bangku gereja tadi.’ Semoga tak terlambat lah aku untuk mencari dan memanggil kalian pulang. Sebab Gereja adalah Rumah kita bersama; sebab Gereja adalah komunio kita bersama. Pun ziarah kita bersama dalam iman, harapan dan Kasih Persaudaraan…..

Di hari-hari ke depan ini, suara Kasih Persaudaraan akan menjadi gema dan spirit hidup kita bersama…

Verbo Dei Amorem Spiranti

  • Kons Beo, imam tinggal dan bertugas di Roma

Pos terkait