Oleh Pater Rein Kleden, SVD
Bukan Suatu Kebetulan
Teks Injil Lukas (Luk 5:1-11) yang dibacakan pada misa akbar di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta adalah teks hari bersangkutan Kamis, 5 September 2024, (Pekan Biasa XXII), yang sekaligus hari puncak kunjungan pastoral Paus Fransiskus di Indonesia. Adakah yang menarik dan menakjubkan dengan kisah Injil tersebut?
Walau mengikuti misa kudus tersebut lewat siaran televisi (live streaming KompasTV), mendengar kotbah Bapa Paus (Kisah tentang penjala ikan menjadi penjala manusia), ada sedikit gumaman dalam hati kecil: “Ah… rupanya benar dan sungguh terjadi! Apa yang dikatakan Yesus dua ribu tahun lalu kepada murid pertamaNya Simon Petrus di pantai Danau Genesaret sepertinya terulang kembali di Gelora Bung Karno sore itu”.
Apa Yang Sungguh Benar?
Meninggalkan Kota Roma (Vatikan), menumpang pesawat komersial Air-Italia, bertolak ke tempat yang lebih jauh, lebih dalam, menempuh penerbangan selama 13 jam lebih untuk sampai ke Jakarta, Ibukota negara Indonesia, negara Bhineka Tunggal Ika dengan penganut muslim terbesar di dunia, hingga misa akbar stadion GBK, suatu perjalanan pastoral panjang melelahkan, namun bukan misi perutusan sia-sia tanpa hasil. Seperti perahu-perahu Simon dan teman-temannya terisi penuh dengan ikan hingga hampir tenggelam.
Demikianlah yang terjadi di Gelora Bung Karno sore itu. Bukan hanya hampir 87 ribu umat yang menghadiri misa kudus tersebut dalam stadion dan 470
imam yang memberi komuni kepada umat yang hadir sebagaimana tercatat pada layar live streaming KompasTV, tapi juga umat lain yang tak terhitung jumlahnya yang berada di luar stadion yang mengikuti misa kudus dengan khusuk lewat live streaming.
Mengenang kembali percakapan Yesus dan Simon di pantai Danau Genesaret kala itu, Sri Paus tentu tidak bisa mengelak untuk secara jujur mengatakan seperti rekan se-Pausnya Simon Petrus (Paus Pertama): “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk 5:5).
Menyaksikan segala gerak langkah, ekspresi wajah serta gestur tubuh Bapa Paus sejak hari kedatangannya hingga perayaan Misa akbar di GBK sore itu, pemimpin tertinggi Gereja Katolik dunia itu adalah sosok pribadi yang sungguh sederhana, murah senyum, akrab, menyapa dan menyentuh semua orang, tidak membeda-bedakan atau memilih.
Sikap sederhana dan ketulusan yang keluar dari hatinya, menjadikan si megabintang Vatikan itu seorang pendengar sabda tapi sekaligus seorang pelaku sabda, seniman sejati, tegas dalam kata dan perbuatan. Dengan duduk di atas kursi di belakang meja altar, tanpa harus berdiri di mimbar (karena kondisi kakinya), Paus Fransiskus membagikan kesederhanaan hidup dan hatinya dalam kalimat sederhana pembuka kotbahnya: “Perjumpaan kita dengan Yesus mengundang kita untuk menghidupi dua sikap mendasar yang memampukan kita untuk menjadi murid-murid-Nya yakni mendengarkan sabda dan menghidupi sabda”.
Sebagai Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang disegani, yang selalu dinanti-nantikan di mana saja kedatangannya, sore itu di stadion GBK disoraki dengan yel-yel “Viva il Papa, Viva Papa Francesco”.
Semua orang bersorak gembira, bertepuk tangan, mengucap beribu terimakasih dengan tangisan haru kepada Bapa Paus Fransiskus. Bersama lambaian tangannya yang lembut, beliau hanya tersenyum manis menyambut semuanya. Namun suatu hal yang mungkin luput dari perhatian banyak orang adalah bahwa melalui kursi roda yang beliau gunakan serta nyanyian gempita umat.
“Kristus jaya, Kristus mulia, Kristus, Kristus Tuhan kita”, beliau ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya yang mesti disanjung, dihormati, dimuliakan, disoraki yel-yel bukanlah dirinya melainkan Sang Gurunya sendiri: Yesus. Oleh banyaknya ikan yang ditangkap, Simon Petrus tersungkur di depan Yesus, demikianlah Paus Fransiskus, dengan kursi rodanya, dia hanyalah seorang hamba (“servus servorum Dei”), seorang pelayan yang siap mendengar dan melaksanakan apa yang menjadi perintah Yesus Tuhan.
Kotbahnya yang dia bacakan sendiri di stadion GBK hari Kamis sore itu sepertinya menghadirkan kembali mukjizat penangkapan ikan di pantai danau Genesaret dua ribuan tahun lalu. Semuanya bisa terjadi karena ada hati yang mau datang, tersungkur untuk membuka diri, menerima dan mendengarkan Dia yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (bdk Yoh 14:6).
Dengan senyuman ceria dan lambaian lembut tangannya kepada semua yang hadir, Sri Paus Fransiskus menghidupkan kembali ajakan sang Gurunya: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (bdk Mat 11:28).
Terima kasih Yesus,
Engkau telah memilih dia,
Paus Fransiskus,
Pendengar dan Pelaku Sabda-Mu.
- Penulis, Pastor Paroki Waikomo, Lembata