BEGITULAH komentar Mgr. Anton Pain Ratu, SVD, tentang lembaga legislatif saat ini. Keras memang. Dan, itulah yang mencirikan Mgr. Anton setiap kali angkat bicara. Pengalamannya sekitar enam tahun menjadi anggota DPR Gotong Royong di Timor Tengah Utara (TTU), waktu lalu, membuatnya sangat paham dan mengerti tentang lika liku dunia politik berikut ‘remah-remah’-nya.
Kepada wartawan Pos Kupang, Tony Kleden, yang menemuinya di Istana Uskup Atambua, Lalian Tolu, Selasa (23/2/2004), pekan lalu, Mgr. Anton banyak menyoroti masalah sosial politik berikut konstelasi politik saat ini. Ikuti petikan wawancara dengannya berikut ini.
Tanpa bermaksud membuat perbandingan, Bapak Uskup merupakan salah seorang pemimpin Gereja Katolik di NTT ini yang tampaknya lebih sering bersuara membela kepentingan masyarakat, terutama di bidang sosial politik. Mungkin ada sesuatu yang mendorong?
Ya, kalau dari analisa sederhana, yaitu orang dari keluarga rapat saya, mereka hanya bilang begini, helo ama (seperti bapak, Red). Mungkin itu yang paling dasar. Dan saya coba melihat ke belakang, sedikit melihat sejarah. Saya ditahbiskan menjadi imam tahun 1958. Tahun 1959 saya tiba di Eban, Timor Tengah Utara (TTU). Sebagai seorang imam muda, saya tiba di suatu daerah yang baru, apalagi dengan bahasa yang sama sekali baru buat saya. Tetapi, tahun 1960, dengan sedikit dana dari luar negeri, bersama umat kami membangun satu gereja di OEolo. Ketika kita sidang, umat minta agar ada gereja. Saya bilang, orangtua saya seperti orangtua kamu, saya tidak punya uang. Jadi, kalau kita ingin bangun gereja, kita kumpul uang sama-sama. Saya tidak ada uang dari luar negeri. Kami akhirnya mulai membangun. Natal tahun 1960 kami sidang, kami sepakat untuk sama-sama bangun, kumpul bahan, pasir, kayu. Semua pikul, tidak ada kendaraan waktu itu. Tahun lalu, gereja itu sudah empat puluh tahun usianya, tetapi belum rusak apa-apa. Gereja itu dibangun oleh tukang yang sederhana, tetapi masih baik dan berdiri sampai sekarang. Jadi, orang selalu bilang, helo ama. Bapak saya di kampung juga seorang tukang yang bangun rumah. Dulu kami tinggal di gunung, di Lamawolo asli (desa di kaki Gunung Boleng, Adonara, Flotim). Tiap kali kita mesti turun naik timba air satu sumur di Desa Longot (desa di dekat pantai). Sesudah perang kita pindah ke bawah, rumah kita menjadi satu-satunya. Tetapi akhirnya semua orang pindah ke bawah dan bangun rumah lengkap dengan teras-terasnya. Jadi, mesti ada orang yang tahu atur. Dan, memang dia (bapak) juga atur bahwa kerja bangun rumah itu tidak boleh makan biaya banyak. Selesai dulu baru bunuh babi satu kali. Jangan baru bangun fondasi, potong babi. Dia bilang, kita mesti ingat orang kita ini supaya bisa sekolah. Mungkin ini juga mempengaruhi saya, bahwa dia memperhatikan orang lain, orang kecil. Meski sederhana, tetapi hemat biaya. Ada tradisi organisasi, yaitu gotong royong.
Apakah Bapak Uskup juga menyadari atau merasa bahwa Bapak Uskup sering tampil di publik membela kepentingan banyak orang?
Tidak, saya tidak merasa apa-apa. Saya merasa itu hal yang biasa-biasa saja. Kalau saya lihat ada yang tidak betul, saya omong, seperti bapak saya itu. Kalau ada yang curi, dia akan tegur. Kebetulan dia adalah kepala desa, sehingga di kampung tidak ada pencuri.
Karena sering tampil bersuara di bidang sosial politik itu, ada yang mengatakan, Uskup Atambua itu seorang uskup nasionalis, karena memperhatikan hal-hal yang mungkin tidak secara langsung terkait dengan gereja……
Terkait kok…. Gereja itu mesti mendunia. Yesus datang di dunia, misiNya di dalam dunia. Banyak orang pisahkan itu. Memang, kita tidak boleh berjiwa duniawi, tetapi bervisi dunia. Uskup nasionalis…. itu memang bukan barang baru kok. Dulu saya di OEolo, di hutan sana, kalau sekiranya pemerintah, atau DPR (D) janji datang mau kunjungi satu kampung, masyarakat siap diri, tumbuk padi, ikat sapi. Tunggu-tunggu tidak datang. Pemerintah robah jadwal turut suka saja. Saya kalau sudah lihat begitu, saya pergi ke masyarakat. Kepada mereka saya bilang, kamu pulang, kalau mereka datang saya yang bertanggung jawab. Itu karena saya kasihan warga itu, mereka tinggalkan pekerjaan, datang tunggu bodoh-bodoh di situ. Saya bilang, jangan pusing dengan mereka itu. Nanti saya yang tanggung jawab. Suatu kali saya di OEolo, seorang camat di Eban siksa orang-orang lari jongkok, lari katak. Saya tanya, kenapa? Mereka bilang, karena mereka lapor dia (camat) ke saya, sehingga dia siksa mereka. Ah, memang dia buat sembarang, buat salah, tebang hutan di sana kok. Tebang hutan, ya saya tidak setuju dong. Saya tanya camat itu, kenapa kamu siksa mereka? Kamu tebang hutan, jelas mereka tidak setuju. Saya minta mereka bubar. Dia bilang, kalau pastor bilang bubar, ya kami bubar.
Jadi bukan hal baru bersuara membela kepentingan orang banyak…?
Ya, bukan hal baru buat saya. Dari dulu saya sudah seperti itu. Saya juga bukan pastor yang hanya urus sakramen saja. Saya juga kerja kebun, membentuk oganisasi Santa Maria untuk ibu-ibu, Santo Yosep untuk bapak-bapak, Santo Aloysius untuk pemuda-pemuda, Santa Agnes untuk pemudi-pemudi. Saya tidak hanya urus yang rohani, kebun juga saya urus. Tuhan Yesus datang itu bukan menyelamatkan jiwa, tetapi menyelamatkan manusia. Orang sakit disembuhkan, orang lapar diberi makan.
Realitas sosial kemasyarakatan di daerah ini penuh dengan ketimpangan. Salah satu yang sangat fenomenal adalah korupsi. Sebetulnya peran pemimpin sangat penting. Bagaimana Bapak Uskup melihat figur pemimpin di daerah ini sekarang ini?
Sekarang saya masih mencari Yohanes Pemandi baru, atau Albertus Sugiyopranoto (uskup pertama orang Indonesia, Red). Jadi, kita cari satu figur yang berwibawa, yang bisa dipercayai. Saya tidak tahu figur-figur sekarang ini. Apakah ada yang dapat dipercaya atau tidak.
Bapak uskup pernah menjadi anggota Dewan di TTU, mengikuti semua pemilu di Indonesia. Bagaimana peluang pemilu kali ini, apakah bisa melahirkan pemimpin yang baik?
Ya, ada yang tanya seperti itu. Menurut saya, pemilu sekarang ini hasilnya tidak berbeda dari yang dulu-dulu. Caranya berbeda, tapi isinya sama. Pemain politiknya itu banyak dari stok lama. Baik kalau mereka itu cepat sadar diri bahwa mereka stok lama. Kalau tidak, mau langkah maju bagaimana? Atau, macam saya keberatan dengan Yonif 744 yang datang ke sini atau ke Kefa dulu ketika pengungsi Timtim masuk ke NTT. Datang panglima dari Denpasar, coba yakinkan saya. Dia bilang, kulitnya memang 744, tapi isinya sudah baru. Saya bilang, ya, kalau manusia itu isinya robah bukan sekaligus, tetapi pelan-pelan, butuh waktu lama. Saya tidak setuju, karena yonif itu ‘kesohor’ sekali di Timor Timur. Kita juga ikuti perkembangan mereka di sana.
Saat ini salah satu komponen masyarakat yang cukup kritis dan dapat diandalkan adalah kaum rohaniwan. Bagaimana pendapat Bapak Uskup mengenai tampilnya rohaniwan di panggung luar biara?
Di mana-mana, entah di dalam forum resmi atau di luar forum resmi, ada keadilan dan ketidakadilan. Jika kita menemukan ada ketidakadilan, maka kita harus bersuara. Dan itu bukan hanya tugas rohaniwan. Itu tugas semua kita. Orang tanya saya tentang dua caleg rohaniwan di Kefa (Catatan: Romo Amandus Nahak Pr dan Makarius Molo, Pr mendafarkan diri sebagai caleg di TTU). Saya bilang, lalu kamu (kaum awam) buat apa? Kamu juga orang Katolik, jadi tugas kita semua untuk bersuara menentang ketidakadilan.
Tetapi, kelihatan sekali bahwa tampilnya kaum rohaniwan melahirkan kontroversi di masyarakat. Menurut Bapak Uskup, apakah sekarang ini rohaniwan itu perlu tampil, harus tampil atau tidak perlu tampil?
Tentang kasus caleg di Kefa itu saya sudah keluarkan surat resmi dan semua sudah jelas. Jadi, begini. Bahwa dulu pernah ada klerus (rohaniwan) di lembaga legislatif, itu karena situasi waktu itu perlu. Tetapi sekarang, situasinya sudah berubah. Dan, menurut Konsili Vatikan II, tata dunia ini adalah tugasnya kaum awam. Dulu situasinya memungkinkan, dan uskup memberi izin. Juga sistem politiknya berbeda dulu dengan sekarang. Sekarang sistem politiknya sudah lain. Sekarang awam sudah banyak yang berpolitik. Jadi, kita (kaum rohaniwan) back to basic, urus bagian kita. Orang tidak mengerti bahwa waktu itu, tahun 1960-an, situasinya lain. Saya juga menjadi anggota DPRD yang namanya DPRD Gotong Royong. Ada alim ulama Katolik, alim ulama Protestan, ada alim ulama Islam, yang mewakili umat seluruhnya. Saya menjadi anggota DPRD tahun 1962 sampai tahun 1966. Dan situasi waktu itu lain sekali. Waktu itu situasinya nasakom. DPR(D) harus terdiri dari utusan nasionalis, agama, sosialis dan komunis. Saya waktu itu didesak oleh Deken di Kefamenanu untuk masuk, supaya ‘kom’ (komunisme) itu jangan masuk di TTU. Mungkin TTU merupakan satu-satunya daerah di Indonesia atau NTT yang unsur ‘kom’-nya tidak masuk, padahal DPR waktu itu adalah DPR liberal. Kami beberapa orang cukup vokal menentang unsur ‘kom’ masuk TTU. Sekarang situasinya sudah berubah. Dan, menurut hukum kanon, harus ada izin dari uskup. Pertimbangan itu dari uskup, bukan dari Dewan atau dari manusia lain di luar itu. Jangan baca hukum kanon (hukum gereja, Red) itu sepotong-sepotong, terlepas-lepas. Karena konsekuensinya banyak sekali.
Aturannya memang begitu, tetapi coba kita bicara post factum. Pasti bahwa kedua rohaniwan di Kefa itu sadar bahwa langkah mereka bertentangan dengan aturan….
Bukan sadar, tapi kelihatan bahwa mereka itu tahu bahwa ada aturannya. Tetapi mereka buat (mendaftarkan diri menjadi caleg), dan tidak memberitahu sama sekali. Saya sama sekali tidak tahu. Saya hanya tahu tanggal 28 Januari, sesudah ada pengumuman tentang daftar caleg.
Lalu, apakah kedua romo itu tahu dan mau maju karena ada hasrat mau membela kepentingan masyarakat ketika orang awam tidak bisa diandalkan? Atau Bapak Uskup melihat motivasi lain?
Ya, itu juga menjadi pertanyaan bagi saya sebenarnya. Ada apa di balik itu? Karena saya sangka mereka tahu bahwa sistem parlemen sekarang itu lain sekali. Suara itu disalurkan melalui fraksi. Apa artinya satu suara atau dua suara kalau sekiranya aspirasi yang kita bawa itu harus melalui fraksi? Jadi, bukan argumentasi kebenaran yang akan diperlihatkan (di Dewan). Kalau argumentasi kebenaran yang diperlihatkan, mungkin masih bisa dibenarkan. Karena butuh orang kuat, orang vokal yang berwibawa. Kalau seperti itu barangkali masih bisa. Tetapi sistem sekarang tidak bisa lagi, karena sistem fraksi.
Berarti sikap resmi gereja sudah jelas…..
Ya, sudah jelas seperti yang ditulis hukum kanon itu. Karena setiap lembaga mempunyai aturan masing-masing yang jelas mengatur. Contohnya seperti orang Katolik yang mau nikah. Menurut aturan, dia hanya memiliki satu istri, tidak boleh dua. Aturannya memang begitu. Kalau tidak mau ikut aturan itu, ya keluar saja.
Bapak uskup juga sering didekati tokoh-tokoh politik, apalagi menjelang suksesi dan pemilu sekarang ini. Apa gerangan yang mereka harapkan?
Haa…haaa… haaa. Saya tidak mau lagi. Saya sudah umumkan bahwa sekarang partai politik terlalu banyak, sehingga saya tidak mau terima lagi. Kamu kira mereka itu datang mau apa? Mereka datang, setelah itu keluar bilang, Bapak Uskup sudah restu saya, sudah setuju saya. Ha…haaaa… Mereka omong kosong itu. Seperti waktu suksesi Belu. Saya larang semua calon datang ke saya. Sebab kalau semua datang ke saya, dia keluar bilang uskup dukung dia.
Apa pengalaman menarik ketika menjadi anggota Dewan di TTU dulu?
Waktu itu, saya berjuang keras untuk rakyat. Ketika itu pemerintah mau jual rakyat ke Tim Liko. Tanah yang luas mulai dari Nurobo sampai pantai utara, seluas tiga ratus ribu hektar itu mereka mau jual tanpa tanya DPR (D). Pemerintah (TTU) dengan pemerintah (Australia) sudah jual beli tanah itu. Saya marah waktu itu dan lempar map. Saya bilang, saya tidak perlu ini map. Waktu itu dalam sidang.
Cukup vokal ya?
Ya, kita berjuang untuk kepentingan rakyat. Bayangkan, tanah yang begitu luas itu mereka pagar dengan kawat, dan rakyat tidak bisa kerja sawah lagi. Kita berkelahi, berkelahi, sehingga dataran sawah dikeluarkan. Lainnya tidak. Kita membela rakyat, karena dalam pagar itu rakyat punya kemiri, asam, tanaman ada di dalam. Mereka tidak bisa masuk lagi. Tetapi tidak berhasil, sehingga kami turun kampanye potong kawat. Kita lawan betul. Katanya mau bangun pabrik kaleng daging sapi untuk Australia. Orang kita sendiri tidak bisa beli daging. Makan ubi kayu saja hampir tidak bisa, mau beli daging sapi…. Atau ketika ada rencana bupati bangun lapangan terbang di Kefa. Di Dewan semua setuju, hanya saya sendiri tidak setuju. Saya mewakili umat TTU, sehingga punya pengaruh besar. Bangun lapangan terbang di Kefa? Jarak dari Kupang ke Kefa berapa kilo? Dari sisi komersial tidak ada untung apa-apa. Bupati bukan urus rakyat bisa kerja kebun, tapi urus bangun lapangan terbang. Yang naik pesawat paling-paling hanya bupati satu kali, tentara satu kali. Saya tidak setuju. Saya kemudian angkat mobil dan tinggalkan Dewan. Setelah itu saya ke luar negeri. Pulang dari luar negeri, saya masuk lagi, karena katanya masa jabatan belum selesai. Haa…haaa…haaa.
Apakah Bapak Uskup merasakan ada sesuatu yang hilang sekarang ketika kaum rohaniwan tidak lagi terlibat dalam politik praktis?
Menurut saya, kalau sekarang kita (rohaniwan) masuk, kita makin dibungkam. Karena sekarang di dalam (Dewan) itu kualinya masih kotor, sehingga kalau kita masuk, kita kena kotor juga. Lebih baik kita tinggal bersih dan berdiri di luar baru omong daripada masuk di dalam kuali yang kotor. Lebih baik kita omong dari luar, karena lebih didengar daripada masuk di dalam. Kecuali kalau kualinya sudah bersih.
Lalu, bagaimana pandangan Bapak Uskup tentang politik?
Baik, politik itu baik. Saya selalu beri ceramah bahwa politik itu kudus, karena selalu bergantung pada dasar, tujuan dan visinya memperjuangkan kepentingan rakyat. Hanya pelakunya sehari-hari yang tidak baik. Maka saya selalu bilang, kalau hari-hari kita bergaul dengan pencuri, lama-lama kita juga jadi pencuri. Andaikata negara ini dapat satu orang yang tangannya bersih, jujur, integrated…. Saya tidak tahu, entah peluang dapatkan orang seperti itu ada atau tidak. Tetapi andaikata ada orang seperti itu, tentu ia akan dapat banyak angin sakal.
Sistem politik sekarang dan aturan gereja tidak memungkinkan rohaniwan masuk dan terjun langsung dalam politik. Lantas, manakah saluran yang paling pas buat rohaniwan itu mengekspresikan perjuangan mereka?
Banyak sekali saluran. Banyak sekali. Tinggal pilih dan pakai saja. Dan, yang paling penting manusia itu sendiri mesti berwibawa, sehingga ketika dia omong, orang lain dapat mendengar. Integritas moral itu sangat penting. Juga dia jangan punya kepentingan lain, selain coba membela kebenaran. Kalau dia sudah punya kepentingan, maka dia akan miring sana, miring sini.
Daerah ini mayoritas kristen. Sejauh mana Bapak Uskup melihat nilai-nilai kristen mempengaruhi para pejabat di daerah ini yang nota bene kebanyakan kristen itu?
Dalam banyak kesempatan, saya selalu bilang tiap orang kristen itu mesti memegang prinsip kristen, prinsip Katolik. Saya bukan baru omong sekarang. Sejak Herman Musakabe (ketika menjadi gubernur), kami para tokoh agama berkumpul di Kupang. Kita uskup sudah tua-tua ini disuruh kumpul di Kupang. Waktu itu, saya diminta (alm) Uskup Monteiro, SVD (Uskup Agung Kupang, Red) jadi moderator. Kita diminta mesti pegang prinsip, pegang prinsip. Saya moderator. Saya sudah marah dan saya bilang, sekarang saya tidak mau jadi moderator lagi. Sekarang saya mau omong sebagai peserta. Saya bilang, pegang prinsip, prinsip apa? Hanya omong saja. Dalam kenyataan, setiap kali pemilu, prinsip kristen, prinsip Katolik diinjak-injak, sehingga sebagai uskup, saya paling kecewa setiap kali pemilu. Saya rasa macam tukang kebun yang selalu tidak berhasil. (*)
Topinya itu…..
JALANNYA sudah agak membungkuk. Garis-garis ketuaan telah menghiasi wajahnya. Tanda bahwa fisik telah kalah dari umur. Tetapi suara baritonnya yang tegas dan ‘mengelegar’ menyebabkan semangat Uskup Anton, tak lekang oleh usia. Kesan formal dan resmi jauh dari penampilannya.
Tahun ini, tepatnya 2 Januari lalu, Uskup Anton genap 75 tahun. Dan, sesuai dengan aturan gereja, Uskup Anton mesti mengundurkan diri. Beliau bahkan telah mengundurkan diri sejak 22 April tahun lalu. “Saya sudah minta mundur. Saya sudah tulis surat mengundurkan diri tahun lalu. Hanya orang yang mau ganti saya itu yang belum siap,” katanya sekenanya. Sudah ada nama yang siap menggantikan? “Itu rahasia,” ujarnya.
Beliau menuturkan, beberapa waktu lalu, ketika bertemu dengan kardinal di Vatikan yang mengurus pergantian para uskup itu, beliau meminta agar proses pergantian itu jangan terlalu lama. Tetapi apa jawaban kardinal itu? “Dia bilang, depend on the God will. Bersama beberapa uskup lain, kami jawab, No… no… depend on you,” kata Uskup Anton sambil tertawa lepas.
Ada satu hal yang paling kentara mencirikan Uskup Anton Pain Ratu, SVD, yaitu topi uskupnya yang mengambil bentuk peci. Beda dengan topi uskup lain yang berbentuk setengah bulat. “Waktu saya ketemu paus, dia bilang, ah bagus itu topimu. Dan, saya memang senang pakai itu. Karena ini model kita di sini, yang bulat itu kan model dari luar,” jelas Uskup Anton.
Sulung dari tujuh bersaudara, buah hati pasangan Kosmas Kopong Liat dan Maria Boli Beraya ini lahir di Lamawolo, sebuah desa di kaki Gunung Boleng Adonara, Flores Timur, 2 Januari 1929. Ayahnya seorang pemuka masyarakat di desa, dan kemudian menjadi kepala desa. Sejak kecil, solidaritas dengan orang kecil telah ditunjukkan kedua orangtuanya. Nilai-nilai Katolik tidak hanya diajarkan, tetapi ditunjukkan dalam hidup saban hari. “Orangtua saya memang buta huruf, tetapi mereka tidak buta iman,” kata Uskup Anton. (len)
Catatan penulis : Hasil wawancara ini sudah diterbitkan di rubrik ‘Tamu Kita’ Harian Pos Kupang tahun 2004. Maaf saya lupa tanggal terbitnya. Dengan seizin Pemred Pos Kupang, Dion DB Putra, saya tayang lagi naskah ini untuk mengenang (Alm) Mgr. Anton Pain Ratu, SVD