Oleh Tony Kleden
Saya menulis kisah kenangan ini dengan perasaan mengharubiru. Perasaan itu muncul terutama karena sudah hampir tiga bulan saya lebih banyak berada di Waibalun, Flores Timur.
Bagi saya, dan hampir pasti bagi semua orang dari desa mana pun, desa/kelurahan tempat lahir itu seperti punya ‘kekuatan supranatural’ yang selalu menyertai di setiap jejak langkah.
Kekuatan itulah yang memompa spirit, menghembuskan ausdauer dan lalu membangkitkan ‘ike kewaat’ (semacam ‘korsa’) hingga menjadi ‘atadiken’ (orang dengan kekuatan) di mana pun berada.
Meski dirundung duka dan diselimuti rasa kehilangan, saya dengan bangga menulis kisah kenangan serba ringkas ini. Bangga sebagai orang (ata) Waibalun. Kebanggaan itu terutama juga karena nama abangku, Dr. Ignas Kleden, lahir, hidup dan berkarya menerabas batas Waibalun, menembus sekat suku, melampaui ike kewaat ata Waibalun.
Maka tulisan ini ini menjadi ungkapan kebanggaan, kekaguman dan apresiasi terhadap Ignas, yang sudah menutup mata untuk selamanya, kembali ke Tuhannya yang tidak saja disembahnya, tetapi juga Tuhan yang diimani menurut akal sehatnya.
Terus terang, secara personal saya tidak terlalu dekat dengan Ignas. Selain karena terpaut usia yang jauh sekitar 19 tahun, juga karena kami sangat jarang bertemu.
Di rumah dan di kalangan keluarga dekat, Ignas dipanggil dengan nama Ite, sapaan halus dari Piter. Nama baptisnya Ignatius Nasu Kleden. Nama Piter diambil dari nama kakeknya (dari garis keturunan mama), Petrus Gege Hadjon.
Seringat saya, pertama kali menemukan nama Ignas saat saya masih anak ingusan di kampung. Masih duduk di bangku sekolah dasar. Nama Ignas muncul sebagai penulis esai di Majalah Tempo. Saya tidak mengerti mengapa majalah terbitan Jakarta itu bisa muncul di Waibalun pada masa sekitar tahun 1976.
Sebagaimana biasa, foto penulis opini di Tempo selalu disertakan di halaman opini. Dan, foto Ignas yang kala itu belum berusia 30 tahun tampil dengan gaya pada zamannya. Difoto dengan wajah menyamping, rambut agak panjang terurai dengan rokok yang mengepul dari bibirnya. Matanya bulat terang agak melotot. Konon, itu mata orang-orang pintar.
Sungguh mati, saya sangat penasaran mengapa Ignas bisa muncul dan menulis di majalah itu?
Belakangan, saat menempuh pendidikan di Seminari San Dominggo Hokeng (1983-1987), saya jadi tahu seperti apa sosoknya, seberapa hebatnya nama Ignas. Tulisannya sangat sering muncul di Harian Kompas, majalah Tempo, juga di majalah kebudayaan Basis. Saya juga membaca dan mengikuti polemik kebudayaan yang menghiasi halaman harian Kompas yang juga sering menampilkan tulisan Ignas.Tulisannya selalu jadi buruan utama.
Sebagai sastrawan, sosiolog, cendekiawan, dan kritikus sastra hebat, tulisan-tulisan Ignas menyebar di beragam media cetak. Beragam tulisannya itu, harus diakui, menjadikan Ignas salah satu sosiolog terkemuka Indonesia saat ini, kritikus sastra paling tajam dan telanjang membedah karya sastra berbagai penulis.
Dari beragam tulisannya itu kuat tertangkap kalau Ignas menempatkan diri sebagai satu dari segelintir intelektual Tanah Air yang total berbakti pada ilmu. Totalitas baktinya pada ilmu itu bisa dilihat dari gaya dan pola hidupnya yang sederhana dan apa adanya. Tidak punya rumah mewah, tidak punya mobil mahal, tidak pernah menjadi konsultan politik partai, tidak menerima jabatan seperti dirjen, wakil menteri, komisaris perusahaan ini dan itu.
Konon saat Soeharto berkuasa, Ignas beberapa kali mendapat undangan kehormatan untuk hadir pada upacara-upacara kenegaraan. Undangan itu ditolaknya dengan halus. Dia ingin berdiri di sudut netral dan kemudian mengemukakan pikirannya.
Pikirannya yang jernih tertuang dalam teks-teks berupa esai, kolom, makalah dan juga buku-buku. Namanya jadi populer bukan karena tampangnya yang sering terlihat di berbagai acara talk show di televisi. Juga bukan karena sering muncul di media sosial karena komentar nyinyir tentang suatu fenomena di republik ini.
Secara intelektual, Ignas memang cerdas. Pria yang lahir 19 Mei 1948 ini bintang kelas sejak sekolah dasar. Saat ayahnya, Yohanes Djuan Kleden, seorang guru sekolah rakyat (SR/SD) pindah tugas dari Pamakayo, Solor ke Lewotala (di Kecamatan Lewolema sekarang), Ignas loncat kelas. Ketika keluarga guru ini pindah ke Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Ignas masuk Seminari San Dominggo Hokeng.
Guru Djuan dan istri, Katharina Sabu Hadjon, dianugerahi sepuluh orang anak. Enam laki-laki dan empat perempuan. Ignas anak laki-laki besar. Didikan dan tempaan guru Djuan dan Mama Katharina menjadikan sepuluh anaknya benar-benar jadi manusia, jadi atadiken.
Beberapa nama keluarga ini patut disebut. Suster Stephania Kleden CIJ (alm), Pater Dr. Leo Kleden, SVD (dosen IFTK Ledalero), Stephie Kleden Beetz (alm, penulis, penerjemah), Ansis Kleden (penulis, editor dan penerjemah di Jakarta), Kons Kleden (alm, wartawan dan penulis), Drs. Marianus Kleden, M.Si (dosen Unwira Kupang), Hermien Y Kleden (mantan wartawan Tempo) dan Emil Kleden (aktivis LSM di Jakarta).
Saya melihat didikan keras penuh disiplin sang ayah dan sentuhan lembut sang mama, menjadikan semua anggota keluarga ini bisa mengenyam pendidikan tinggi. Mereka bisa menikmati pendidikan tinggi juga karena kecemerlangan otak. Semua mereka selalu jadi bintang di sekolah. Semua mereka sukses merenda hidup di berbagai medan bakti.
Saya ingat, ketika masih di bangku SD saya sering tidur malam dengan si bungsu Emil Kleden, ketika keluarga ini kembali ke Waibalun saat sang ayah memasuki masa purnabakti. Di rumah hanya tertinggal Emil. Semua kakaknya menyebar di mana-mana, untuk sekolah dan juga untuk kerja.
Keteraturan hidup keluarga sangat terasa di rumah. Makan mesti bareng di meja makan. Doa makan wajib hukumnya. Setelah makan Guru Djuan membagi kisah. Macam-macam kisah. Dari tugas sebagai guru di begitu banyak tempat sampai pengalaman-pengalaman unik dan heroik ketika mengejar anak-anak kampung yang lari ke hutan dan dan kebun untuk dibawa ke sekolah.
Cerita paling seru dan paling suka saya dengar adalah kisah sekolah anak-anaknya. Guru Djuan bangga mengisahkan prestasi anak-anaknya di sekolah.
Ignas, menurut Guru Djuan, memiliki kemampuan bahasa yang baik sekali. Tak heran, saat masih di bangku SMA Seminari San Dominggo Hokeng, Ignas sudah lancar berpidato dalam bahasa Jerman. Bahasa Inggris, tentu saja, juga dikuasainya sejak masa itu. Dari tulisan-tulisannya, buku-buku yang jadi referensinya kebanyakan dalam bahasa Inggris dan Jerman.
Ada cerita menarik. Usai berhenti dari Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, tahun 1973, Ignas mengadu nasib di Jakarta. Ketika meletus peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, Ignas yang baru beberapa bulan di Jakarta tampil dan menyita perhatian luas. Sejumlah wartawan luar negeri ingin mewawancarai para mahasiswa yang tumpah berdemo di jalan.
Tidak banyak mahasiswa yang bisa berbahasa Inggris, apalagi Jerman. Maka Ignas yang diwawancarai. Dia bicara bahasa Inggris dan Jerman meladeni para wartawan luar negeri.
Konon, sejak itulah nama Ignas jadi sangat terkenal di kalangan para aktivis mahasiswa Indonesia. Apalagi sejak itu Ignas mulai menulis di majalah dan koran-koran Jakarta. Namanya kian kesohor.
Ada cerita lain lagi. Ketika hendak melanjutkan pendidikan S2 di Jerman, Ignas tidak punya ijazah S1. Universitas Munchen Jerman, tempatnya melamar, bingung. Pengelola universitas mencari tahu sosok yang melamar S2 tanpa ijazah S1 ini. Mereka bingung karena Ignas menulis lamaran S2 dalam bahasa Jerman yang sempurna.
Seorang pastor SVD dari Polandia dikontak Kedubes Jerman di Jakarta. Pastor yang profesor itu meyakini mahasiswa itu tak lain Ignas. “Terima saja orang itu. Dia cerdas dan tidak perlu diragukan,” kata Pastor itu meyakini. Dan terjadilah, Ignas melanjutkan pendidikan S2 tanpa ijazah S1.
Dia meraih gelar M.A dengan predikat summa cum laude (dengan pujian setinggi-tingginya). Tesis S2 tentang filsuf ilmu pengetahuan Karl R Popper ditulisnya dalam bahasa Jerman.
Sedangkan untuk disertasi S3 di Univesitas Bielefeld, Jerman, Ignas menggugat studi Clifford Geertz tentang Indonesia secara keseluruhan. Disertasi ini ditulisnya dalam bahasa Inggris.
Cendekiwan Indonesia itu sudah kembali ke Sang Pengasal, Senin (22/1/2024) pagi. Orang, atadiken Lamaholot itu sudah tutup mata. Tetapi Ignas pergi meninggalkan nama besarnya. Ignas mewarisi pikiran-pikiran bernasnya untuk bangsa ini. Ignas sudah mengharumkan nama suku, nama Waibalun, nama Flores Timur, NTT dan bahkan Indonesia.
Kepergiannya tentu saja meninggalkan duka lara bagi keluarga. Tetapi keharuman nama dan buah pikirannya yang bernas dan berguna bagi banyak orang menjadi alasan bagi keluarga untuk menyatakan terima kasih kepada Dia yang memberi hidup. Memberi seorang anak suku bernama Ignatius Nasu Kleden.
Untuk menghormatinya sebagai seorang kritikus sastra, saya mengutip sajak karya Sapardi Djoko Damono berjudul ‘Pada Suatu Hari Nanti’ berikut ini:
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
Selamat jalan kakak, saudara kami Ignatius Nasu Kleden. Requiem aeternam, dona ei, Domine!*