Ketika Pesta Demokrasi Itu Semakin Mendekat

IMG 20240929 064518

Oleh Pater Kons Beo, SVD

“Pemimpin tidak lahir dari gelar atau jabatan, namun dari tindakan dan pengorbanan….” (Abraham Lincoln – Presiden AS ke 16, 1809 – 1865)

Bacaan Lainnya

Tak usahlah melabelkan semuanya sebagai ‘karma politik.’ Sebut saja itu sebagai ‘risiko politik.’ Tepatnya sebagai imbas tak terhindarkan dari pilihan politik. Hari-hari gelar Pilkada, Pilwakot dan Pilgub semakin mendekat. Benarlah, animasi publik mesti tersuarakan. Maksudnya jelas. Agar massa tak asal pilih begitu saja paslon yang didaulat sebagai pemimpin wilayah. Bagaimana pun semuanya berimbas pada muara risikonya.

Katanya, ‘salah-salah pilih, daerah kita bakal nyonyor dalam derap langkah pembangunan.’ Tetapi apakah semua yang punya hak memilih itu sudah pada cerdas dan bijak untuk jatuhkan pilihan? Bahwa sebagian besar telah tergolong sebagai pemilih rasional serentak realistis demi kepentingan umum? Justru itulah soal yang tak mudah.

Katanya pula, kita masih diasapi oleh gaung citra psikologis dalam memilih. Dan di situlah warna primordialistik tak bisa disembunyikan sedikitpun. Pesta demokrasi seputar Pilkada, Pilwakot atau Pilgub itu punya narasi klasik atau mungkin juga arkais seputar ‘orang kita, keluarga atau darah kita, punya hubungan ini dan itu dengan kita.’

Atau sudah terlalu amat kentara bahwa di balik Paslon tertentu itu ‘terdapat kepentingan yang berpautan dengan ‘social sensus religiosus,’ Iya, katakan begitu. Mungkin kah kita bebas murni dari apa yang disebut ‘politik identitas?’ Yang B sa, Bro…!

Publik pemilih disadarkan akan adanya ‘efek keagamaan’ (bukan iman!) yang menguntungkan sekiranya ‘sama-sama dari yang kita punya.’ Atau sebaliknya bahwa ada alarm risiko sekiranya nanti yang memimpin datang dari ‘mereka punya.’

Maka di hari-hari ini, bisa terjadi dan itu sangat mungkin bahwa kiat silahturami dengan para ulama digencarkan. Kediaman Bapa Uskup disambangi. Dan para pastor dan pendeta pun diusahakan agar dapat ‘dijaring’ sebisanya. Sebab di situ mesti tercipta kesan penuh daya pikat dalam adonan cita rasa keagamaan itu.

Kita pasti tak bicara soal salah atau benarnya segala arus dan isi dinamika ini. Toh, para tokoh agama pun adalah zoon politicon yang tak boleh bloon politik. Yang tidak boleh bermata juling apalagi buta akan visi – misi dan komitmen hidup bersama yang mesti diperjuangkan. Memiliki visi hidup berpolitik bagi para ulama atau pun kaum berjubah itu bukanlah satu skandal yang dinilai najis dan tercela. Ini pesta demokrasi kita bersama. Tak terkecualikan untuk golongan tertentu.

Akan tetapi…

Marilah sekiranya kita berselancar pada papan tim sukses. Tim Sukses adalah pasukan garis depan. Bermodal kiblat ‘sepenuh hati’ pada Paslon idaman, kelompok ini punya nyali dalam segalanya demi kesuksesan pertarungan. Paslon usungan adalah cahaya penuh harapan. Tentu, glorifikasi Paslon usungan mesti digencarkan. Dan di sisi lain?

Tak ditampik kenyataan bahwa bagi Tim Sukses, Paslon kompetitor mesti dilumpuhkan dalam ekspansinya demi mendulang suara. Kantong-kantong suara kompetitor mesti diacak-acak sebisanya. Dan pada saat yang sama, lumbung-lumbung suara Paslon usungan mesti dirawat sejadinya. Maka di sinilah manuver Tim Sukses untuk ‘tulus seperti merpati, namun licik seperti ular’ bisa dimengerti. Sebab pertarungan dalam persaingan segala lini jadi tak terhindarkan.

Apa yang disebut manikeisme politik pun sudah sekian transparan. Demi simpati publik, tarung sengit antara ‘kerajaan terang’ versus ‘kerajaan gelap’ digaungkan! Tentu dengan catatan tebal penuh perhitungan cermat. Bahwa Paslon usungan, oleh Tim Suksesnya, adalah bakal ‘Raja dan Perdana Menteri’ penuh harapan, bijak serta tegas yang membabat segala kemaksiatan. Sumber segala suasana dan keadaan mencekam, penuh getir dan tak maju-maju.

Dan dalam pada itu, Paslon saingan, bakal ‘dibuntuti, diamat-amati dan digali-gali (lagi)’ segala cemar dan amburadul kehidupannya di segala lini. Katanya, itu hal yang biasa. Di jelang dan seputar saat-saat pilih pemimpin, tidak kah ‘yang bukan usungan kita biasanya dikuliti abis-abisan segala kekurangan, kelemahan dan ketidakhebatannya?’ Dan itu mesti dipompa dalam percakapan-percakapan liar atau pun terbatas; yang mesti digencarkan dan disebarkan pula lewat media komunikasi?

Namun ada hal lain pula…

Bagaimana pun, Centrum Pemenangan Paslon tentu punya ‘mata terang politik’ yang qualified. Bukan tak mungkin bahwa Tim Sukses pun mesti diendus segala pergerakannya. Anggota Timses beraura ‘bintang gemini’ berwajah kembar bermuka dua. ‘Muka depan plus muka belakang’ bukanlah sesuatu yang mustahil. “Main di dua kaki” bukanlah narasi kemarin sore. Ini adalah satu kelumrahan.

Toh Pesta Demokrasi bisa juga menjadi kesempatan di mana Politik segera jadi ‘ladang bisnis’ mengais rejeki. Orang (anggota tertentu dari Timses) bisa bersinar mentari di siang hari di Paslon tertentu. Namun segera menjadi cahaya rembulan di malam hari bagi Paslon lainnya. Konvoi sepeda motor bisa ramaikan jalanan di hari ini demi Paslon tertentu, namun di hari-hari berikutnya sepeda motor dan pengendara yang sama tanpa beban ramaikan pawai Paslon-Paslon lainnya. Namanya, dukungan dari gelanggang ke gelanggang. Ramai, bukan?

Namun, mari tengok di akar rumput. Jelas, Pesta Demokrasi adalah perhelatan politik massa. Warga negara seturut hak politiknya dipanggil untuk menentukan nasibnya melalui Paslon Leadership untuk ‘melayani res publik, hal-hal yang bersifat umum.’ Bagaimana pun, banyak Paslon dengan variasi background sepertinya berpengaruh ketat pada konstituen (pemilih).

Beda Paslon dan beda konstituen pemilih bukanlah hal yang haram. Inilah alam dan kisah politik yang lumrah. Setiap lima tahunan, massa setidaknya telah ‘belajar dan rasa terbiasa’ dalam alam beda pilihan itu. Di waktu-waktu silam, saat awal Pilkada, Pilwalkot dan Pilgub libatkan massa secara langsung, suasana tegang antar pendukung Paslon nyata tak terelakan. Sengit memang di kisah-kisah penuh ketegangan.

Ketegangan relasi antar tetangga, antra kelompok, dan bahkan di dalam keluarga (besar) sendiri terasa genting. ‘Saling sindir baku ambil kata’ lumrah terjadi. Yang tak sejiwa dalam pilihan harus alami varian tekanan dan disudutkan. ‘Yang dulu-dulunya akrab urat cocok, sayangnya gara-gara beda pilihan, terpaksa saling menjauh bahkan bermusuhan.’

Namun kini…

Atmosfer jelang Pesta Demokrasi, bisa jadi tak segarang yang kemarin-kemarin itu. Ini bukan hanya karena massa sudah pada cerdas politik. Tapi juga bahwa publik tak mau tercecer dalam relasi yang retak hingga bisa-bisa berantakan.

Dalam tangkapan seadanya, terekam suara-suara ‘bijak yang lucu plus kocak juga.’ Kira-kira isi kasarnya begini, “Kita ini tegang penuh serius. Semakin kurang bertegur sapa. Tak lagi umbar senyum lebar saat bersua muka. Kita sudah makin jarang bahkan tidak lagi baku pigi datang. Pesta rakyat ini benar-benar menjarakkan kita. Semuanya jadi begini hanya karena kita terlalu fanatik pada satu pasangan punya kita masing-masing. Jika sekiranya pasangan pilihanku, junjungan kita terpilih, syukurlah kalau setelah duduk di kursi dan berhadapan dengan meja jabatan, berdua itu masih ingat-ingat dan mau lihat (nasib) kita, pendukungnya ini.”

Ternyata …..

Harga sebuah perhelatan – Pesta Demokrasi amatlah variatif juga. Katakan begini, “Ada rasa bangga penuh sorak. Paslon kita menang. Sebaliknya ada rasa kecewa dan down bagi yang kalah. Dan harus bersiap hati untuk ’jauh atau dijauhkan’ dari lingkaran kekuasaan. Selanjutnya, bagi yang rasa diri menang, ada rasa puas sekiranya ada keuntungan yang didapat dari kemenangan itu. Namun, tak dapat ditampik adanya nada-nada kecewa plus ‘makan hati,’ sekiranya tak dilirik lagi dan sepertinya dilupakan begitu saja oleh sang pemenang.”

Bagaimana pun itulah alam teduh serta risiko riak-riak Pesta Demokrasi yang harus diselenggarakan demi jawabi amanat dan panggilan Negeri. Yang dirindukan adalah bahwa semua anak daerah – putra/putriwilayah semakin dewasa dan teruji dalam sikap Politiknya demi sumbangsihnya membangun Negeri dan memajukan Daerah serta saling melayani dan berbakti….

Bukan kah demikian?

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma

Pos terkait