Oleh Fabianus Boli Uran
Menyongsong pilkada serentak 27 November 2024, pertarungan gagasan, penyebaran informasi dan upaya saling membantah dan menyerang antartim paslon mewarnai laman media sosial. Visi Misi calon pemimpin ditawarkan ke ruang publik sembari pewartaan tentang indentitas calon pemimpin.
Para pemimpin yang akan dipilih dalam terminologi Lamaholot (baca Kabupaten Flores Timur) adalah para pengemban koda. Koda berarti kata, sabda. Koda adalah suci, kudus. Aspirasi masyarakat adalah kemurnian doa dalam kesunyian harapan. Berharap Koda yang suci kudus tidak digadaikan dengan atau direndahkan dengan gaya karitatif membagi- bagi uang alias politik uang apalagi mempolitisasi bantuan bantuan. Mengharapkan pendidikan politik yang mencerdaskan adalah sesuatu yang sangat ideal untuk diperjuangkan bersama sama meski masih ada upaya (bisa jadi lebih massif) untuk saling mendegradasi, menyebarkan isu- isu murahan.
Rendahnya literasi demokrasi, kebiasaan tidak membaca berita atau mendengarkan berita secara utuh serentak mencari tahu kebenaran sebuah berita menjadi pintu masuk bagi sebuah penyimpangan atau pemotongan pesan, gagasan , koda dari calon pemimpin. Dalam Ilmu komunikasi politik dikenal sebuah istilah sound bite yakni suatu garis kalimat yang diambil dari pidato atau pernyataan yang panjang atau dari seperangkat teks yang dapat digunakan sebagai indikasi dari pesan yang lebih besar.
Menurut Kaid dan Haltz-Back, sound bite adalah terminologi yang menerangkan tentang pemenggalan potongan pernyataan yang penting sebagai klip yang biasa dilakukan oleh jurnalis televisi dan reporter radio. Menurut Scheuer (1999) disebut sebagai Sound Bite Culture.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah sound bite ini menjadi sebuah upaya menjatuhkan calon tertentu ketika koda, gagasannya dipotong, bahkan dimanipulasi sebelum ditampilkan ke laman media sosial dengan tujuan untuk saling menjatuhkan lawan politik. Dengan pemotongan pembicaraan apalagi penyimpangan pesan maka di kalangan masyarakat pemilih dapat timbul konflik. Di laman media sosial beberapa orang menampilkan video dengan pesan di awal kira-kira seperti ini, perbiasakan mendengarkan sampai selesai adalah bentuk pendidikan politik yang mencerdaskan. Publik harus diperbiasakan untuk mendengarkan informasi secara utuh, diajak untuk berpikir kritis agar sanggup melihat Flores Timur secara utuh, bukan secara parsial atau secara kewilayahan. Publik harus dicerdaskan bahwa calon pemimpin yang akan dipilih adalah orang yang akan mengelola kebijakan publik Flores Timur, bukan mengelola perusahaan pribadi, bukan mengelola anggaran pribadi tetapi ia mengelola aset publik.
Literasi demokrasi harus menyadarkan publik bahwa menjadi pejabat publik bukan karena calon tertentu telah selesai dengan dirinya. Slogan-slogan ini yang disebut dalam komunikasi politik sebagai hiperbola politisi.
Lindsay Tanner (2007) dalam jargonnya menegaskan in politics everyone exaggerates about everythings all the time – dalam politik, setiap orang selalu membesar-besarkan segala hal. Menjadi pelayan publik bukan karena telah calon tertentu telah selesai dengan dirinya tetapi pemimpin yang tidak akan selesai belajar melayani masyarakatnya. Menjadi pemimpin bukan karena lebih tahu tentang kondisi masyarakat tetapi pemimpin yang hadir dengan integritas dan karakter yang telah teruji, bersama-sama dengan masyarakat membangun sebuah peradaban yang lebih baik. Jangan biarkan kemurnian koda yang tertulis jelas dibelokkan dengan aneka bentuk sound bite yang menyesatkan. Jadilah pemilih yang cerdas dengan mempercayakan koda, aspirasimu pada calon pemimpin yang setia, telah teruji karakter dan integritas sebagai pelayan rakyat.
Selamat menyongsong 27 November 2024.
* Penulis, pemerhati dan penulis sosial budaya