Oleh Tony Kleden
Pendahuluan
Saya menahan diri sangat kuat. Tidak ingin 10 jari ini menari-nari di atas tuts notebook tua. Alat kerja bermerek toshiba yang diterima dari tangan Rosihan Anwar (alm) di Jakarta 2010 silam itu sudah jadi teman saban hari. Saya tahan diri, tidak mau menulis sesuatu tentang sosok Pater. Dr. Paulus Budi Kleden, SVD yang diangkat Paus Fransiskus menjadi Uskup Agung Ende.
Lantaran sikap itu, banyak yang protes. “Kami belum baca tulisanmu tentang beliau. Kami ingin tahu apa kata keluarga sendiri. Kami tunggu,” kata seorang teman pastor yang menetap di benua biru, Eropa. “Jangan lupa tulis tentang beliau! Tulis apa saja, kami ingin baca,” pinta seorang rekan anggota sebuah grup WA.
Yaaa, apa lagi yang mesti ditulis? Sudut dan sisi mana lagi yang belum diulas? Belum sampai satu jam setelah diumumkan menjadi Uskup Agung Ende, Sabtu, 25 Mei 2024 rembang malam, Pater Budi Kleden mendapat apresiasi dan ungkapan proficiat dari mana-mana. Membanjiri dinding-dinding facebook. Berhari-hari setelahnya begitu banyak komentar dan testimoni tentang sosok ini. Teman kelas, mantan mahasiswa/i, rekan-rekan imam, aktivis LSM, para guru, siapa saja yang mendengar kabar ini memberi apresiasi melalui komentar singkat, tulisan ringan, juga artikel pendek.
Saya sangat paham, juga sangat mengerti, kalau Budi Kleden bukan tipe orang yang haus pujian. Dia tidak suka dirinya dipublikasikan. Tetapi untuk menjawabi dan mengobati harapan banyak orang, saya melihat sisi keluarga saja untuk tulisan sederhana ini. Pembaca tidak bakal menemukan kedalaman pengetahuan Budi Kleden tentang teologi, filsafat, dan sastra di tulisan ini. Juga tidak akan mendapat gambaran seperti apa empati, simpati, perhatiannya terhadap para mahasiswanya di Ledalero. Yang ditemukan dari tulisan ini cumalah hal ihwal yang sangat sederhana. Mungkin juga terlalu sepele tentang sosok ini.
Keluarga, Pendidikan, Imam
- Keluarga
Nama lengkapnya Paulus Budi Kleden. Paulus nama baptis. Sedangkan Budi adalah nama kakeknya, ayah dari Dorothea Sea Halan, ibunda Budi. Di kalangan masyarakat Lamaholot, penggunaan nama orangtua seperti kakek, nenek, om, tanta atau seorang tokoh untuk anak yang baru lahir merupakan suatu tradisi yang sudah jadi umum. Harapannya, semoga semua hal baik dari sosok yang digunakan namanya hidup kembali dalam diri anak yang menggunakan namanya.
Di tengah keluarga di Waibalun, Budi punya nama panggilan ‘Poce’. ‘Poce’ itu nama prokem yang digunakan dalam ragam bahasa Nagi/Larantuka untuk memanggil mereka yang memiliki nama baptis Paulus. Sama halnya Yohanes dipanggil Nani atau Jewani. Poce kemudian disingkat lagi menjadi ‘Oce’ sebagai panggilan manis dalam rumah untuk Budi.
Bagaimana hubungannya dengan (alm) Mgr. Dr. Paulus Antonius Sani Kleden, SVD, mantan Uskup Denpasar (1961-1972)? Mgr. Sani, biasa dipanggil Uskup Sani, adalah sulung dari empat bersaudara di Waibalun. Anak kedua namanya Petrus Sina Kleden (ayahanda Budi bersama saudara-saudarinya), anak ketiga namanya Wilhelmus Lawe Kleden (ayah kami saudara bersaudara). Si bungsu namanya Maria Lepan Kleden. Empat saudara sekandung ini lahir, besar dan hidup secara sederhana dari tangan pasangan Yosep Suban Kleden-Maria Kemohun Kean.
Ayahanda Budi, Petrus Sina Kleden, seorang tukang kayu yang bekerja di perbengkelan misi Larantuka. Era tahun 1950-an hingga 1990-an bekerja di misi itu terbilang lumayan baik. Pasangan Bapa Petrus dan Mama Dorothea mengatur dengan baik hingga semua anak bisa mengenyam pendidikan, bahkan sampai perguruan tinggi.
Di tengah keluarga, Budi tampil sebagai seorang anak yang rajin, patuh dan hormat. Rajin di rumah. Patuh kepada orang tua. Hormat kepada siapa saja. Ketika masih duduk di bangku SMP Pankrasio Putra Larantuka, Budi sudah telaten dan terampil bekerja sebagai seorang tukang kayu. Kedua tangannya piawai memegang dan mengoperasikan alat-alat tukang kayu. Serut kayu (skap) berbagai jenis, penggaris siku, meter, gergaji, hamar berbagai ukuran, pahat kayu, perusut, klem (sersan), bor dikuasainya dengan baik. Tentu saja bukan peralatan listrik seperti sekarang ini. Semuanya masih manual. Beragam alat tukang kayu ini sudah jadi teman setianya saban sore usai pulang sekolah. Kursi, meja, tempat tidur, lemari, pintu, jendela, kusen semuanya bisa dikerjakannya. Keterampilan ini didapatnya dari sang ayah. Terpaut umur dua tahun, saya biasa menemaninya sambil membantu sebisa yang dapat dilakukan. Sambil bekerja di bengkel sederhana di belakang dapur, kami biasa berbagi kisah. Kisah tentang sekolah, kisah tentang teman-teman. Macam-macam. Di keluarga dan di kampung, Budi selalu jadi contoh yang selalu disebut para orangtua untuk melukiskan watak dan karakter seorang anak yang baik, harapan orangtua.
- Pendidikan Seminari
Budi sangat cerdas. Mulanya saya kurang tahu tentang kecerdasannya karena kami beda sekolah. Budi di SMP Pankrasio Putra di San Dominggo, saya di SMP Pankrasio Putri (sekarang SMP Ratu Damai). Saya hanya mendengar cerita kalau Budi adalah siswa dengan nilai tertinggi di NTT saat tamat SMP tahun 1981. Di SMP dia jadi utusan Flores Timur ke Kupang semasa Ben Mboi menjadi Gubernur NTT. Mereka mengunjungi beberapa titik di daratan Timor menanam pohon mengejawantahkan program Ben Mboi Operasi Nusa Hijau.
Ketika Budi masuk Seminari Hokeng tahun 1981, Pastor Paroki Waibalun, Pater Franco Zocca, SVD mengirim surat ke Seminari Hokeng. Isinya tegas: jika tidak terima anak ini, tutup saja seminari! Pater Franco tepat dengan rekomendasinya. Ketika masuk Seminari Hokeng baru saya tahu dengan baik, Budi memang sungguh cerdas. Sudah cerdas, Budi juga santun. Semua syarat menjadi anak seminari ada dalam dirinya. Guru-guru di Hokeng selalu menyebut namanya sebagai contoh siswa seminari yang diharapkan. Kalau ada lomba pidato, lomba menulis, atau cerdas cermat, maka siswa yang lain mesti mengecek dan mencari tahu apakah Budi juga ikut. Kalau dia ikut lomba, maka siswa lain mesti bertarung merebut juara dua dan seterusnya. Posisi pertama, juara satu, sudah pasti miliknya.
Belakangan sekali, setelah lama melalui pergaulan dekat, berbicara dan ngobrol dengannya, membaca luasnya referensi dan pengetahuannya, saya punya keyakinan kalau Budi hanya butuh sekali mendengar dan atau membaca materi pelajaran. Apa yang dibaca dan didengarnya itu boleh jadi masuk, tertinggal dalam memorinya, dan dengan mudah ‘ditarik keluar’ jika dia butuh.
- Imam Sederhana dan Rendah Hati
Budi sederhana dan rendah hati. Hidupnya sederhana nian. Amat bersahaja. Apa adanya. Pakaiannya itu-itu saja. Tidak banyak. Sepatunya? Yang murah meriah. Sudah menjabat sebagai Superior General SVD di Roma pun penampilannya tidak berubah. Penampilan sederhana seperti ini sudah terlihat dari dulu. Kesederhanaan itu kuat dipengaruhi pola dan sikap hidup orangtua di Waibalun. Ditambah dengan pengejawantahan kaul kemiskinan sebagai seorang biarawan, Budi memang tampil teramat sederhana.
Mestinya dengan lama hidup, belajar, bekerja di Austria, Jerman, Swiss, Italia, mengunjungi puluhan negara ketika menjabat sebagai anggota Dewan General dan kemudian menjadi Superior General SVD, penampilan Budi bisa lebih dendi. Tetapi itu jauh dari karakter dan wataknya. Kesederhanaan sudah kuat menjadi identitas yang mencirikan sosoknya.
Budi juga seorang yang sangat rendah hati. Dia tidak sombong, juga tidak angkuh. Bawaannya bukan orang yang gemar pujian, doyan dihormati. Terhadap lawan bicaranya dia mendengar dengan penuh perhatian, meski isi pembicaraan sudah didengar dan dipahaminya. Mendengar seperti sudah menjadi salah satu kebajikannya.
Persembahan Keluarga
Di Waibalun, marga/suku Kleden tidak besar dibanding dengan suku/marga lain. Kami marga Kleden kecil saja. Tetapi persembahan Kleden dari Waibalun untuk orang banyak tidak kecil. Persembahan marga Kleden untuk orang banyak terutama dengan menjadi rohaniwan, guru, dosen, wartawan/penulis, tukang, nelayan. Rohaniwan cukup banyak dan berada di sejumlah tarekat hidup bakti: uskup, imam, suster, frater, bruder. Jika ditambah dengan mereka yang lahir dari rahim perempuan Kleden, tentu jumlahnya makin banyak.
Dalam permenungan muncul pertanyaan, mengapa banyak di antara kami marga Kleden ingin menyerahkan diri melayani Tuhan dengan menjadi rohaniwan? Faktor dominan apa yang menjadi daya dorongnya?
Saya menduga salah satu faktor pendorongnya adalah jejak awal yang telah dirintis generasi awal orang Waibalun (juga Flores Timur/Lamoholot pada umumnya) tempo dulu. Orang tua dua generasi di atas kami banyak yang menjadi guru. Guru masa itu tidak hanya menjadi pendidik, tetapi sekaligus juga menjadi misionaris awam. Mereka menyebar ke mana-mana, tembus keluar Flores Timur. Mereka mengenyam pendidikan Belanda, ditempah di sekolah-sekolah misi hingga menjadi guru dan misionaris awam handal di berbagai daerah.
Yang luar biasa, melalui rekayasa sosial para guru ini menikahi perempuan-perempuan yang disiapkan secara khusus di sekolah kepandaian/keterampilan putri. Demikianlah, perempuan istri guru itu dipanggil dengan Nyora Guru. Guru menjadi pilihan utama ketika Gereja Katolik Nusa Tenggara belum mendirikan seminari guna menyiapkan imam pribumi. Barulah ketika seminari didirikan, mulai muncul siswa seminari. Salah satu angkatan awal siswa seminari di Nusa Tenggara adalah Pater Yan Bala Letor, SVD dari Waibalun. Pater Yan Bala menjadi imam angkatan kedua tamatan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero yang ditabiskan menjadi imam tahun 1942.
Kehadiran Pater Yan Bala menjadi inspirasi tersendiri. Jejaknya kemudian diikuti banyak orang. Memompa spirit anak Waibalun mengikuti jejak Pater Yan Bala itu, Pater Anton Sigoama Letor, SVD, komponis lagu-lagu Gereja, menggubah sebuah lagu dalam bahasa Waibalun berjudul Tite Ana-ana Waibalun. Salah satu bait lagu itu sungguh menginspirasi. Bunyinya :
Bauk rua wi goe jadi a
Goe koi wati mo
Dore Tuan Yan Bala kolo berkat lewo
Jadi guru, ola ma, here nere, biku…
Goe koi wati mo
Ne pe’en we goe gete moe ata a lewu…
Oh Waibalun…
Oh Waibalun…
Goe hukut moe gelupa moe hala
Terjemahannya :
Akan jadi apa aku nanti
Belum jelas kuketahui
Duluan ikut jejak Pater Yan Bala berkat kampung
Jadi guru, petani, pengiris tuak, atau apa saja…
Belum kutahu
Jika seperti itu kutanya dari mana asalmu…
Oh Waibalun…
Oh Waibalun…
Kuingat selalu, tak terlupakan
Lagu ini sangat populer dan seakan jadi lagu wajib orang Waibalun. Lagu ini sering dinyanyikan sebagai penghantar tidur malam anak-anak Waibalun. Tetapi lebih jauh, dari lagu ini banyak anak seperti terhipnotis mengikuti jejak Pater Yan Bala di barisan rohaniwan.
Tentu Budi punya motivasi sendiri ketika memutuskan masuk Seminari Hokeng tahun 1980. Spirit dari Pater Yan Bala mungkin ikut mendorongnya. Tetapi dorongan itu juga datang dari dalam keluarga sendiri ketika pada masa kecil kami menyaksikan ‘kebesaran’, ‘kemuliaan’ dan ‘keagungan’seorang uskup dalam diri bapa besar kami, Mgr. Dr. Paulus Antonius Sani Kleden, SVD, Uskup Denpasar setiap kali beliau pulang libur di Waibalun.
Sayang, Uskup Sani meninggal terlalu dini ketika umurnya baru 48 tahun. Sekadar diketahui, Uskup Sani ditahbiskan menjadi imam tahun 1950 di Seminari Tinggi Teteringen, Belanda. Dari Belanda beliau melanjutkan studi mengambil jurusan Hukum Gereja di Universitas Gregoriana, Roma. Tahun 1955, beliau kembali ke Ledalero dan menjadi dosen Indonesia pertama di Ledalero. Tahun 1961 ketika terjadi pemekaran wilayah Gerejani di Indonesia, beliau diangkat menjadi Uskup Denpasar pada umur 37 tahun. Uskup pertama dari Flores, kedua dari Nusa Tenggara dan keempat dari Indonesia ini tercatat sebagai uskup termuda di dunia saat mengikuti Konsili Vatikan II (1962-1965) di Roma.
Kebesaran, kemuliaan, keagungan yang terlihat dari Uskup Sani, jejak yang ditinggakan Pater Yan Bala Letor, juga Pater Anton Sigoama Letor (tahbisan imam tahun 1955) tempo dulu mempunyai andil besar dan menjadi motivasi awal bagi banyak anak Waibalun masuk seminari. Syukur, banyak yang jalan terus dan ditahbiskan menjadi imam. Tetapi yang mengambil jalan lain dan tidak menjadi imam tetap memperlihatkan spirit lewo (kampung) di berbagai medan bakti seperti dosen, guru, wartawan, penulis, politisi, dan lain-lain.
Penutup
Ketika sekarang Paulus Budi Kleden diangkat menjadi Uskup Agung Ende, muncul kesadaran dalam keluarga Kleden : inilah anak suku terbaik yang dipersembahkan keluarga untuk Gereja, untuk umat dan untuk masyarakat banyak. Tahun 1961 keluarga Kleden sudah mempersembahkan Mgr. Dr. Paulus Antonius Sani Kleden, SVD menjadi Uskup Denpasar. Tahun ini, 63 tahun kemudian, keluarga Kleden kembali mempersembahkan anak suku Mgr. Dr. Paulus Budi Kleden, SVD menjadi Uskup Agung Ende. Dari Sani ke Budi, inilah persembahan keluarga Kleden.
- Tony Kleden, wartawan, tinggal di Kupang
Catatan : Tulisan ini diambil dari Buku “Menyambut Mgr. Paulus Budi Kleden SVD, Caritas Fraternitatis Maneat In Vobis, Peliharalah Kasih Persaudaraan“, editor : Maria Matildis Banda dan Fransiskus Zaverius Maria Deidhae. Diterbitkan di sini dengan izin editor.