Oleh Hugo Rehi Kalembu
Dimakan, bunda mati; tak dimakan ayah mati. Itulah posisi Penjabat Gubernur NTT saat ini. Publik mendesak beliau agar segera menerbitkan surat persetujuan prinsip KUB dengan Bank DKI.
Jika persetujuan tak dikeluarkan, maka otomatis Bank NTT akan turun status menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Konsekuensinya dana transfer umum maupun transfer khusus ke daerah tidak melalui Bank NTT lagi, tetapi akan ditransfer melalui bank himbara: BRI, BNI dan Mandiri. Layanan mobile banking tak boleh lagi; layanan bank devisa dicabut; penerimaan pajak dan retribusi daera, tidak melalui Bank NTT lagi. Terakhir akan terjadi PHK pegawai Bank NTT secara besar-besaran.
Tetapi jika persetujuan prinsip langsung dikeluarkan tanpa arah PKS (perjanjian kerja sama) yang jelas, maka Bank NTT bakal kehilangan kemandiriannya, manakala ketentuan buy back saham, jangka waktu kerja sama KUB dan keikutsertaan Bank DKI pada manajemen Bank NTT tidak diatur jelas dalam PKS.
Lebih lanjut, Bank NTT akan terus di bawah bayang- bayang Bank DKI. Posisi beberapa direksi dan jabatan strategis di bawah direksi bisa jadi diisi oleh Bank DKI dan/atau bahkan Dirut Bank NTT bisa diisi oleh Bank DKI.
Hal ini sudah terjadi pada KUB Bank BJB (Bank Jabar Banten) dan Bank Bengkulu. Bank Jabar Banten (BJB) menyetor Rp 250 miliar dan Dirut Bank Bengkulu dijabat personil BJB. Dan, hal ini dimungkinkan, karena posisi Bank DKI dàn Bank BJBsebagai bank induk dan Bank NTT dan Bank Bengkulu sebagai bank anak sesuai ketentuan pasal 5 POJK no 12/PJOK 03 2020.
Menurut informasi yang dapat dipercaya, dalam proses pembahasan PKS, mulanya Bank DKI menyetujui adanya klausul buy back saham Pemprov DKI oleh Pemprov NTT. Tetapi kemudian dalam negosiasi selanjutnya, mereka nenolak. Inilah sinyal yang, mungkin saja menyebabkan Penjabat Gubernur NTT masih menimbang-nimbang dengan matang untung ruginya menerbitkan persetujuan prinsip seperti yang didesakkan banyak pihak.
Ada pertanyaan mengganjal di hati publik. Mengapa Bank NTT seolah dibiarkan dalam kondisi seperti ini? Padahal sejak terbitnya POJK No. 12/POJK 03/ 2020, para pemegang saham termasuk PSP (pemegang saham pengendali) sudah mengambil langkah antisipasi yang tepat. Rapat umum pemegang saham (RUPS) tanggal 26 April 2021 memutuskan agar Pemda Provinsi dan kabupaten/kota menambah penyertaan modalnya untuk memenuhi modal inti minimum Rp 3 triliun sampai akhir 2024. Bahkan RUPS sudah menyepakati agar 50 % dividen tahunan mulai tahun buku 2020 dikembalikan sebagai tambahan penyertaan modal untuk menggenapi modal inti minimum secara bertahap.
Pemerintah provinsi sendiri bersama DPRD sudah menyepakati Perda Perubahan No 3 tahun 2022 tentang penyertaan modal ke Bank NTT dengan rincian alokasi pertahun sbb: tahun 2021 sebesar Rp 85 miliar; tahun 2022 sebesar Rp 92,087 miliar; tahun 2023 sebesar Rp 92 miliar dan tahun 2024 sebesar Rp 92 miliar.
Pemda kabupaten/ kota juga sudah menandatangani komitment tambahan modal per tahun dengan Bank NTTt. Anehnya, keputusan RUPS ini tidak dijalankan dan seolah- olah Bank NTT diarahkan pilihannya pada KUB sebagai jalan keluar terbaik.
Dalam rapat- rapat Komisi III DPRD NTT dengan Bank NTT dan OJK, Komisi III diyakinkan tak perlu khawatir dengan pemenuhan modal inti minimun. Karena ada alternatif penyelesaian melalui kerja sama KUB. Ternyata dalam perjalanan negosiasi pembuatan PKS baru disadari adanya nuansa take over terselubung, dimana Bank NTT berada pada posisi dilematis.
Menjelang tanggal 31 Desember 2024 posisi tawar Bank NTT dalam pembahasan PKS KUB akan sangat lemah dan terpaksa menerima butir- butir PKS KUB yang merugikan Bank NTT .
Inilah buah simalakamanya: menyetujui KUB berarti kehilangan kemandirian; tidak menyetujui KUB berarti turun status menjadi BPR.
Masih adakah secercah harapan jalan keluar lain? Hemat saya, masih ada dua langkah yang bisa dipertimbangkan oleh para pemegang saham. Pertama, persetujuan prinsip PSP Bank NTT haruslah dengan syarat adanya klausul : buy back saham, limitasi waktu KUB dan kadar campur tangan Bank DKI pada penentuan personil manajemen Bank NTT.
Kedua, bila ketiga syarat tersebut gagal disepakati dalam PKS KUB, maka kerja sama KUB dengan Bank DKI tak perlu dilanjutkan. Oleh karena itu, RUPS tanggal 8 Mei 2024 hendaknya memfokuskan diri pada upaya untuk mencari alternatif pendanaan melalui beberapa skenario dalam waktu 7 bulan tersisa dengan mempertimbangkan usul mantan Dirut Bank NTT, Daniel Tagudedo dengan beberapa varian.
Pertama, Bank NTT menerbitkan dan menjual obligasi senilai sisa kurang modal inti minimum seperti yang pernah dilakukan oleh Bank NTT di bawah kepemimpinan Daniel Tagudedo sebagai Dirut dan sangat berhasil. Acara lauchingnya malah dihadiri juga oleh pimpinan Komisi III DPRD NTT saat itu.
Kedua, para pemegang saham dapat nemutuskan dalam RUPS agar dividen tahun buku 2023 dan 2024 dikembalikan sebagai tambahan penyertaan modal untuk menutup sebagian sisa kurang modal inti minimum.
Ketiga, Pemprov NTT dapat melakukan penjadwalan ulang pembayaran cicilan pokok pinjaman PEN sebesar kurang lebih Rp 200 miliar dan hanya membayar bunga pinjaman saja dulu sebesar kurang lebih Rp 64 miliar. Tentu dengan mengajukan permohonan khusus ke Kementrian Keuangan dan PT SMI.
Keempat, alternatif untuk melantai di pasar modal dapat menjadi pilihan terakhir jika masih ada kekurangan modal inti minimum dengan menjual saham Seri B kepada publik. Pemegang saham pengendali (PSP) dapat mengajukan relaksasi kepada OJK dengan rentang waktu 1 tahun untuk mempersiapkan Bank NTT` masuk ke pasar modal dan menjadi bank initial publik offering (IPO).
Waktu kita tidak banyak. Dibutuhkan kecepatan, komitmen, kejujuran dan persamaan persepsi di kalangan para pemegang saham, PSP, manajemen Bank NTT dan stakeholder lainnya. Kita menaruh harapan besar pada RUPS/RUPS Luar Biasa Bank NTT pada tanggal 8 Mei 2024 agar mengambil keputusan- keputusan yang tepat dan komprehensif tentang nasib Bank NTT ke depan.
Kita harus menghindari catatan sejarah, bahwa di zaman kitalah Bank NTT, bank kecintaan dan kebanggaan rakyat NTT menjadi kerdil bahkan turun status menjadi BPR. (*)
- Anggota DPRD NTT dari Fraksi Golkar