Bank NTT: Buah Simalakama

hugo rehi kalembu8

Oleh Hugo  Rehi Kalembu

Dimakan, bunda mati; tak dimakan ayah mati. Itulah  posisi Penjabat Gubernur NTT saat ini. Publik mendesak beliau agar segera menerbitkan surat persetujuan  prinsip KUB  dengan Bank DKI.

Bacaan Lainnya

Jika persetujuan tak dikeluarkan, maka otomatis Bank NTT  akan turun status menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Konsekuensinya dana transfer umum maupun transfer khusus  ke daerah tidak melalui Bank NTT  lagi, tetapi akan ditransfer melalui  bank himbara: BRI, BNI  dan Mandiri. Layanan mobile banking tak boleh lagi; layanan bank devisa dicabut; penerimaan pajak dan retribusi daera, tidak melalui Bank NTT lagi. Terakhir akan  terjadi PHK pegawai Bank NTT secara besar-besaran.

Tetapi jika persetujuan prinsip langsung dikeluarkan tanpa arah PKS (perjanjian kerja sama) yang  jelas, maka Bank NTT bakal kehilangan kemandiriannya,  manakala ketentuan buy back saham, jangka waktu kerja sama  KUB dan keikutsertaan Bank DKI pada manajemen Bank NTT tidak diatur jelas dalam PKS.

Lebih lanjut, Bank NTT akan terus di bawah bayang- bayang Bank DKI. Posisi beberapa direksi dan jabatan strategis di bawah direksi bisa jadi diisi oleh Bank DKI dan/atau bahkan Dirut Bank NTT bisa diisi oleh Bank DKI.

Hal ini sudah  terjadi pada KUB Bank BJB (Bank Jabar Banten) dan Bank Bengkulu. Bank Jabar Banten (BJB) menyetor Rp 250 miliar dan Dirut Bank Bengkulu dijabat personil BJB. Dan, hal ini dimungkinkan, karena posisi Bank DKI dàn Bank BJBsebagai bank induk dan Bank NTT dan Bank Bengkulu sebagai bank anak sesuai ketentuan  pasal 5 POJK no 12/PJOK 03  2020.

Menurut informasi yang dapat dipercaya, dalam proses pembahasan PKS, mulanya Bank DKI  menyetujui adanya klausul buy back saham Pemprov DKI oleh  Pemprov NTT.  Tetapi kemudian dalam negosiasi selanjutnya, mereka nenolak. Inilah sinyal yang, mungkin saja  menyebabkan Penjabat  Gubernur NTT masih menimbang-nimbang dengan matang  untung ruginya menerbitkan persetujuan prinsip seperti yang didesakkan banyak pihak.

Ada pertanyaan mengganjal di hati publik. Mengapa Bank NTT seolah dibiarkan dalam kondisi seperti ini? Padahal sejak terbitnya POJK No. 12/POJK 03/ 2020,   para pemegang saham termasuk PSP (pemegang saham pengendali)  sudah mengambil langkah antisipasi yang tepat. Rapat umum pemegang saham  (RUPS) tanggal 26 April 2021 memutuskan agar Pemda Provinsi  dan kabupaten/kota  menambah penyertaan modalnya untuk memenuhi modal inti minimum Rp  3 triliun sampai  akhir 2024. Bahkan RUPS sudah menyepakati agar 50 % dividen tahunan mulai tahun buku 2020 dikembalikan sebagai tambahan penyertaan modal untuk menggenapi modal inti  minimum secara bertahap.

Pemerintah  provinsi  sendiri bersama DPRD sudah menyepakati  Perda Perubahan  No 3 tahun 2022 tentang penyertaan modal ke Bank NTT dengan rincian alokasi pertahun sbb: tahun 2021 sebesar Rp 85 miliar;  tahun 2022 sebesar Rp 92,087 miliar;  tahun 2023 sebesar Rp 92 miliar dan  tahun 2024 sebesar Rp 92 miliar.

Pemda kabupaten/ kota juga sudah menandatangani komitment tambahan modal per tahun dengan Bank NTTt. Anehnya,  keputusan RUPS ini tidak dijalankan dan seolah- olah Bank NTT diarahkan  pilihannya pada KUB sebagai jalan keluar terbaik.

Dalam rapat- rapat Komisi III DPRD NTT dengan Bank NTT dan OJK, Komisi III diyakinkan tak perlu khawatir dengan  pemenuhan modal inti minimun. Karena ada alternatif penyelesaian melalui kerja sama KUB. Ternyata dalam perjalanan negosiasi pembuatan PKS baru disadari adanya nuansa  take over terselubung, dimana Bank NTT berada pada posisi dilematis.

Menjelang tanggal  31 Desember 2024  posisi tawar Bank NTT dalam pembahasan PKS KUB akan sangat lemah dan terpaksa menerima butir- butir PKS KUB yang merugikan Bank NTT .

Inilah buah simalakamanya: menyetujui KUB berarti kehilangan kemandirian; tidak menyetujui  KUB berarti turun status menjadi BPR.

Masih adakah secercah harapan jalan keluar lain?  Hemat saya, masih ada dua langkah  yang bisa dipertimbangkan oleh para pemegang saham.  Pertama, persetujuan prinsip PSP Bank NTT haruslah  dengan syarat adanya klausul : buy back saham, limitasi waktu KUB dan kadar campur tangan  Bank DKI pada penentuan personil manajemen Bank NTT.

Kedua, bila ketiga syarat tersebut gagal disepakati  dalam PKS KUB, maka kerja sama KUB dengan Bank DKI tak perlu dilanjutkan. Oleh karena itu, RUPS tanggal 8 Mei 2024 hendaknya memfokuskan diri pada upaya untuk mencari alternatif pendanaan melalui beberapa skenario dalam waktu 7 bulan tersisa dengan mempertimbangkan usul mantan Dirut Bank NTT, Daniel  Tagudedo dengan beberapa varian.

Pertama, Bank NTT menerbitkan dan menjual obligasi senilai sisa kurang modal inti minimum seperti yang pernah dilakukan oleh Bank NTT di bawah kepemimpinan Daniel Tagudedo sebagai Dirut dan sangat berhasil. Acara lauchingnya malah dihadiri juga oleh pimpinan Komisi III DPRD NTT saat itu.

Kedua, para pemegang saham dapat nemutuskan dalam RUPS agar dividen tahun buku 2023 dan 2024 dikembalikan sebagai tambahan penyertaan modal untuk menutup sebagian sisa kurang modal inti minimum.

Ketiga, Pemprov NTT dapat melakukan penjadwalan ulang pembayaran cicilan pokok pinjaman PEN sebesar  kurang lebih Rp 200 miliar dan hanya membayar bunga pinjaman saja dulu sebesar kurang lebih Rp 64 miliar. Tentu  dengan mengajukan permohonan khusus ke Kementrian Keuangan dan  PT  SMI.

Keempat, alternatif untuk melantai di pasar modal dapat menjadi pilihan terakhir  jika masih ada kekurangan modal inti minimum dengan menjual saham Seri B kepada publik.   Pemegang saham pengendali (PSP) dapat mengajukan relaksasi kepada OJK dengan rentang  waktu 1 tahun untuk mempersiapkan Bank NTT` masuk ke pasar modal dan menjadi bank initial publik offering (IPO).

Waktu kita tidak banyak. Dibutuhkan kecepatan, komitmen, kejujuran dan persamaan persepsi di kalangan para pemegang saham, PSP, manajemen Bank NTT dan stakeholder lainnya.  Kita menaruh harapan besar pada RUPS/RUPS Luar Biasa Bank NTT pada tanggal 8 Mei 2024 agar mengambil keputusan- keputusan yang tepat dan komprehensif tentang nasib Bank NTT ke depan.

Kita harus menghindari catatan sejarah, bahwa di zaman kitalah Bank NTT, bank  kecintaan dan kebanggaan rakyat NTT  menjadi  kerdil bahkan turun status menjadi BPR. (*)

  • Anggota DPRD NTT dari Fraksi Golkar

Pos terkait