Oleh P. Kons Beo, SVD
“Jika kita menabur kata-kata di sekeliling kita tanpa memperhatikan makna dan kebenarannya, secara harafiah kita dapat membunuh orang lain…” (Sang Bijak)
Ini sebenarnya tentang kebenaran. Tetapi, apakah kebenaran itu sungguh benar? Itu sabar dulu. Yang terpenting informasi mesti dipompa. Maksudnya jelas, bahwa informasi itu mesti segera deras mengalir sampai jauh. Melata ke area yang luas, dan yang terpenting lagi bahwa informasi itu mampu ‘masuk dan menguasai sekian banyak pasang kuping pendengar.’
Informasi itu diedit dalam tulisan. Atau diramu dalam podcast. Dikaroseri dalam sekian banyak teknik penyampaian. Yang jelas, satu informasi atau fenomen bisa diterawang dalam varian analisis, tafsir, opini, dengan berbagai sudut pandang.
Dalam alam masyarakat yang sumpek dengan ‘prasangka dan kecurigaan,’ satu dua kebenaran yang dianggap benar masih saja terombang-ambing oleh ayunan kesangsian! Kini, orang tak mudah percaya begitu saja. Curiga sudah menebal. Penguasa tak dipercayai (lagi) sepenuhnya, penegak hukum dilihat penuh skeptis dan sinis, yang didaulat sebagai ahli ini dan itu cuma dilirik sepintas lintas, bahkan pemuka agama pun ditatap penuh tanya.
Agar jadi benar dan terlebih dibenarkan, orang mesti masuk ke dalam ‘keyakinan pada diri sendiri.’ Dan keyakinan seperti itu dipilari oleh info, materi, obyek yang dicari, dikejar dan didapatkan sendiri dari yang diyakini sebagai sumber utama, sebagai orang dalam, dan dari saksi kunci. Orang, katanya, tak mau hanya didera oleh pelbagai hamburan cerita sana-sini.
Cerita yang beredar sana-sini, serta tak jelas arah “mudah sekali kehilangan cita rasa akan kebenaran. Kita menghabiskan begitu banyak waktu untuk hidup dalam dunia imajiner.” Dalam sumpeknya lalu-lintas info dan cerita orang bakal sulit “membedakan antara fakta dan fiksi.”
Sayangnya, dalam suasana ketakpastian antara fakta dan fiksi atau imajinasi itu, hadirlah faktor interese, atau katakanlah kepentingan sebagai ‘something beyond’ demi kokohkan satu asumsi sebagai kebenaran. Konkritnya? Iya, “Yang buruk (malum) sungguh adalah benar (verum) dan itu ada di pihak ‘mereka’ atau pada ‘yang bukan kita,’ yang nota bene berlawanan dengan ‘kita.’ Sementara yan baik (bonum) adalah ‘punya kita’ bahkan menjadi citra (identitas) kita.
Siapapun individu atau kelompok miliki kecenderungan kuat untuk menjaga sejadinya apa yang menjadi kepentingannya. Namun, saat alam kompetitif jadi tak terhindarkan, akibat adanya kepentingan yang sama, yang juga diperjuangkan oleh individu-kelompok seberang, maka ekspansi saling memburu info malum-negatif-kelemahan-kekurangan dari pesaing-lawan menjadi tak terhindarkan.
Dari segala petualang memburu info melalui ‘sumber-sumber terpercaya’ jelas ada upaya dan teknik ‘bikin bocor alus.’ Dapatkan info sekecil dan sesederhana apapun dari ‘lingkaran orang dalam dan terdekat’ adalah hasil maksimal dari satu upaya ‘pembocoran alus.’
Tetapi, apakah intensi dari ‘bikin bocor alus’ itu sungguh terarah pada kebenaran dari satu fakta yang hendak didapatkan? Dan lagi, apakah fakta itu berpautan dengan geliat yang positif atau bernilai? Di sinilah upacaya “bocor alus” sebenarnya ditantang untuk bersikap ‘apa adanya.’ Dan bukannya pada sikap berat sebelah yang cenderung degradatif, peyoratif, dan negatif. Mengapa?
Sebab, membentangkan hal ‘yang tak sedap, negatif’ sering jadi kenikmatan pemberitaan tersendiri. Hal yang tak cantik tentang perilaku dan manuver strategi atau rahasia lawan, bukankah adalah ‘barang mewah dalam satu percakapan?’ Dan itulah yang terjadi dan dianggap ‘normal’ dalam alam hidup penuh kompetisi.
Dan renungkan langkah berikutnya. Dari sekian banyak ‘bocor alus’ dari gerilya dapatkan info, ditenunlah narasi-narasi rakitan berikutnya, yang bisa saja, sesuai pesanan atau setidaknya sesuai kepentingan. Tidakkah kini menjadi nyata bahwa sekian banyak info sebenarnya lahir dari ‘pabrik news’ yang telah masuk dalam geliat industri?
Akibatnya, masyarakat atau lingkungan ataupun kebersamaan apapun alami hidup dalam ‘suasana hati dan sikap satu terhadap yang lain’ atas dasar ‘industri bocoran.’ Akibatnya? Satu catatan alarm ingatkan, “Sering dalam masyarakat kita kata-kata dihambur-hamburkan secara tidak bertanggung jawab, menggunakannya untuk menyerang dan memfitnah orang lain, sehingga memandulkan alat yang kita gunakan untuk menjalin dan membentuk komunitas insani” (community building).
Suasana tentu akan jadi tambah suram saat dinamika ‘bocor alus’ yang diikuti dengan ‘gempa bumi bocoran’ itu, segera disusul dengan ‘tsunami seram mulut ember.’ Katanya, seturut penelitian ilmiah, ‘pikiran manusia miliki kapasitas terbatas untuk memproses sebuah informasi.’ Orang segera masuk dalam gejolak mulut ember untuk ‘lanjutkan hasil dari bocor alus yang diterimanya sebagai bocoran.
“Amukan mulut ember” tentu bebas sensor ‘akal sehat-rational, lolos cita rasa sebab akibat, tak peduli aksi dan reaksi ataupun harus adanya metodologi berpikir integral-holistik. Jauh dari sikap penuh arif, gelombang mulut ember hanya berpijak pada kepentingannya sendiri atau kelompok. Badai mulut ember itu tentu menepikan pula apa yang disebut kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam sebuah dialog atau komunikasi. Lalu, apakah yang mesti disikapi?
Tentu, siapapun manusia, mesti berdiri teguh dan dengan rendah hati menggapai kebenaran. Benarlah, “Dalam mencari kepastian, pikiran harus meragukan segala sesuatu. Orang mesti skeptis, curiga dan tidak percaya.” Tak ada cara lain kecuali bahwa seorang mesti ‘telanjangi diri sendiri dan rendah hati di hadapan sesuatu atau yang lain.’ Itulah arti terdalam dari kontemplasi.
Dunia terlalu ramai dan sumpek yang mendesak manusia hidup dalam ketergesa-gesaan. Kekacauan pikiran dan alam batin membuat manusia tak saling memandang satu dengan yang lain dan melihat sesuatu dengan tepat dan bijak. Kita terlalu mencintai ‘kumpul-kumpul dan keramaian penuh waspada’ sambil memborgol sikap bijak dan sikap penuh kasih.’
Dalam kesenyapan atau teater penuh riuh ‘bocor alus, bocoran dan mulut ember’ panggilan spiritual tetap menantang siapapun untuk saling memandang dalam Kasih. Benarlah bahwa, “Kita tidak dapat melihat orang lain dengan benar jika kita tidak memandang mereka dengan belaskasih.”
Bagaimanapun, sebenarnya apa yang disebut ‘bocor alus, bocoran dan mulut ember’ itu selalu saja mencobai kita: apakah kita hanyalah hidup terbatas sebagai insan politik yang ‘benarkan segala cara’ ataukah bahwa kita mesti melampauinya sebagai homo religiosus, insan beriman? Yang bertaqwa sungguh pada Yang mahakuasa, Yang mahapengasih dan Yang mahapenyayang? Yang melihat siapapun sesama dalam kasih dan kebenaran iman?
Kiranya tentang hal sederhana namun tak mudah ini tak perlulah kita bertanya pada rumput yang bergoyang…
Verbo Dei Amorem Spiranti
- Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma