Oleh Pater Kons Beo, SVD
Entah bagaimanakah caranya? Di saat-saat kini, sepertinya waktu mesti diperlambat lajunya. Walau itu pasti tak mungkin, toh setiap kita tampaknya dibikin terpaku. Jedah sejenak dalam waktu yang terus mengalir. Kita mesti pulang ke ‘yang sudah-sudah di silam itu.’ Dan itu berat memang…
Semua yang silam, itulah kepastian. Tak terbantahkan. Litania kisah dan peristiwa di silam itu bisa ditatap dalam sinar mata sendu kelabu. Penuh air mata penyesalan. Hilang dan gagal itu sudah jadi kepastian milik kita. Kita bisa saja ‘menghibur hati’ dalam sesal penuh ‘seandainya….dalam satu kuasi kepastian positif namun sungguh kosong. Tak nyata! “Wah, seandainya….., pasti aku tidak mungkin gagal.”
Bagaimana pun, kembali memeluk diri yang tak indah di dalam kisah penuh kepahitan mesti dilewati. Walau itu bukanlah sikap dan tindak semudah balikkan telapak tangan. Iya, tak segampang untuk menerima bahwa ‘hidup yang telah tertenun jadi lembaran kisah-kisah pahit dan suram mesti diterima dengan jiwa, besar dan lapang dada.
Si bijak terus bersuara. Lembut namun padat makna. “Hidup itu punya daya dan citranya sendiri. Punya irama dan dinamika nan unik. Kau ingin kuasai dan kendalikan hidup itu. Namun pada saat yang sama justru kehidupan itulah yang tahu pasti akan setiap rapuh, batasan, serta banyak ‘tak kuat dan tak hebat punyamu.’
Teruskah kita mesti bertahan di sini dan tetap seperti ini? Sementara itu waktu tentu selalu mengalir. Dan tetap mengarus! Tanpamu atau pun bersamamu.
Kita memang mesti kembali mengarungi samudra kehidupan bersama waktu. Api ‘move on’ sudah membara. Hangatkan jiwa. Tiupkan semangat baru. Apa-apa yang pahit dan penuh keluh di dada pasti punya sisi blessing in disguise-nya. ‘Yang berair mata kini bakal berdendang dalam sorak dan tarian.’
Namun, semudah itukah untuk mesti bergerak maju? ‘Move on’ tampaknya punya tuntutan pasti. Hanyalah ‘sebuah kerelaan dan keberanian untuk melepas. Iya, tinggalkan yang sudah-sudah.’ Ikhlas! Penuh kebesaran hati. Tetapi, semudah itukah?
Si bijak bertanya penuh tantang, “Kau tahu bahwa itu bakal sia-sia, gagal, tak berarti, buruk dan bahkan amat berisiko, toh kenapakah kau tak jerah-jerah juga? Tak segera kau lepas dan tinggalkan?” Terlekat pada ‘yang lama’ bakal menutup segala peluang dan berbagai kemungkinan baru. Yang membebaskan dan mencerahkan!
Inikah yang disebut ketakberdayaan? Ataukah tetap dibutuhkan lagi rahmat yang terus mengalir demi sebuah keberanian hati dan keberserahan diri? Ada paparan hidup yang semestinya, yang diidealkan, yang dicita-citakan, tetapi…?
Betapa terseok dan tertati-tatinya irama hidup di jalan kenyataan. Si bijak terus menantang, “Kau idealkan hidup damai, rukun dan tenang di hati. Namun kenapakah tak kau lepaskan segera dan singkirkan sudah segala dendam, amarah dan rasa benci?”
Dan lagi, “Bukannya kau tak tahu telah berjalan dalam suram. Dituntun oleh peta hidup buta tak jelas arah, namun kenapakah kau tak segera menggantikannya dengan kompas hidup nan pasti? Yang kau kejar dan raih adalah yang bukan ciptakan kepuasan dan kebahagiaan rohani sewajarnya, tetapi yang justru cemarkan mata air spiritual. Namun, kenapakah kau tak mau lepaskan dan tinggalkan semuanya?”
Sebuah ajakan menyentuh kembali kita sunting seputar relasi dan kekariban yang semestinya dirawat, “Ada yang mesti kupikir lagi. Melepas dendam dan sakit hati. Dan berjuang membendung benci. Tuhan, jagalah tanganku” (Ada yang tak mampu kulupa – Ebiet G Ade). Hanya dengan cara itulah tetaplah segar berseri sebuah jalinan keakraban. Mungkinkah lahir sebuah alam damai hanya dalam diam menatap langit, sementara di bumi tangan tak diniatkan untuk berjabatan dan kembali untuk bergandengan bersama?
Tetapi, di hidup ini, di peziarahan kesementaraan ini, ‘Adakah yang tak mampu kulupa, kutinggalkan, kulepaskan. Yang tetap kugandeng dan yang tetap terikat pada pangkalan hati?’
Kelekatan pada yang palsu, yang bersifat bayang dan ilutif, yang tak bernilai, kosong dan fana serta penuh mimpi banyak bolongnya memang menuntut keberanian dan kekuatan hati untuk melepaskannya.
Bagaimana pun di awal dan akhir tahun ini, setiap kita tentu tetap dibentur dalam tanya penuh serius: “Adakah yang tak mampu kita buang? Dan bakal terus kita bawa ke episode waktu berikutnya?”
Di sini, sebenarnya, kita sudah pada paham apa artinya berbenah diri. Untuk bercermin demi ‘lihat luka bernana di wajah kita.’ Dan dari situlah kita bertarung ‘memerangi diri sejadinya. Kembali mengasa harapan dalam peziarahan ini….’
Berziarah dalam pengharapan tentu juga dalam kekuatan dan citra diri sendiri yang positif. Tak sebatas kisah getir yang teralami, toh ada pula tumpukan nostalgia yang membekaskan sukacita. Kita diteguhkan dan diperkaya dalam hidup di setiap perjumpaan yang dialami. Kita tak pernah jalan sendiri dalam tapak-tapak ziarah pengharapan ini.
Di atas semuanya, kita adalah insan beriman. Yang menaruh pengharapan di dalam Tuhan. Hanyalah DIA di atas segalanya. “Mungkin aku kurang berdoa. Sebab doa itu berat. Sebab doa membawa pada kenyataan. Pada yang seharusnya! Dan menantang. Sebab aku lebih berminat dan berkiblat hanya pada apa yang aku pikirkan dan yang kukehendaki.” Jika memang terus demikian, betapa ziarah ini, iya “Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan…”
Bagaimana pun, “Teguhkan hati. Jadilah Peziarah Pengharapan..”
Mari pula kembali lagi menjaring makna di balik kata-kata ini:
“Pegang erat tanganku dan jangan lepaskan. Ikatkan benang Kasih Sayang…
Nampaknya mendung segera lewat matahari bersinar.
Semuanya telah dirancang untuk menyambut kita.
Tersenyumlah mari tersenyum.
Hari ini milik kita” (Ebiet G Ade, Nyanyian Cinta Satu Ketika).
Iya, hari ini milik kita. Tahun Yubileum 2025 ini dipersembahkan buat kita. Dan memang harus jadi milik kita…
Verbo Dei Amorem Spiranti.
Penulis, Rohaniwan Katolik, tinggal di Collegio San Pietro – Roma, di penghujung 2024