Tambang dan Pemekaran Wilayah

tony kleden2

Oleh Tony Kleden

Teringat pengalaman dua tahun silam, tepatnya Rabu, tanggal 16 Juli 2008. Di gedung DPRD NTT, duet Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Esthon Foenay, M.Si, dilantik menjadi Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013. Ramai sekali.

Lepas tengah hari,  tiga orang petinggi dan owner salah satu perusahaan tambang dengan skope internasional bertandang ke Kantor Redaksi Pos Kupang di Jalan Kenari, Kota Kupang. Sebelum tiga tamu itu masuk, dua orang aparat keamanan yang mengawal ketiganya, membuka pintu kaca kantor. “Ada tamu yang mau masuk,” kata salah seorang di antaranya kepada satpam. Setelah itu, dia mengawal ketiganya masuk.

Kecuali tamu dari kalangan pejabat (negara) penting, ini pengalaman pertama tamu biasa  (bukan pejabat negara) dikawal aparat keamanan bertandang ke Pos Kupang.  “Kami dari perusahaan… (sebut nama salah satu perusahaan). Apa yang bisa kami bantu untuk Pos Kupang? Mesin cetak? Atau?” kata salah seorang di antaranya.

Bantu Pos Kupang? Beli mesin cetak? Ternyata, tambang tidak lagi semata urusan eksplorasi dan eksploitasi. Tidak cuma mengeruk kandungan perut bumi bernilai tak terhingga. Tambang juga sudah bersentuhan dengan persuasi mempengaruhi warga, berkaitan dengan kiat meyakinkan elemen lain untuk mendukung pertambangan. Lebih jauh, harta karun itu juga telah melibatkan media sebagai salah satu domain sangat penting  menjustifikasi segala aktivitasnya. Dan karena itu, bandol media yang masih melihat tambang secara jernih dengan pendekatan jurnalisme fakta yang belum dikonstruksi oleh kepentingan tertentu, mesti digeser.

Kita akui NTT kaya mineral pertambangan.  Dari foto satelit, kandungan bumi NTT bak surga bagi para investor. Daratan Flores dari ujung barat hingga ujung timur, menyeberang hingga ke Lembata dan Alor, kaya berbagai barang tambang. Di daratan Timor, dari ujung ke ujung, kandungan mineralnya juga limpah. Mangan belakangan menjadi primadona yang paling diburu.  Warga tinggal memungutnya di kebun dan pekarangan rumah. Kerusakan lingkungan di daratan Timor, karena itu, sejauh ini belum terlalu nyata terlihat. Tetapi pasti jika tidak dikendalikan dan diatur,  pertambangan mangan di daratan Timor akan mengikis pelan-pelan dinding-dinding bukit dan gunung di Timor.

Kondisi ini sangat berbeda dengan di Flores. Rata-rata barang mineral di  Flores ada jauh di bawah perut bumi, dan karena itu mesti digali. Sejalan dengan hakikatnya yang ekstraktif, urusan tambang menambang di Flores, karena itu, adalah aktivitas menebang pohon, membabat hutan, mengeruk perut bumi dengan alat-alat berat, mencari lahan barang mineral. Masuk akal, mengapa resistensi terhadap tambang menjadi begitu kuat di daratan Flores. Begitu banyak elemen warga menolak tambang di Flores.

Mengapa mesti ditolak? Ada pertanyaan yang sangat menggugat. Kalau tidak digali dan diambil, lantas untuk apa barang berharga itu? Dibiarkan tersimpan di perut bumi? Mengapa tidak diambil dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat?

Ini beberapa pertanyaan yang telah menjadi argumen baku para petambang dan perusahaan pertambangan. ‘Untuk kesejahteraan’ masyarakat telah menjadi  terminologi bertuah yang sangat kuat mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat kita akan pentingnya tambang menambang. Terminologi ini jugalah yang dipompa masuk ke otak para penguasa dan pengambil kebijakan.

Sudah pasti perusahaan-perusahaan tambang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari aktivitas tambang. Di mana-mana, untuk kesejahteraan masyarakat itu dinyatakan juga dengan janji-janji dari surga yang muluk-muluk. Membangun sekolah, membangun tempat ibadah, membuka jalan raya adalah ‘mimpi akan’ nan indah dan memabukkan. Masyarakat kita yang sederhana dan polos  gampang dan sering menjadi korban  janji dan mimpi seperti ini.

Sekarang dengan bantuan advokasi sejumlah pihak, masyarakat kita makin melek dan pintar membaca ‘tanda-tanda zaman’. Mereka mulai insaf bahwa untuk kesejahteraan masyarakat bukan kata bertuah, melainkan kata berbisa yang sangat mematikan. Kita jadi mengerti, mengapa demo antitambang menjadi begitu kolosal di daratan Flores dan Lembata. Penolakan itu adalah reaksi terhadap aksi perusahaan tambang di lapangan. Di Lembata, reaksi masyarakat itu membuat PT Merukh Enterprises dan Bupati Lembata meneken nota penolakan tambang di Lembata, Maret tahun lalu. Tamatkah PT Merukh di Lembata? Selesaikah niat menambang di daerah ini? Tunggu dulu!

Menurut analisis George Junus Aditjondro, ada korelasi positif antara pemekaran wilayah (propinsi, kabupaten) dengan pertambangan. Aditjondro melihat bahwa pemekaran kabupaten dan propinsi di banyak tempat dibiayai oleh pebisnis yang sudah atau ingin bergerak di bidang pertambangan. Para pebisnis ini berkeinginan sangat kuat untuk menambang di daerah potensial yang umumnya terdapat di Indonesia timur. Mereka membonceng hasrat ingin berdiri sendiri sejumlah wilayah dengan meminjamkan miliaran rupiah untuk pengesahan kabupaten/propinsi baru. Ajang pilkada akan menjadi bandar, tempat para calon bupati dan investor bertemu dan bernegosiasi.

Dalam tulisannya di buku “Pertambangan di Flores-Lembata, Berkat atau Kutuk?” (Alex Jebadu et al. (eds), Penerbit Ledalero, 2009), Aditjondro menyebut contoh pemekaran Papua menjadi tiga propinsi (Papua, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Barat). Sebetulnya di balik pemekaran Papua ini tersembunyi kepentingan Ingold, Freeport McMoRan  dan BP. Alhasil, Gubernur Papua menjadi pengaman kepentingan Ingold di Pegunungan Bintang dan Freeport di kaki Puncak Jaya, sementera Gubernur Papua Barat menjadi pengaman kepentingan BP di Kepala Burung dan BHP Billiton, partner Aneka Tambang dalam tambang nikel di Pulau Gag.

Entahkah, pemekaran Manggarai berkorelasi positif juga dengan pertambangan di beberapa tempat di Tanah Manggarai? Atau, apakah ada investor yang ikut ‘bermain’ dalam Pilkada Lembata tiga tahun lalu? Apakah ada Sinterklas yang bermurah hati membiayai pembentukan Kabupaten Adonara, Kabupaten Malaka, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya? Siapa tahu, ada investor yang nekad membiayai Riung menjadi kabupaten sendiri asalkan biji besi di kawasan pegunungan Riung dikeruk?

Lepas dari analisis dan dugaan Aditjondro, suara penolakan terhadap tambang telah menjadi begitu bergema di NTT. Kerusakan lingkungan menjadi alasan paling umum menolak tambang.

Cuma sebatas itu? Tidak! Tambang ditolak tidak cuma karena alasan ekologis. Menurut Dr. Paul Budi Kleden, ada alasan teologis juga mengapa tambang mesti ditolak. Tanggapan teologis terhadap setiap rencana penambangan, menurut Budi Kleden dalam buku yang sama, mesti memperhatikan tiga aspek ini: ekoteologi, teologi kesejahteraan dan teologi keterlibatan.

Dengan ekoteologi dimaksudkan sebagai refleksi atas relasi antarunsur dalam ekosistem dari perspektif iman. Dalam kaitan dengan penambangan, ekoteologi ingin mengoreksi pandangan yang lama dianut dalam teologi, yang sekarang terbukti salah karena lebih banyak merusak dan menghancurkan. Terpengaruh pandangan lama itu, orang terperangkap dalam sesat pikir bahwa manusia itu adalah puncak dan tujuan proses penciptaan. Pandangan sesat ini cuma menunjukkan arogansi manusia terhadap ciptaan lain.

Tetapi perhatian yang semakin penting terhadap seluruh ciptaan tidak lantas menekankan konsep teologi ciptaan yang kosmosentris (berpusat pada alam). Alam tidak boleh dilihat sebagai puncak dan tujuan final dari ciptaan.  Yang menjadi awal dan puncak adalah Allah sendiri, bukan alam. Karena itu, kita mesti beralih dari antroposentrisme kepada teosentrisme. Konsep penciptaan yang teosentris mengandung konsekuensi bahwa seluruh ciptaan adalah jejak kaki Allah (vestigia Dei) dan sakramen keselamatan.  Jejak kaki Allah itu mesti dijaga, bukan dirusakkan. Dalam tatanan ciptaan, manusia diciptakan pada hari ke-6, setelah semua yang lain diciptakan. Ini menggarisbawahi keyakinan biblis bahwa manusia itu ‘pendatang baru’ dalam konstelasi penciptaan. ‘Pendatang baru’ mesti rasa-rasa diri.

Sedangkan teologi kesejahteraan, menurut Budi Kleden, hendak membalikkan paradigma berpikir bahwa yang berhak mengatur kesejahteraan bersama bukan hanya para penguasa politik. Setiap orang, warga negara, dan umat beragama, berhak dan berkewajiban untuk mengupayakan kehidupan yang baik di dunia ini.  Kesejahteraan bukan hanya masalah dan urusan pemerintah. Begitu juga tambang, bukan sekadar masalah tanah yang dapat diselesaikan hanya dengan para tuan tanah.

Atas dasar ekoteologi dan teologi kesejahteraan itulah, banyak elemen kemudian bersatu hati melibatkan diri melawan pertambangan. Yang menarik ialah perlawanan itu, terutama di daratan Flores-Lembata, lebih banyak dimotori institusi dan organ Gereja. Nada minor kemudian terdengar. Mengapa Gereja mesti terlibat untuk urusan yang bukan wilayahnya? Mengapa para rohaniwan harus keluar biara ikut berteriak menentang tambang? Bukankah wilayah kerja mereka adalah sekitar altar?

Institusi Gereja mesti terlibat. Dalam situasi dan kondisi sosial yang pincang, Gereja tidak boleh netral. Menghadapi penguasa yang semena-mena, misalnya, Gereja tidak bisa netral. Gereja mesti mengambil sikap. Kalau Gereja tidak mengambil sikap, kalau Gereja cuma bisa berdiam diri dan ingin netral, niscaya dia mendukung status quo. Di tengah era yang makin beku akibat para penguasa mati rasa berbuat baik, Gereja tidak bisa duduk manis dan menyaksikan semua itu dari balik rumah kencananya.

Makin hari makin terasa praktek penyelenggaraan pemerintahan yang melempem. Negara juga sudah cenderung menjadi masalah tersendiri bagi rakyat. Santo Agustinus dalam  De Civitate Dei mengatakan, “Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia”  (Negara yang tidak menyelenggarakan  pemerintahannya secara adil, tidak lebih dari sekawanan perampok bagi rakyatnya). Ketika masyarakat tidak berani menghadapi perampok, berdosalah parapihak yang punya kekuatan tetapi cuma bisa diam. Dom Helder Camara bilang, “Persoalan-persoalan (kecil-besar) yang tengah mengelilingi kita terjadi bukan karena meningkatnya kejahatan, tapi karena diamnya orang-orang baik.”

Kalau tanah  Flores, Timor dan Sumba perlahan-lahan tergerus ‘kuku-kuku’ alat berat, kalau air di sungai dan danau makin keruh, kalau cuaca makin panas, apakah kita semua hanya bisa diam dan menyaksikan kerusakan itu? Jangan cuma bisa diam kalau mengaku diri orang baik! *

  • Penulis, wartawan, tinggal di Kupang. Tulisan ini sudah diterbitkan  Harian Umum Pos Kupang, 5 Februari 2010

Pos terkait