“Salamku untuk Bapak Uskupku, Mgr. Sensi”

Kons Beo8

 Oleh : Pater Kons Beo, SVD

Di pentakhtaan Sakramen Mahakudus sore ini di komunitas, Minggu 19 November 2023, rasa hati penuh haru tak sanggup disembunyikan. “Il tuo popolo in camino cerca in Te la guida; sulla strada verso il Regno, sei sostegno col tuo corpo; resta sempre con noi, O Signore…” UmatMu yang mencari di dalam DiriMu tuntunan; dalam perjalanan menuju Kerajaan; Engkau menuntun semuanya dengan TubuhMu; tinggallah bersama kami selalu, ya Tuhan.”

Bacaan Lainnya

Kira-kira seperti itulah isi lagu pembukaan Pentakhtaan Mahakudus.

Entahlah? Mengapa sepertinya saya larut dalam cengeng melankolistik dengan suara para romo dari manca negara itu? Ataukah karena iringan organ yang syahdu di kapela? Yang jelas campur baur rasa sungguh mendera hati. Berita kepergian Mgr. Sensi, beberapa jam sebelumnya, terlalu kuat menguasai rasa.

Cerita, berita, info tentang tanggungan derita fisik sudah jamak terdengar. Bapak Uskup semakin rapuh dari waktu ke waktu. Bagaimana pun umat sekeuskupan tetap menanti penuh harapan akan kepulihan sang gembala terkasih.

uskup agung ende
Mgr. Vincentius Sensi Potokota

Mungkin karena itulah, saya tak sanggup untuk nyanyikan lagu pembuka pentakhtaan Sakramen Mahakudus itu. Sebab harus  berair mata mengalir dalam diam. Iya, hanya dalam diam! Hanya satu imajinasi ringan namun menusuk. Merasuk di kepala, menekan di dada. Tampaknya seperti umat se-Keuskupan Agung Endelah yang tengah berseru dalam lagu agung  itu. “Umat Allah Keuskupan Agung Ende yang tetap berziarah menuju Kerajaan; yang tetap mencari, berlindung serta berharap pada sosok tubuh yang semakin lemah dan rapuh itu.” Kapankah Bapak Uskup kembali bugar untuk menatap lagi Ende, Nagekeo dan Ngada dalam mata hati penuh kebapaan sebagai seorang gembala?

Namun, sosok jiwa dan raga sang gembala yang dikasihi ini mesti beralih ke kepastian dunia abadi. Walau penuh menyayat kita meratapinya, “Resta sempre con noi Bapak Uskup!” Iya, tinggallah selalu bersama kami Bapak Uskup! Namun, semuanya mesti terhenti sejak hari Minggu di Pekan Biasa XXXIII ini, sepekan sebelum Gereja merayakan “Hari Minggu: Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Semesta Alam.” Sosok yang gagah, dan yang sejuk penuh senyum itu benar-benar telah pergi.

Di nyaris satu jam pentakhtaan sakramen itu saya benar-benar larut dalam ‘ingatan masa lalu.’ Saat seorang diakon muda Vincent Sensi di tahun 1980, di halaman Kathedral Ende, ditahbiskan jadi imam oleh Mgr. Donatus Djagom, SVD. Sepertinya ada dorongan kuat juga untuk segera test masuk Seminari Mataloko. Saya yakin itu juga yang dirasakan teman-teman seangkatan dari SDK Ende II yang kemudian dinyatakan lulus test ke Mataloko, seperti Stan Doy, Hedi Galus, Robert Fen, Harto Kerans, dan Stef Lebuan.

Merasa bahwa Romo Sensi masih beralamat dalam wilayah se-Paroki Katedral Ende sudah menjadi tanda kebanggaan dan kegembiraan bagi kami ‘ana-ana keci loò’ yang mau masuk ke Seminari Mataloko. Saya memang bukan anak binaan Mgr. Sensi. Jarang pula untuk berinteraksi dengan Bapak Uskup. Satu dua perjumpaan dalam perayaan ekaristi di Ende terasa lumayanlah. Setidaknya, sosok yang dikagumi ini tetap bertanya tentang keadaan, “Wah, bagaimana orang Ruteng ini?

Di Juli 2021 lalu, saat ke Ndona, syukurlah sempat bersua Bapak Uskup. Banyak cerita dan tanya tentang ‘anak-anak asrama, romo-romo mancanegara di Collegio San Pietro.’

“Bapak Uskup, terimakasih untuk kata-kata yang meneguhkan, menghibur dan memberi harapan serta membesarkan hati.” Tetapi di saat itulah selintas pintas tertangkap dalam kesan kuat bahwa kondisi fisik Bapak Uskup tampak  menurun.

Di hari kematiannya ini, pengandaian liar mulai menjalar tak karuan. “Wah seandainya Bapak Uskup Sensi tetaplah bertahan di Maumere.” Cinta pertama sebagai uskup pertama Maumere mungkin saja terlalu kuat. Tak gampang rasanya untuk menuju Ndona sambil harus memperhatikan Ende, Nagekeo dan Ngada, dengan hati yang mungkin masih saja terngiang suara, “Jangan lupa Maumere Manise…”

Tapi saya mesti buang jauh-jauh pengandaian dengan ’seandainya atau sekiranya yang tipis-tipis bahkan tampak dipaksakan itu.’ Yang pasti, “Salam dan hormatku untuk Bapak Uskup-ku, Mgr. Sensi. Untuk motto episcopat yang berdaya pikat: Praedica Verbum opportune Importune” (Wartakan Firman, baik atau tidak baik waktunya, 2Tim 4:2).

Motto dari kata-kata Rasul Paulus kepada Timotius, dalam surat yang kedua itu, biarlah kuimajinasikan saja sebagai ‘suara Bapak Uskup Sensi untukku, untuk para imam, untuk semua Umat Allah. Biarlah semuanya menjadi sahabat-sahabat dan penyaksi Firman, sekalipun dalam situasi penuh kepelikan, penuh tekanan. Iya, dalam situasi yang berat dan bisa saja tak populis di mata dunia. Namun semuanya dalam kehendak dan penyelenggaraan Tuhan sendiri.

“Berbahagialah senantiasa Bapak Uskupku Mgr Sensi dalam Keabadian Surgawi.”  Amin.

Verbo Dei Amorem Spiranti

  • Rohaniwan Katolik, tinggal di Collegio San Pietro – Roma

Pos terkait