Pergi untuk Tak Kembali Lagi

Kons Beo5 1

Oleh P. Kons Beo, SVD

“Saya tidak ingin meninggalkan China dan orang-orang China yang kucintai. Saya merasa rahmat terbesar, bahwa saya boleh hidup dan mati di tengah-tengah mereka…..”  (St Josef Freinademetz, misionaris sulung Serikat Sabda Allah-SVD, 1852 – 1908)

Bacaan Lainnya

Siapa pun yang tahu kisah hidup St  Josef Freinademetz tentu akan terkagum pada kisah hidup misioner St Josef Freinademetz. Orang kudus ini, bersama rekannya Johanes Baptista Anzer, adalah dua misionaris perdana Serikat Sabda Allah (SVD). Berdua diutus oleh St Arnoldus Janssen ke China, setelah dapatkan Salib Misi pada 2 Maret 1879.

Kedua akhirnya tinggalkan Eropa dari Pelabuhan Ancona (Italia) untuk arungi samudra menuju China. Dua tahun di Hongkong serasa cukup untuk lanjutkan perjalanan menuju Shantung Selatan. Berada dalam budaya dan bersama orang-orang China, St Josef Freinademetz punya satu pedoman pribadi.

Ia yakin akan betapa akan pentingnya satu pedoman katekese dalam bahasa Mandarin. Iman menuntut pemahaman yang jelas dalam konteks budaya dan situasi masyarakat. Dan karena keyakinan itulah St. Josef Freinademetz mesti ‘sungguh masuk dalam situasi masyarakat (umat).

keluarga misionaris
Satu keluarga seorang misionaris di Kupang. Tetap teguh dalam pengharapan dan doa

Kisah demi kisah atau pengalaman demi pengalaman dengan segala warna sukacita, tantangan, kesukaran, serta sekian banyak kesulitan, akhirnya membawa St Josef Freinademetz satu pengalaman rohani pribadi. Katakan saja sebagai ‘pengalaman mistik inkarnatif’ ketika ia sungguh terlebur dalam segala nuansa China. Fu Shen Fu, nama chinese untuk Josef Freinademetz bisa menjadi satu sintesis dari keberakaran hidup misionernya demi Negeri China.

Tulisan kepada kerabatnya bisa menjadi ungkapan dari keyakinan itu, “Saya mencintai China dan China; saya ingin mati di sini dan dimakamkan bersama mereka…” Satu pesan misioner yang sungguh menyentuh dan tegas terungkap. Sekali China dan tetap China, dan bahkan di surga pun ia ingin tetap menjadi seperti orang China.

Dalam situasi teramat sulit, bahkan yang sungguh mengganggu kesehatan fisik, cinta akan China dengan segala nuansanya tak pernah menjadi suram. Mungkin kah ini menyiratkan pesan akan marwah seorang murid Tuhan untuk sungguh terlebur dalam situasi tempat perutusan?

Kisah klasik yang selalu terulang oleh para pencerita tentang St Josef Freinademetz adalah bahwa si orang suci ini sejak tinggalkan rumah kelahirannya dan negeri Eropa, ia tak pernah kembali lagi hingga ajal menjemputnya pada 28 Januari 1908.

Adakah ‘yang istimewa dari kenyataan tak pulang lagi?’ Untuk sekadar berbagi kisah langsung tentang tanah Misi di China kepada kaum keluarganya di Tyrol selatan, Kampung Oies sana? Atau pun kembali  ke Steyl-Belanda untuk sekedar sambung rasa misioner bersama saudara-saudara SVD di Rumah Induk kala itu?

Di titik ini saya selalu teringat kata-kata telak seorang konfrater Bruder SVD di Ruteng. Gaya bicaranya biasanya ‘tembak lurus-lurus’ apa adanya, “Eja, kau tu misionaris model apa? Mama hanya pilek sedikit saja di Ende, kau nekad pulang. Dan pulang terus-terus.” Ini memang menantang.

Ada benarnya juga sahabat bruder itu. Di zaman yang serba canggih dalam teknologi komunikasi ini ada kemungkinan besar ‘pulang terus-terus ke rumah’ telah jadi tantangan kelekatan tersendiri. Semuanya serba lancar dan murah meriah. Dan bola bumi kini memang sudah selebar daun kelor.

Satu ziarah misioner demi ‘terpanggil untuk tekun membajak di ladang perutusan sungguh teruji. Sebab terus menoleh ke belakang telah jadi satu bayangan suram dalam cahaya perutusan itu’ (cf Lukas 9:62).

Dan lagi, entahlah, bagaimana sesungguhnya suasana hati sanak keluarga saat mendengar putra atau putri kekasihnya segera bertolak ke tempat jauh? Ada yang menggelitik pula. Sang putra atau si putri misionaris belumlah berangkat ke tempat tujuan, sanak saudara ternyata sudah pada merekam duluan: betapa gawat dan rawannya situasi di tempat itu dan di sana.

Ajakan tetap mendoakan para misionaris masih tetap ditempel ketat dengan bayangan kekuatiran. Yang diutus sudah pada siap berangkat, namun sanak saudara sudah pada tanya, “Nanti kapan pulang liburnya?” Iya, sudahlah. Inilah sisi yang sangat manusiawi di hati yang terdalam. Tidak kah hal itu pun dialami oleh sanak keluarga Josef Freinademetz dan Johanes Anzer saat keduanya diutus pergi ke China?

Citra misioner, sejatinya, tidak hanya bertumpuh pada keterbukaan hati seorang misionaris untuk siap diutus “ke mana saja pembesar mengutusnya.” Tidak pula semata-mata karena dorongan para sama saudara misionaris setarekat. Yang bersatu dalam hidup persaudaraan dan dalam semangat misioner yang satu dan sama. Tak hanya itu, tentunya.

Citra misioner itu pun tentu mesti tertanam dalam hati sanak saudara dan kaum keluarga sekalian. Dalam penyertaan tiada berhingga di dalam doa. Dan tentu terutama dalam sikap batin penuh penyerahan. Yang rela memberi kepada Tuhan. Demi Umat Allah yang kudus, dalam spirit “hanya memberi. Tak harap kembali…”

Kiranya, pada mengenangkan St Josef Freinademetz, spirit misioner itu semakin berakar pula dalam keluarga-keluarga kristiani. Dalam menumbuhkan semangat misioner. Siapa pun yang terutus, itulah bagian inti dari ‘keluarga dan dari segenap persaudaraan misioner yang terutus pula.

Verbo Dei Amorem Spiranti

St Josef Freinademetz, doakanlah kami.

 

  • Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait