Oleh Pater Kons Beo, SVD
Niatan luhur Pemda Ende itu pelan-pelan jadi viral. Setidaknya sudah tertangkap dari medsos. Koran Timor.com, per 1 Februari 2023, misalnya, sudah postingkan niatan luhur itu. Judul beritanya, “Tolak Tawaran Biaya Pemda untuk Ziarah Tanah Suci (Catatan di Balik Program Dadakan Bupati Ende Biayai Pastor).
Selintas kilas terendus tampaknya ada sesuatu yang belum atau tidak beres di balik niat luhur itu. Tapi, seperti biasa, mari kita janganlah cepat berburuk sangka. Untuk pikir yang bukan-bukan. Ini sungguh niatan tulus Pemda Ende.
Ini semua agar kaum berjubah dan berbaju kolar itu bisa ‘lebih religius atau rohaniah’ dengan berziarah ke tanah suci. Dan terutama, agar sekembalinya dari tanah suci, mereka akan lebih membawa berkat Allah bagi jemaat yang dilayani.
Bagaimana pun para pastor dan pendeta adalah warga Kabupaten Ende. Pun serentak pula adalah tokoh publik. Yang bisa dipandang sebagai penjamin terawatnya keamanan spiritual umat. Selebihnya, dengan berziarah ke tanah suci, gerak dan citra pastoral nantinya akan jadi lebih ampuh. Dan jemaat pun semakin yakin akan kebenaran Injil, yang tak hanya ditemukan dari Alkitab. Tetapi bahwa sang gembala sendiri ‘benar-benar sudah pulang dari Tanah Suci.’
Di titik ini, jalur ke Tanah Suci terasa ‘biasa-biasa.’ Tak ada yang luar biasa. Pemda Ende punya atensi tulus. Mengapakah tak ditanggapi ceriah penuh entusiasme? Selagi ada tawaran yang model begini, haram kah jika harus ber-carpe diem? Ini peluang yang bagus.
Ini juga bisa dibaca sebagai adanya gairah kerja sama antara Pemda dan pihak Gereja. Bahwa Pemda Ende sanggup merangkul dan punya, itu tadi, niatan luhur bagi (semua) tokoh-tokoh agama. Justru haramlah jika berseliweranlah opini dan tafsiran yang melulu negatif.
Namun, jalan ke Tanah Suci ini semakin terasa menanjak. Dan cenderung berkelok-kelok pula. Ini semua jika dikaitkan dengan sekian banyak tanya dan praduga yang tercecer sana-sini. Katakan simpel saja. Ende menuju Israel, atau Fatima, atau Lourdes atau Roma adalah perjalanan ‘makan biaya.’ Dari mana bisa mengalir cantik dan indahnya aliran dana itu?
Entahkah ada Dana Alokasi Umum atau Khusus untuk realisasi niatan suci itu? Apakah nanti tidak ribet persoalannya jika sekiranya nanti masuk dalam ‘birokrasi finansial yang pastinya ketat?’ Ende tentu bukanlah ‘kerajaan otonom, yang sungguh berdikari dalam keuangan.
Dalam payung pengawasan keuangan yang ketat, pasti semuanya sudah punya nomenklatur tersendiri dan pasti. Terasa janggal bila Bapak Pendeta dan Bapak Pastor mesti difasilitasi untuk dapat tikungi apa yang menjadi hak dan kewajiban Kepala Dinas demi perjalanan dinas, misalnya.
Jika benar ini program dadakan Bupati Ende, maka anggaran pun tentu dipaksa jadi mendadak pula. Yakinlah, ini tak segampang yang dibayangkan. Sudahkah ini semuanya diproses dan dicermati di DPRD Ende? Ini penting agar DPRD Ende tidak kecolongan lagi dalam satu proses penting seperti yang telah terjadi di kala ‘memilih Wakil Bupati-nya.’
Andai niat luhur ini sedari awal mula memang tidak berjalan pada prosesnya yang wajar dan seharusnya, sepantasnya biarlah ia tinggal sebagai ‘niat luhur tanpa realisasi.’ Ini penting agar ziarah ke tanah suci tidak terjebak dalam perangkap perjalanan ada kadabra bim salabim. Yang bisa saja diduga punya ad intentionem dantis dengan agenda cantik, atraktif namun terselubung pula.
Tanah Air lagi jelang tahun politik 2024. Masih butuh biaya yang tak main-main. Ini belum lagi dengan segala macam infrastruktur yang lagi dalam tahap penyelesaiannya. Apalagi bila harus bicara tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) yang pasti menyerap anggaran setinggi gunung. Tidak kah Ibu Menteri Sri Mulyani, KPK, Kejaksaaan dan seterusnya, akan reaktif sengit pada masalah finansial sekecil apapun?
Mungkin ini agaknya exagerated, terlalu mengandai yang berlebih-lebihan. Namun, jika memang ‘ada anggaran untuk bertamasyah rohani’ mungkin kah anggaran itu bisa ‘dibelokkan saja’ pada entitas yang publicum sifatnya? Yang lebih bersentuhan pada perkembangan dam ketahanan iman umat atau jemaat secara kolektif?
Bagaimana pun, namanya saja Tawaran Biaya Pemda untuk Ziarah Tanah Suci… Yang jadi kunci jawabannya adalah ‘Terimakah Gereja atas tawaran ini’? Jawaban Ya atau Tidak tentu mesti terlahir dari satu kajian, atau katakanlah proses pemindaian (discernment) yang cermat. Tentu terutama di bawah tuntunan Roh.
Andaikan memang ‘jadi pergi ke tanah suci’ maka setidaknya umat atau jemaat, kepada para gembalanya, tak boleh berpasrah dalam dendang, “Pergilah kasih kejarlah keinginanmu. Selagi masih ada waktu. Jangan hiraukan diriku…..” Tentu para pastor dan pendeta tak akan pergi ke tanah suci dengan tinggalkan begitu saja suasana dan cita rasa sesak di dada jemaatnya.
Andaikan memang ‘jadi pergi ke tanah suci,’ puisi dan tembang Berita Kepada Kawan pasti akan sungguh menantang, “Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan…” Dan, akhirnya, di muara pulangnya, bakal tak ‘banyak cerita yang mestinya disampaikan dari tanah suci penuh bebatuan.’
Iya, ini hanyalah sebuah isyarat sekadarnya!
Verbo Dei Amorem Spiranti
- Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma