Oleh : Pater Kons Beo, SVD
“Kukira aku tengah beralih. Nyatanya aku tak bergerak selangkah pun. Sebab aku hanya terperangkap dalam banyak dalihku sendiri” (Sang Bijak)
Paskah itu punya makna nan dalam. Entah dalam artian alkitabiah, pun dalam kajian teologis, Pesakh – Passover berarti PERALIHAN. Sederhananya, Paskah artinya ‘tidak lagi di tempat ini, di alam dan suasana ini, pada keadaan ini. TETAPI sudah beralih ke alam baru. Yang berubah.
Umat Israel ber- pesakh ketika dalam kuasa Yahweh, mereka tinggalkan Mesir. Berkelana di padang gurun. Menyeberangi Laut Merah. Demi menggapai Tanah Terjanji. Alam lama ditinggalkan. Firaun dengan segala aura sangar penuh penindasan ditinggalkan. Israel mesti menuju alam hidup baru. Itulah yang rencana Yahwe melalui Musa dan Harun.
PASKAH dalam Kristus berarti kisah redemptic umat manusia di dalam penderitaan, wafat dan kebangkitan Kristus Tuhan. Paskah tak hanya berarti peringatan Cahaya Mulia Kristus Bangkit yang halaukan apa pun kepekatan kegelapan. Atau bahwa Kristus ‘beralih dari segala alam kurungan makam menuju alam pembebasan dan kemenangan. Tak hanya itu!
Paskah adalah hari kemenangan Kristus sekaligus pembebasan manusia dari perbudakan dosa serta dari perhambaan alam hidup lama. Manusia tak berpijak lagi pada alam kematian. Tak tertahan lagi dalam suasana pemakaman. Tetapi bersama Kristus yang bangkit, manusia berjizrah pada alam baru. Itulah alam kehidupan. Suasana penuh harapan baru.
Saat kisah Paskah ditangkap sederhana dari peristiwa ‘batu pintu makam yang terguling’ maka di situ dapat direnung pula sebagai awal kisah peralihan itu.
Apa yang dikatakan malaekat sungguh bermakna, “DIA tidak ada di sini. Sebab DIA telah bangkit” (Luk 24:6). Maka, antitesis dari Paskah – Pesakh – Passover sesungguhnya adalah ketika manusia tetap berkanjang dan bertahan pada aura makam dan alam kematian itu.
Maka Paskah menuntun manusia untuk beralih dan kembali pada nilai kehidupan! Kepada manusia yang ditebus, yang diselamatkan dan manusia yang dimenangkan dalam derita – kematian dan kebangkitan Yesus.
Ketika “idul fitri” berarti kembali (id) dan suci, bersih (fitri), di situlah makna peralihan bergema kuat. Puasa Ramadhan adalah momentum koyakan hati. Di situ ada gaung kerinduan untuk kembali, untuk pulang, untuk beralih ke alam suci.
Dan kembali alam suci itu dimaknai sebagai ‘beralih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan dan keburukan.’
Manusia imani nan idulfitria telah jengah dan jenuh dalam alam lama, yang terkubur dalam dosa, kesalahan, serta berbagai keburukan.
Dosa dan kesalahan telah lebarkan jarak, bahkan telah putuskan tali relasi karib manusia dengan sesama dan dengan Sang Khalik.
Jadinya, manusia terjebak dalam irama, dinamika dan alam di dalam ‘batu kuburnya sendiri. Gelap, seram dan menakutkan. Bersuasana kematian.
Terapi Paskah dan Idul Fitri adalah dentangan lonceng peralihan dan kemenangan gema beduk kembali suci.
Manusia beriman kembali mencari Tuhannya. Tuhan yang dikhianati oleh pikiran dan kehendaknya sendiri yang tandus dan gerasang. Kini Tuhan mesti disapa kembali sebagai Allah akbar yang sesungguhnya.
Kemenangan Paskah dan kejayaan Idul Fitri terlihat nyata saat sesama kembali dipeluk dalam kekariban sama dan sederajat di dalam citra kemanusiaan.
Terang Paskah dan Cahaya Idul Fitri menghalau gelapnya kebencian, persekusi, kekerasan, serta berbagai cara pandang dan sikap intoleran.
Gema Idul Fitri dan Paskah adalah kedaulatan iman yang nyata dalam hidup rukun dan damai. Dalam semangat persaudaraan. Sebangsa dan setanah air.
Tak ada lagi alam ‘tirani Firaun.’ Sudah tersingkir segala geliat pro makam. Iya, pro kematian. Sebab kita semua, siapa pun kita, ingin beralih ke alam hidup baru. Untuk kembali suci dalam rahmat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Villa Sandra – Portuense, ROMA