Pariwisata Labuan Bajo: Antara Cantik Alami dan Cantik Polesan yang Mencemaskan

Kons Beo5 1

Oleh P. Kons Beo, SVD

“Roda zaman menggilas kita terseret tertatih-tatih. Sungguh hidup terus diburu berpacu dengan waktu. Tak ada yang dapat menolong selain yang di sana….” (Ebiet G Ade, dalam Puisi-Lagu Menjaring Matahari).

Bacaan Lainnya

 

Yang disinyalir oleh Romo Silvianus Mongko, imam Keuskupan Ruteng,  sungguh mendebarkan. Ini bukan rasa decak kagum atas gelora kiat perkembangan pariwisata di Labuan Bajo, NTT. Uraian tepat persoalan diangkat ke permukaan: “Penguasaan Lahan Skala Masif: Sisi Gelap Pembangunan Pariwisata di Labuan Bajo.”

Itulah simpul tegas dari Romo Sil dari uraiannya yang diberi judul demikian dalam floresa.com, 4 Februari 2023.

Siapa yang tak bangga akan betapa majunya perkembangan fisik Labuan Bajo dan sekitarnya? Sana-sini ditata, diperindah, difermak ini-itu. Semuanya demi lebih memompa aura admiratio pengunjung akan pesona Labuan Bajo dan sekitarnya.

Segala titik indah Labuan Bajo dirasa tak boleh tertutup dan tetap terasing. Semuanya harus dijangkau. Alam tidak boleh diizinkan untuk miliki ‘rahasianya sendiri.’ Sebab itu, alam harus ‘ditelanjangi’ dari segala yang tersembunyi.

Pembangunan, ditilik dari sisi pariwisata, sebenarnya adalah pula dinamika nudisasi kosmos-natura yang sebenarnya punya ‘sisi mistiknya tersendiri.’ Sebab, manusia tak tahan diri untuk membiarkan alam berjalan di dalam  ‘irama hidupnya sendiri.’ Manusia gatal tangan. Dan lalu tak mau membiarkan alam berpakaian ‘hutan, sungai, gunung, bukit, lembah dan ngarai yang dengan keasliannya.’

Kita terbiasa untuk ‘rusakkan hutan, bakar padang, atau hancurkan satu ekosistem kehidupan alamiah.’ Dan tentang pariwisata, sungguh telah ditafsir kasar dan sembrono diksi seperti ‘menjual alam pariwisata.’

Harga ‘jual aset pariwisata sekian murah yang berdampak amat mahal.’ Namun itulah risiko kecantikan alami-natural. Artinya?

Manusia terlalu penasaran yang tidak tertib akan alam yang indah. Sebab itulah, alam indah mesti dijangkau mudah dan dipinang secepatnya. Alam dikeroyok secara kasar, dan sungguh ditelanjangi bulat-bulat. Dan manusia lalu ingin menata alam itu kembali. Poles sana-poles sini. Semuanya dengan imajinasinya.

Dampak pembangunan dari animo pariwisata tentu bisa ditangkap nalar. Ada alasan yang cukup semisal telah dilewati urusan yang berpautan dengan amdal. Namun, ada sekian banyak hal tetek bengek hingga yang berskala luar biasa yang berdampak pada ‘rasa dan jiwa kemanusiaan.’ Artinya?

Keindahan alam dan manusia turun temurun yang mendiaminya mesti dibikin cerai yang menyedihkan. Yang sudah bersahabat turun-temurun dalam relasi familiar-natural mesti digeser. Dan ini bisa terjadi secara brutal masif. Dan tidakkah pada saatnya alam tunjukan kemarahan dan tidak bersahabatnya dengan manusia?

Pembelian lahan, kepemilikan dan penguasaannya, terjadi tumpang tindih penuh kesemerawutan. Hal inilah yang sebenarnya bisa disebut sebagai penyerobotan hak milik warga. Itu bila ditangkap dari apa yang diyakini, “…proses penguasaan dan pemilikan tanah lahan sering berujung masalah karena sarat mafia…”

Alam nan indah, animo miliki lahan, serta semata-mata demi kepentingan dan raup keuntungan bisnis, tentu luput dari uji nyali ‘banting harga.’ Dan tentu tak lupa adanya jurus mainkan pengaruh pada orang pusat dan orang daerah yang ‘kebetulan’ masih berkuasa.

Sungguh! Alam Labuan Bajo yang teduh, sunyi, asri serta penuh esotik masih dikelilingi oleh para pemburu yang sudah dan masih tetap mengintai kesempatan. Inilah kaum yang secara tepat membidik selera elit kaum berpunya yang lapar dan dahaga akan ‘kesunyian, keasrihan dan keindahan alam Labuan Bajo.’

“Labuan Bajo Tanah Airnya Orang Jakarta” tentu tidak ditangkap sebagai pelarangan dan klaim anti nuansa lokal (daerah). Itu tak mungkin. Bagaimana pun gemuruh hujan animo pariwisata dari Pusat sudah banyak kali hasilkan banjir dan genangan masalah sana-sini.

Data-data yang diperlihatkan oleh Romo Sil sepatutnya jadi kejutan. Yang mesti berdampak pada sikap mencari solusi sedapat dan secepatnya. Dalam keadaan masyarakat yang sungguh tak berdaya, kecil dan sederhana, betapa begitu gencarnya gerak mafia yang bikin tambah kusut tali temali soal.

Lalu? Kepada siapakah yang kecil dan sederhana ini bisa mengaduh? Bapa-Ibu yang duduk di tampuk kekuasan daerah (lokal) tentu tahu banyak akan soal-soal nan mencekam ini. Yang duduk sebagai wakil rakyat di kursi legislatif, pasti pula telah dengar banyak suara ratap dan keluh di dada dari kaum sederhana tak berdaya.

Sayangnya, jika posisi jabatan tentu sebatas di area ‘abu-abu.’ Mau berpihakkah pada masyarakat lokal?  Dan lalu bersuara tegas atas nama mereka? Atau kah mesti jaga aman posisi dari sorot tajam mata ‘kekuasaan superior-pusat’? Atau sejenis demi menjaga aman restu pusat berupa ‘kartu dukungan partai pengusung?’

Dalam sekian rapuh dan goyahnya kekuasaan lokal, teror mafia tentu menjadi tak terbendung. Lahan yang dikuasai secara masif atau sebidang tanah dengan variasi sertifikat telah jadi indikasi betapa mafia tanah sekian leluasa. Inilah kelompok yang jadikan luas area tanah tertentu sebagai arena pacuan harga.

Di pusat orang sudah pada bising. Jenuh dan bosan mendera. Orang jengah dengan panggung politik, bisnis, hiburan, hingga panggung agamis, yang bersifat sungguh teatrikal. Dan semuanya bisa ‘dibuat-buat’ dan tak alami.

Orang-orang berpunya itu, entah yang berharta dan yang berkuasa, bertarung sengan segala daya upaya untuk taklukkan dan kuasai ‘yang asli, alami, natural.’ Segala daya upaya akan digenjot demi harga suasana rileks, santai dan penuh ketenangan.

Labuan Bajo tentu bukanlah kota mungil yang bebas dari gempuran pembangunan dan segala perkembangan. Itulah kelumrahan dinamika kehidupan zaman. Tetapi alam, di dalam keheningan ‘mistik kosmiknya,’ tak ingin terpolusi oleh segala yang tak ramah alam itu sendiri!

Alam tak ingin  dilukai dan dicederai oleh karena mental manusia (lokal) yang lemah dan mudah diperdaya oleh kekuasaan dan segala iming-iming di baliknya. Alam tak ingin dikhianati oleh manusia (lokal) yang ‘ingin enaknya sendiri sesaat’ namun membiarkan alam menderita seterusnya.

Tetapi, alam juga tak inginkan bahwa manusia saling tindas, menghisap, memperdayai, menekan, menjebak, bikin teror, jatuh dalam tindak koruptif, hingga saling melumpuhkan, hanya karena diri alam itu yang indah, strategis, dan datangkan decak kagum.

Alam Labuan Bajo yang asrih dan mempesona itu sungguh tak ingin bahwa ‘yang gendut semakin gendut sementara yang kerempeng tetap tinggal tulang.’ Atau bahwa ‘yang berpundi-pundi sudah tebal, tetap saja berhati tamak untuk bikin lebih gemuk pundi-pundinya sambil mempermiskin lagi yang memang sudah miskin dan tiada berdaya.’

Segala yang terjadi di Labuan Bajo, yang terkonek dengan pariwisata, tentu ditata dengan niat tulus, demi bonum commune,  demi pertumbuhan ekononomi, serta lebih sejahteranya hidup masyarakat. Tetapi, itu tadi, yang sulit diduga namun sering terjadi adalah hati manusia yang mudah digulitakan kepentingannya sendiri. Lalu, terus dengan tegahnya ia mengakali dan memperdayai sesamanya.

Karena itulah ‘para tuan dan puan yang berkuasa dan yang berpunya, bertindaklah dengan kuat dan terutama dengan hati nurani. Dan jangan biarkan kami yang lemah ini “masuk ke dalam pencobaan. Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat dan nasib tak menentu.”

Apakah yang masih tersisa yang dapat dijaring oleh masyarakat lokal Labuan Bajo dan di sekitarnya, di roda zaman yang terus berputar? Syukurlah bila masih mungkin untuk dapat menjaring matahari kehidupan yang wajar dan semestinya.

Verbo Dei Amorem Spiranti

  • Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait