Oleh Steph Tupeng Witin
Nalar kritis penulis tergoda menelusuri postingan berita yang digembar-gemborkan beberapa media online. Inti berita-berita tersebut: Bupati Djafar Achmad berhasil membawa Ende menjadi kabupaten terkaya di Pulau Flores dan nomor urut ketiga di Provinsi NTT.
Siapa yang tanya? Portal berita www.nttsatu.com bahkan menggunakan kata “ciptakan” untuk menggambarkan Bupati Djafar sebagai pencipta Ende jadi kabupaten terkaya di Flores. Wartawannya mungkin sangat berlebihan dan lebih parah lagi tidak memahami makna denotatif dari kata “ciptakan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. KBBI (2008) melukiskan 3 makna dari kata “menciptakan” yaitu (1) menjadikan sesuatu yang baru tidak dengan bahan yang telah ada, (2) membuat atau mengadakan sesuatu dengan kekuatan batin (3) mengadakan sesuatu yang baru, yang belum pernah ada, luar biasa, lain dari yang lain (hlm 269).
Tiga makna denotatif dari kata “menciptakan” tersebut khususnya nomor 1 dan 3 tidak akan mungkin dilakukan oleh manusia di bumi. Menurut catatan Kitab Kejadian, kata “menciptakan” hanya cocok untuk Tuhan yang diyakini sebagai pencipta segala sesuatu di atas dunia ini. Hanya Tuhan yang menciptakan “sesuatu” dari kekosongan. Dia hanya bersabda maka segalanya tercipta. Manusia hanya berkreasi yaitu bekerja menghasilkan sesuatu yang “lain” berbasis pada bahan yang telah ada sebelumnya.
Inilah makna dari kreativitas. Wartawan portal berita www.nttsatu.com telah “berhasil” menghadirkan sosok Djafar Achmad sebagai “tuhan” (kita pake huruf kecil saja) baru bagi rakyat Ende. Ndoe!
Ende menjadi kabupaten terkaya di Flores berdasarkan angka-angka statistik. Kabupaten-kabupaten lain pun pernah menempati posisi ini hanya tidak pernah dberitakan, apalagi diumumkan kepada publik.
Rupanya bupati-bupati lain malu untuk umumkan ke publik karena realitas sesungguhnya “jauh panggang dari api” dengan angka-angka yang bisa dimanipulasi itu. Omong besar alias wora ke mana-mana sebagai kabupaten terkaya tapi rakyat hidup susah, makan minum berat, hasil bumi murah meriah di tangan tengkulak, makan paling banter di warung pinggir jalan murah meriah, jalan-jalan ke kampung sangat buruk, air bersih susah dan deretan realitas konkret lainnya.
Jangankan infrastruktur ke kampung-kampung, jalan dalam kota Ende saja penuh lobang, “berbukit-bukit” persis gelombang yang memukul perahu menuju Pulau Ende, kampung halaman Bupati Djafar Achmad yang juga menjadi lokasi pembunuhan sadis tanpa perikemanusiaan almarhum Ansel Wora. Kasusnya tidak sanggup ditangani aparat Polres Ende lalu dialihkan ke Polda yang kualitasnya level Polsek karena hanya mampu menghentikan proses hukum. Kita berharap dalam waktu dekat ini, kasus Ansel Wora dibuka kembali untuk menguji “adrenalin” politisi tangan berdarah yang sesungguhnya sedang ketakutan luar biasa.
Mutu Ende sebagai kabupaten terkaya bisa kita ukur dari semrawutnya Pasar Senggol dan Pasar Wolowona. Di kedua pasar rakyat ini, kita sulit membedakan kendaraan dan manusia. Keduanya saling berebutan area, kadang saling “sapah.”
Bupati Djafar sesekali mesti keluar dari ruang dingin agar bisa terbuka mata kesadaran untuk lebih peka membaca dan kritis melihat realitas hidup rakyat yang sangat susah. Beras mahal, daya beli masyarakat khususnya yang tinggal di kota sangat berat.
Beberapa waktu lalu warga “menyerbu” rumah Dolog dan kantor Bulog untuk memborong beras murah. Sementara dugaan kuat ada tangan-tangan tak tampak telah “mendonasikan” beras murah ke kios-kios tertentu. Pasti ada transaksi yang tidak transparan. Mana mungkin ada beras Bulog yang digantung begitu saja di kios-kios warga yang tertentu itu? Tapi siapa yang berani omong?
Dugaan adanya transaksi gelap yang dilakukan siang hari itu tidak akan pernah terdeteksi dalam angka BPS. Sementara orang-orang kecil yang mengais hidup di kampung-kampung tidak terlalu menerima imbas dari beban hidup warga kota karena ada kebun, ladang, ditanami ubi, pisang, sayur, padi, jagung dan tanaman palawija lain. Perjuangan hidup dan aliran keringat orang-orang ini tidak akan pernah masuk hitungan angka BPS.
Saya sangat tidak tertarik omong tentang angka BPS yang telah berhasil mengukuhkan Bupati Djafar sebagai “tuhan” bagi Kabupaten Ende. Andaikan elite kekuasaan memiliki sedikit nurani saja, pasti terbit rasa malu yang sangat besar karena angka-angka BPS tidak seluruhnya merepresentasi kualitas hidup rakyat Ende. Apalagi angka-angka itu hanya permainan di level menengah ke atas yang tidak lain merupakan kroni-kroni kekuasaan yang mencengkram kerah baju perekonomian lokal.
Rakyat butuh langkah praktis untuk menolong hidupnya yang sedang susah. Saat ini umat Islam sedang menyongsong Hari Raya Idul Fitri. Hentikan segala pencitraan semu dengan kalkulasi infantil sebagai penyelamat hidup rakyat Ende yang tidak lain merupakan kampanye terselubung minus kepekaan kemanusiaan.
Rakyat Ende tidak perlu status kabupaten terkaya tapi hidup elitenya kaya mudarat bikin rakyat menderita. Angka-angka di BPS itu tidak akan pernah mengenyangkan perut rakyat yang kalau dibiarkan akan bersatu membangun gerakan revolusi sosial manusia-manusia lapar.
Rakyat sedang susah tapi bupati dan elite politik-birokrasi terus menebar pesona pencitraan murahan dengan menyelenggarakan Musrenbang di atas Dharma Rucitra VIII beberapa waktu lalu. Apakah Bupati Djafar dan elite kekuasaan merasa bangga? Rupanya ini menjadi salah satu bukti paling lemah bahwa Ende adalah kabupaten terkaya. Kalau Ende kaya kasus dugaan korupsi, itu fakta tak terbantahkan. Semua kasus dugaan korupsi yang melibatkan elite politik dan birokrasi Ende tak satupun tuntas di tangan Polres Ende.
Kasus gratifikasi PDAM telah jadi lumut dan belakangan diberitakan telah ditutup. Tapi nama-nama yang terlibat tetap hidup bahkan terus mengembangkan sayap-sayap korupsinya: Herman Yosef Wadhi (Ketua DPRD), Fransiskus Taso (Wakil Ketua DPRD) dan anggota: Oktavianus Moa.Mesi, Jhon Pella, Orba K. Ima, Sabri Indra Dewa, Abdul Kadir Mosa Basa dan Dirut PDAM Tirta Kelimutu, Soedarsono.
Nama Erikos Emanuel Rede, Wakil Bupati Ende yang kala itu menjabat Wakil Ketua DPRD patut diduga kuat terlibat karena dia yang memimpin Sidang Paripurna Penetapan Perda tersebut.
Orang yang memimpin sidang sekelas sidang paripurna tanpa tahu substansi patut diduga sudah jadi arwah. Bupati Djafar Achmad pun pasti tahu karena dia menghadiri sidang paripurna kasus gratifikasi itu di DPRD dalam kapasitas sebagai Wabup Ende.
Kasus dugaan korupsi teraktual di Ende adalah dana KONI Rp 2,1 miliar yang sedang ditangani Polres Ende. Ada tiga nama: Fransiskus Taso (Pelaksana Harian KONI Ende), Sabri Indra Dewa (Ketua Askab Ende) dan Yulius Nong Sesar (Bendahara KONI Ende).
Banyak saksi telah menjalani pemeriksaan. Tapi Bupati Ende, Djafar Achmad sebagai Ketua Umum KONI Ende belum tersentuh proses hukum, minimal diperiksa polisi sebagai saksi. Bupati Djafar telah menyatakan kesediaan untuk diperiksa dalam kasus ini (www.sergap.id ). Bupati Djafar menyatakan tidak masalah jika ia diperiksa polisi dalam kasus korupsi dana hibah KONI Ende. Setiap ada masalah di Ende, jawaban Bupati Ende selalu seperti ini. Apakah karena dia menghindar untuk memberikan jawaban? Atau karena memang dia tidak mengerti tanggung jawab serta berbagai risikonya.
Maka Ende ini sangat cocok menjadi kabupaten terkaya dalam kasus dugaan korupsi. Sayangnya, kasus korupsi ini tidak ada dalam angka-angka BPS. Predikat ini jauh lebih relevan sebagai bentuk advokasi kesadaran kritis kepada publik Ende agar tidak memercayai begitu saja deretan angka-angka yang seolah merepresentasi rakyat dengan segala problem hidupnya yang akut ini.
Rakyat bukan angka. Rakyat itu manusia hidup, ada darah mengalir, napas yang tersengal, keringat mengalir dengan segala persoalan yang tidak begitu murah direpresentasi apalagi diukur dengan angka. Belum lagi angka-angka itu kemudian diubah politisi menjadi kampanye sukses “bim salabim” yang menjadi “tuhan” di Ende sare Lio pawe ini.
Rakyat Ende mesti terbangun dari tidur panjang apatisme politik lalu bangkit menjadi insan politik cerdas untuk menghentikan para pembohong dan penyebar hoaks: seolah sukses membangun Ende jadi kabupaten terkaya. *