Partai Golongan Karya (Golkar) berkomitmen melakukan transformasi politik melalui Golkar Institute (GI) yang diinisiasi Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto sejak 2020. GI menyelenggarakan suatu sekolah ilmu pemerintahan dan kebijakan publik secara rutin untuk membantu para pemuda memiliki pengetahuan dan perspektif yang kuat tentang politik dan pemerintahan.
Golkar Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa kali mengirim wakilnya untuk menjadi peserta Executive Education Program for Young Political Leaders di Golkar Institute.
Kabarntt.co berkesempatan mewawancarai dua alumni GI asal NTT yang saat ini juga menjadi calon legislatif (caleg) untuk DPRD. Pertama, Aksa Yuniorita Blegur atau sering disapa Nita Blegur yang merupakan Ketua DPD II Golkar Alor. Kedua, Agustinus Tetiro atau yang sering dipanggil Gusti Tetiro, yang resmi menjadi anggota Golkar setelah lulus dari GI.
Berikut hasil wawancara singkat kami dengan Nita dan Gusti.
Apa manfaat pendidikan di Golkar Institute bagi Anda berdua?
Nita Blegur (NB): Ada banyak manfaat pendidikan di Golkar Institute (GI). Pertama, jaringan yang diperoleh. GI membuka jaringan bagi pesertanya baik untuk internal partai, terutama dengan DPP, maupun jaringan yang lebih luas, karena GI itu inklusif. Jaringan ini berguna untuk kepentingan pribadi politisi muda seperti kami, maupun untuk pergerakan politik. Kedua, saya memperoleh ilmu yang mumpuni di GI. Subyeknya beragam dan semuanya berguna untuk politisi dan pejabat publik.
Gusti Tetiro (GT): Belajar di Golkar Institute (GI) memberikan saya suatu pengalaman awal masuk ke dalam politik praktis dengan cara yang benar, yakni menjadi kader Golkar yang mempelajari sejarah dan perkembangan politik partai paling berpengalaman ini. Kesan pertama saya, ya langsung senang, karena di Golkar sedang ada transformasi besar-besaran memberikan peluang berpolitik praktis bagi anak muda dan milenial, khususnya yang telah memiliki pengetahuan cukup dan siap memberikan kontribusi melalui politik praktis. Di GI, kami membangun jaringan berskala nasional. Dan, saya pikir itu penting sekali untuk kepentingan daerah masing-masing.
Apakah Anda melihat Golkar NTT butuh banyak milenial? Mengapa?
NB: Butuh. Pendidikan politik di NTT harus diakui masih minim. Di satu pihak, banyak orang kita masih apolitis. Di pihak lain, orang-orang yang memilih masuk dunia politik tidak dengan mental politisi. Mereka hanya mengejar posisi politik tertentu, seperti menjadi anggota DPRD. Di daerah saya, harus diakui, DPRD Alor terburuk di 5 tahun ini. Jadi, menurut saya, anak muda butuh Golkar. Golkar butuh anak muda NTT. Keduanya bisa berkolaborasi untuk pergerakan mesin partai demi menjaga marwah politik Golkar dan disertai dengan nuansa yang lebih fresh.
GT: Golkar NTT bukan hanya butuh milenial, tetapi milenial NTT juga semestinya melirik Golkar NTT. Di bawah kepemimpinan Ketua DPD I Melki Laka Lena, Golkar NTT memberikan fokus dan prioritas kepada anak muda milenial, perempuan, cendekiawan, jurnalis senior dan penulis, serta kelompok-kelompok lain yang lebih luas. Khusus berbicara tentang milenial di Golkar NTT, saya melihat masa depan Golkar bisa lebih cerah, karena sejumlah anak muda berani mengambil keputusan untuk ber-Golkar dan mulai dari bawah, dari daerah-daerahnya masing-masing. Anak-anak muda ini pasti memiliki mimpi dan inisiatif untuk membangun daerahnya.
Apa imajinasi ideal Anda tentang seorang politisi?
NB: Politisi yang cakap, secara intelektual dan emosional. Politisi yang (1) memahami masalah rakyat, (2) dikenal dan mengenal masyakat, (3) bisa membangun komunikasi yang baik dengan semua pihak.
GT: Politisi yang bisa mewakili semua kepentingan daerah pemilihannya. Ini unsur representasi. Keterwakilan. Kemudian, politisi yang memiliki kemampuan berdeliberasi: berpikiran terbuka, siap berdiskusi dan berdebat, serta memahami cara memenangkan gagasan dan aspirasi masyarakat. Singkatnya, politisi adalah wakil rakyat yang bisa bersuara dengan benar dan berdaya transformatif.
Mengapa Anda mau jadi pimpinan di Golkar dan kemudian menjadi caleg?
NB: Saya ingin mengembalikan kejayaan Golkar Alor. Beberapa periode lalu, Golkar merajai semua kontestasi politik di Alor. Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan dan anak muda Alor bisa menjadi motor penggerak bagi perubahan yang positif dan konstruktif. Menjadi caleg? Saya melihat itu keharusan sebagai seorang pimpinan partai di daerah, apalagi seperti saya yang datang dari Pulau Pantar. Saya memiliki keterikatan yang dalam dengan Pantar. Di sana ada 5 kecamatan dan kami semua berelasi dengan sangat baik antardaerah. Saya melihat, semua hal dan urusan soal rakyat ada di politik. Maka, saya ingin masuk politik praktis dan memberanikan diri menjadi caleg.
GT: Saya langsung ke mengapa menjadi caleg. Setelah belajar di GI, saya tahu bahwa saya harus bulatkan niat ke politik praktis. Saya memiliki latar belakang keilmuan yang bisa mendukung karir politik. Saya belajar filsafat sebagai ilmu kritis di dua kampus terbaik di negeri ini, Ledalero dan Driyarkara-Jakarta. Lalu, saya juga pernah belajar administrasi publik dan otonomi daerah di Jakarta. Jadi, saya ingin memberikan diri untuk mendukung kemajuan daerah saya di Ende, yang sangat saya cintai dan dengan rutin saya perhatikan melalui apresiasi dan kritik yang sangat sering saya lontarkan.
Apa yang akan anda tawarkan saat kampanye nanti?
NB: Kita mulai dari kondisi di lapangan. Di daerah saya, di Alor, perempuan di dunia politik masih marginal. Dianggap hanya sebagai pemanis, pelengkap penderita. Saya mau membuktikan bahwa ada perempuan Alor yang tidak main-main dalam politik. Perempuan Pantar tidak main-main dalam politik! Dengan jaringan yang ada di Golkar dari desa hingga ke pusat, saya ingin peran masyarakat diperbesar. Saya bekerja sama dengan abang Melki Laka Lena membangun puskesmas dan sejumlah fasilitas kesehatan. Saya ingin program-program nasional turun ke Pantar. Di dapil saya, kebanyakan pemilih masih tradisional. Saya mau bersama-sama dengan mereka. Saya punya kemampuan dalam pemberdayaan.
GT: Saya telah menjadi wartawan puluhan tahun dan agak terampil dalam menulis dan berbicara di depan umum. Saya ingin memastikan semangat literasi menjadi nadi kerja politik saya. Di dapil saya di Ende (dapil IV: Detusoko, Lio Timur, Ndona Timur, Ndori, Wolojita, Ndona, Kelimutu, dan Wolowaru), literasi politik memang belum merata. Akan tetapi, saya melihat makin banyak warga dan masyarakat yang sudah mulai sadar tentang apa itu politik dan bagaimana cara mencari dan memilih wakil rakyat yang baik dan benar. Banyaknya anak muda dan orang-orang terpelajar yang berani maju sebagai caleg bisa menjadi awal yang baik untuk suatu literasi politik yang lebih mencerahkan. Saat kampanye nanti, saya ingin melakukan hal-hal yang berkaitan dengan membuka harapan bagi kualitas manusia Lio yang lebih prospektif.
Apa yang Anda lakukan kalau menjadi anggota DPRD nanti?
NB: Saya ingin memastikan optimalisasi 3 (tiga) fungsi DPRD, yaitu fungsi anggaran, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Itu standar. Dalam konteks Alor, saya ingin menjadi komunikator yang baik antara masyarakat dan pemerintah.
GT: Menjadi anggota DPRD di tingkat kabupaten berarti menjadi agen rakyat dan mitra kritis pemerintah. Tiga fungsi DPRD seperti fungsi legislasi, fungsi budgeting dan fungsi monitoring harus diatur dengan cara yang berkualitas oleh wakil rakyat yang harus berkualitas juga. Dalam konteks Ende sebagai kota dan kabupaten yang historis dalam hubungan dengan Pancasila, saya sebagai penulis dan pewarta tentu bisa berkontribusi banyak untuk narasi yang berkesinambungan dalam menggali relevansi Pancasila.
Mengapa Anda ingin agar masyarakat memilih caleg milenial, dan bagusnya lagi kalau alumni Golkar Institut?
NB: Politik tidak bicara usia dan gender. Banyak yang underestimate dengan caleg milenial. Itu menjadi PR kita semua kaum milenial yang maju menjadi caleg. Satu yang pasti bahwa caleg milenial adalah bukti kalau partai politik di tingkat daerah sukses melakukan kaderisasi. Pilihlah caleg-caleg milenial, khususnya alumni GI, karena paling paten. Alumni GI dipersiapkan secara matang untuk menjadi kader terbaik Golkar mulai dari daerah hingga ke pusat.
GT: Politik adalah pembicaraan dan aksi untuk masa depan. Semua kebijakan dan keputusan politik hari ini akan menentukan masa depan kita. Masa depan itu milik orang muda. Maka, memilih orang muda dan milenial sebagai wakil rakyat harus menjadi prioritas. Pilihlah orang muda yang telah mempersiapkan diri dengan baik untuk berpolitik praktis. Saya berani mempromosikan diri sebagai salah satu pilihan masyarakat di dapil IV Ende. Dalam konteks Golkar, alumni GI memang diutus oleh DPP untuk menjadi agen transformasi di setiap tingkatan. Mari kita bekerja sama membangun Indonesia dari daerah dan desa!
Apa saja harapan Anda untuk NTT yang lebih baik ke depan?
NB: Politik NTT harus lebih sehat dan cerdas. Pembangunan yang lebih baik dan maju. Masyarakat lebih sejahtera. Alam yang lebih lestari. NTT memiliki semua harapan itu. Hanya saat ini masih dalam bentuk potensi-potensi. Pilihlah politisi-politisi yang bisa membuat semua harapan itu menjadi nyata.
GT: Sebagai orang politik, saya berharap makin banyak orang NTT yang terpelajar, terdidik dan berintegritas masuk ke dalam politik praktis. NTT hanya bisa maju kalau yang memimpin adalah pribadi-pribadi yang memiliki hati dan budi untuk NTT. Dalam skala paling mikro, saya akan membangun suatu pendidikan politik dan literasi politik kecil-kecilan di daerah. Mimpi saya, semoga pada gilirannya politik NTT lebih membawa pencerahan bagi kebaikan semua. Golkar menang, NTT Maju! (den)