Oleh P. Kons Beo, SVD
“Kita bukanlah manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman manusiawi” (Pierre Teilhard de Chardin, 1881 – 1955)
Bola Mata Menatap ke Langit
Kita bisa saja lupakan ‘bumi.’ Itu sekiranya kita seperti terhipnotis dalam keasyikan tengadah ke ‘langit.’ Kita memburu kesalehan yang dipertentangkan dengan keseharian. Kerohanian nampaknya bagai satu ‘kerajaan khusus.’ Ia dipertautkan ‘tertutup’ dengan ‘tempat sakral, jam suci, seremoni liturgi syahdu, atau acara devosional membatin yang sarat emosi.’
Kerohanian pun bisa terhubung pada materi, obyek atau barang khusus yang disucikan. Tentu tetap ada nilai sakral di balik Kitab Suci, salib, rosario, skapulir, patung, relikwi, gambar kudus. Dengan itu, nilai-nilai kerohanian sekiranya bergelora di dalam diri.
Siapapun tak ingin dihantam badai profanasi sengit dalam ziarah kehidupan ini. Justru yang dicemaskan adalah gaung desakralisasi hidup yang membuat manusia rentan dalam ungkapkan dirinya. Atau bahwa manusia sekian ringkih saat diterjang amukan gelora zaman. Lalu situasi apa kah yang bisa menjebak?
Religiositas: Fuga Mundi?
“Perilaku religius kadang-kadang menjadi pelarian dari dunia nyata.” Yang diimpikan adalah ‘mimpi’ di masa mendatang yang lebih ‘bikin tentram.’ Dan lagi, diusahakan pula berbagai ‘cara kilat dan jalan potong’ demi selesaikan semua persoalan nyata keseharian. Akibatnya? Kita jadinya tak hendak bergerak tahap demi tahap, sambil libatkan seluruh diri dalam hadapi kenyataan hidup yang seharusnya.
Yang dibaca oleh sang bijak adalah adanya, “kesalehan yang memisahkan seseorang dari yang lain atau asketisme yang menyangkal pengalaman hidup normal.” Yang dibangun oleh ‘jenis kerohanian’ ini adalah membangun tembok pemisah tegas dan jelas agar yang disebut ‘kerohanian’ itu disenyapkan dari segala hingar bingar dunia.
“Kesanaan Allah versus Kesinian Dunia-Manusia”
Kita ingin sendiri demi ‘mencari Allah yang hening dalam duniaNya nun jauh. Allah ditangkap dalam ‘arena kesanaanNya.’ Allah yang di lintasan jauh surgawi. Kesanaan Allah mesti dipisahkan ketat dari kesinian manusia dan segala kesehariannya.
Untuk menggapai Allah di kejauhan itu, manusia bisa saling bersaing ketat dalam keyakinannya. Ada sekian banyak syarat yang dikreasi manusia hanya demi merasa dirinya layak mendekati kesanaan Allah. Yang jadi rumit bahwa claiming sepihak digencarkan sebagai ‘pemilik iman yang benar akan Allah.’ Apa yang disebut ‘nafsu kemurnian’ demi merasa diri sendiri serba saleh, halal, mesti mengorbankan yang lain, yang ‘bukan kita.’
Allah membumi terasa tabu untuk diterima. Apalagi sekiranya mesti diyakini sepenuhnya bahwa sungguh Allah itu ‘homo factus est,’ sungguh menjadi manusia. Tuhan, mungkin terlalu dikerdilkan dan diperlemah, sekiranya ia mesti diakui dan diterima dalam keadaan ‘lapar, haus, seorang asing, telanjang, sakit, dan dalam penjara” (cf Matius 25:34-36). Tuhan mestilah serba kuat dan perkasa. Akibatnya?
Religoisitas Pernak-Pernik – Atribut
Manusia merasa beriman dalam kontak eksklusif dengan Tuhan nun jauh. Merasa sungguh religius dengan segala atribut religius. Iya, termasuk dalam ‘pakaian atau jubah kesalehan.’ Mirisnya, manusia yang ‘religius’ itu abaikan telak kualitas relasinya yang mesti hidup dan penuh harapan dengan sesamanya. Dan yang terjadi selanjutnya?
Kita bisa menatap langit penuh memelas dan linangan air mata. Sayangnya, tangan kita tetap ‘memegang pedang kekerasan’ penuh tekanan dan ancaman bagi sesama. Mulut kita serukan kemahakuasaan Allah dan pengampunan, namun lidah kita lancar mengumpat dan menistakan sesama.
Ke langit ‘kita sujud berlutut dan bersembah, namun pada saat yang sama, di atas bumi ini, kita justru ‘menekan dan menginjak sesama dalam kata dan sikap. Tanpa belaskasih. Di rumah Tuhan, kita nyanyikan puji-pujian dan hormat, namun di keseharian kita tetap lancar menghina dan tetap berburuk sikap terhadap sesama.
Kesalehan Penuh Curang?
Tampaknya, kita merasa saleh dan lebih terhormat hanya karena kita yakin sesama telah berperilaku bejat dan tak terhormat di mata Tuhan dan di hadapan sesama. Dan bukannya bahwa karena ‘kesalehan pribadi itu’ kita jadinya sanggup memeluk dunia dan sesama dalam kasih dan kebaikan!
Kita tampaknya tetap seperti orang yang memegang dan menjunjung Kitab Suci, Injil-Kabar Gembira dengan kedua tangan, namun pada saat yang sama lidah dan sikap kita tetaplah tajam untuk menekan dan menghina orang lain. Kita bisa memegang butir-butir rosario dalam doa bersama Bunda Maria, tetapi kita bisa berubah sesegeranya untuk merantai sesama dalam sikap dan kata-kata kita yang yang menekan pula.
Alarm alkitabiah ingatkan, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, namun hatinya jauh dari padaKu” (cf Matius 15:8-9; Yeremia 29:13). Apakah arti kata-kata bibir yang memuji Tuhan jika tetap ada hati yang membenci serta cenderung enyahkan sesama?
Allah Yang Membumi
Kita pun bisa saja merasa diri sendiri benar dan saleh untuk bertindak atas nama Tuhan demi ‘menganiaya dan menekan yang lain.’ Padahal, sesungguhnya, Tuhan yang ‘dimuliakan,’ itulah Tuhan yang ‘dianiaya dan dikerdilkan.’ Dan Saulus, di jalan ke Damaskus itu, mesti disentak dengan kata-kata penuh tantangan, “Aku Yesus yang kau aniaya” (Kisah Rasul-Rasul 9:5).
Melihat dan mengalami kehadiran Tuhan dalam keseharian dan dalam diri sesama tetap menjadi panggilan yang nyata. Dalam Yesus, Allah menjadi “Emanuel.” Tetap selalu beserta kita. Itulah sapaan iman yang selalu diperdengarkan. Kehadiran ‘realitas langit’ ke dalam ‘isi bumi’ menjadi lengkap di dalam kehadiran Yesus, “Firman yang telah menjadi Manusia, dan diam di tengah-tengah kita” (Yohanes 1:14).
Kehadiran Allah incarnatus dalam Yesus adalah satu pemakluman cinta, belaskasih, damai dan pengampunan yang membebaskan! Dalam cara itulah manusia digerakkan untuk saling memandang dalam Cinta dan Belaskasih. Jika sebaliknya? Kita bisa hidup dalam ‘sandiwara iman penuh kepalsuan.’
Bola Mata Kasih
Kata Radcliffe, OP, “Bagi orang Kristen, kebohongan yang terbesar adalah memandang orang lain tanpa belaskasihan, menutup mata kita terhadap kebaikan mereka sebagai manusia dan membebani mereka dengan beban-beban dosa mereka.” Bola mata belaskasih mesti dipakai demi memandang sesama dengan benar. Dan karena itulah kita terbebas untuk bersikap melulu sebagai pendakwah, penghakim dan penghukum yang keji. Tanpa berakhir dengan kemenangan di dalam Kasih.
Tentu pula ‘kisah inkarnasi, Allah jadi Manusia,’ Kisah Langit yang menyentuh dan memeluk Bumi serentak membumi, amat dipertentangkan kenyataan kekerasan dan kebencian (ketidaksukaan). Kebenciaan itu, katanya, “Merenggut orang dari realitasnya, sedemikian rupa sehingga orang yang dibenci dijadikan lambang dari segala yang mengancam, dan bukan sebagai pribadi yang nyata.”
Di Lingkaran Ancaman dan Permusuhan
Maka camkanlah, “Anda tak suka dalam kebencian akut terhadap sesama? Yakinlah, Anda sebenarnya lagi dalam ancaman ketidaknyamanan berpaut dengan zona kepentingan: nama besar (popularitas), pengaruh, jabatan, posisi, kuasa, relasi, harta-materi.
Henri Nouwen ingatkan, “Kita memiliki musuh sebab kita mempunyai sesuatu yang hendak kita kejar atau kita pertahankan.” Dan kita berasumsi dan yakini bahwa ‘orang ini dan orang itu, mereka sana, kelompok ini dan kelompok itu, bakal merebut atau mengambil apa yang kita inginkan atau pertahankan itu. Dan alam permusuhan pun, entah di hati dan nyata-nyata terungkap, semakin tak terelakan dan tersembunyi!
“Domine, Fiat Voluntas Tua…”
Di titik inilah, kita renungkan makna mendalam penggalan Doa Bapa Kami. Doa yang diamanatkan Yesus kepada para muridNya, iya kepada kita semua: “Fiat voluntas tua sicut in caelo et in terra” Seperti yang ada dalam kenyataan Langit Surgawi, seperti itu jugalah yang mesti terjadi di atas bumi. Dalam keseharian nyata di kehidupan ini, sesuai kehendak Tuhan sendiri.
Maka tetaplah memandang dan menyongsong Langit tanpa sedikitpun ‘melayang tinggalkan bumi.’
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma