Mengenang Paus Benediktus XVI: Tanpa Hari Minggu Kita Tidak Bisa Hidup

Kons Beo5

Oleh P. Kons Beo, SVD

Akhirnya, saya sampai juga dalam Basilika Santu Petrus. Pagi ini, Selasa, 03 Januari 2022 sekitar pukul 10.25. Tak gampang juga cari parkiran. Syukurlah, akhirnya rektor, yang jadi sopir, dapatkan satu spasi kecil. Demi amankan mobil.

Tak ada kesulitan berarti untuk masuk area sekitar Basilika, dan lalu masuk ke dalamnya. Hanya andalkan kartu biru bertuliskan Stato Della Città Vaticano – Pontificie Opere Missionarie. Semuanya pada beres dan mudah.

Memang pagi ini ke Basilika Santu Petrus dengan satu motif. Sekadar berdiam diri di hadapan ‘Yang telah berpulang’ Paus Benediktus XVI. Di pintu masuk ‘samping belakang Basilika’ terlihat barisan kecil kelompok pelayat. Masuk-keluar ke dalam Basilika.

paus benediktus1
Mendiang Paus Benediktus XVI dibaringkan di Basilika St Petrus Roma,

Terlihat pula Mgr. Georg Gänswein. Beliau adalah sekretaris pribadi Paus Benediktus XVI hingga akhir hayat.  Bahkan Mgr Gänswein sebenarnya telah jadi sekretaris di Kongregasi Ajaran Iman, saat Kardinal Josef Ratzinger (Paus Benediktus XVI) jadi Prefek-nya. Mgr menyapa kami dengan ramah. Hanya sedetik dua untuk kemudian membiarkan kami ke dalam Basilika.

Suasana syaduh sungguh terasa dalam Basilika. Saat itu ada misa arwah yang tengah berlangsung. Iringan orgel pipa dalam lagu-lagu sendu bernada minor betapa ciptakan suasana kelabu. Dalam suasana seperti itu tak ada ‘keributan.’

Hanya ada beberapa petugas pengatur dan penjaga ‘lalu lintas pelayatan.’ Suasana tanpa gemerlapan memang terasa. Tak seperti biasanya. Untuk sesaat sepertinya segala keindahan dalam Basilika mesti sunyi senyap dari gejolak penuh kagum.

Suasana kelabu sungguh menguasai seluruh pikiran dan terutama rasa dari para peziarah. Semua tertuju pada jenasah mendiang Paus Benediktus XVI. Terbaring dalam sunyi abadi di depan Altar Utama Basilika. Itulah akhir hidup seorang pemimpin tertinggi spiritual dalam Gereja.

Sang pemimpin yang pernah berdiri gagah dan agung, kini semuanya harus ‘terhenti’ dalam rasa hormat dari para peziarah yang datang untuk mendoakannya. Dalam senyap pribadi di dalam ‘keramaian’ banyak  orang itu. Sekilas saya hanya merenung: Itulah akhir hidup dari seorang pemimpin Gereja.

Seorang Paus yang berziarah, punya kesempatan menemui umat Allah, dalam berbagai  kesempatan kunjungan. Demi membawa pesan injili dan berita kedamaian bagi siapapun yang berkehendak baik. Kini, para peziarahlah yang ‘balik mengunjungi’ pemimpinnya. Dalam doa dan harapan: Semoga kembali ke Rumah Tuhan dalam Kasih dan Kedamaian Abadi.

paus benediktus3
Para pelayat mengantre memberi penghormatan kepada Paus Benediktus XVI, Selasa (3/1/2023)

Josef Kardinal Ratzinger (Benediktus XVI), yang terpilih jadi Paus ke 265, menggantikan Paus Yohanes Paulus II. Paus Benediktus sendiri terpilih pada  19 April 2005. Ia  lalu mengundurkan diri pada 28 Februari 2013.

Paus Benediktus XVI adalah seorang pribadi yang kaya pengalaman dalam dunia akademik. Ia bernas dan kokoh dalam ‘kedaulatan magisterium ecclesiae.’ Saat ia harus merumuskan pikiran dan keyakinan sebagai perbendaraan iman dalam Gereja.

Paus Benediktus XVI adalah gambaran yang jelas akan iman dan kasih yang sungguh akan Allah. “Allah, aku mengasihi Engkau” adalah seruannya penuh iman! Menyimak wawancara eksklusif Andreas Thonhauser Kepala Biro EWTN (eternal word televison network) Roma dengan Mgr Gänster terbaca jelas: sepintas lintas sosok seorang Josef Ratzinger, Paus Benediktus.

Tidak berlebihan bila mesti dikatakan Paus Benediktus adalah ‘pendekar pembela ajaran iman Katolik.’ Bagaimana pun, bila dirumuskan secara lain, “Kehadiran Allah yang harus menjadi kesadaran utama dalam kehidupan manusia beriman. Allah yang mesti dirindui dan dikasihi.”

Dalam situasi apapun, Tuhan selalu hadir dalam setiap pengalaman hidup manusia. Selalu menjadi bukti dalam kehidupan manusia bahwa “Tuhan tidak pernah tidur…” dan selalu menjadi yang terutama dan penentu dalam kisah-kisah hidup manusia.

Saya jadinya teringat akan satu buku tulisan Radcliffe Timothy (2005). Diberi judul “What the Point of Being Christian”, bicara sekitar ‘Makna dan tujuan hidup menjadi Kristen.’ Bab 11 Buku itu punya judul “Tanpa Hari Tuhan, Kita Tidak Bisa Hidup.”

Kalimat itu sebenarnya berasal mulut Emeritus. Si Emeritus menjawab tegas si Prokonsul ketika ia ditanya, mengapa rumahnya dipakai setiap hari Minggu untuk berkumpul dan berdoa bagi orang-orang kristen. Peristiwa ini terjadi pada tahun 304 di Afrika Utara. Si Emeritus memang ditahan oleh penguasa atas sikapnya membiarkan orang Kristen berkumpul dan berdoa.

Dan jawaban tegas si Emeritus adalah “Quoniam sine dominico non possumus. Dan adalah Josef Kardinal Ratzinger yang terjemahkan kalimat berbahasa latin itu, Tanpa hari Tuhan, kita tidak dapat hidup.” Dan Ratzinger (Paus Benediktus XVI) sendiri memberi komentar bahwa orang-orang yang berkumpul itu tidak sedang berada dalam pilihan antara yang satu dari yang lain. Tetapi, bahwa orang-orang itu telah sadar akan “makna dan konsistensi kehidupan yang sesungguhnya.”

Yang ditegaskan Ratzinger, bila ditafsirkan, ‘Hari Minggu mesti dipandang pula sebagai sumber makna dan kehidupan iman kristiani sesungguhnya.’ Hari Minggu adalah kesempatan  untuk merenungkan penderitaan, wafat dan kebangkitan Kristus. Dan kisah agung itu tak boleh terlepas dari keseharian hidup setiap umat beriman.

Tetapi, bukankah hari Minggu adalah panggilan bagi setiap kita untuk ‘berkumpul bersama dengan saudara-saudari seiman untuk merayakan iman itu?’ Tampaknya Paus Benediktus sungguh tegaskan betapa iman itu adalah peristiwa umat Allah yang berkomunio untuk mengungkapkan isi imannya dalam perayaan bersama.

Kita adalah manusia-manusia peziarah. Yang senantiasa berjalan dan berlalu dari peristiwa ke peristiwa hidup berikutnya. Namun, Paus Benediktus XVI ingatkan bahwa kita, Gereja, selalu dipanggil dalam “Persekutuan.” Itulah Gereja Komunio (Called to Communion: Understanding the Church Today) yang dipaparkan oleh Josef Ratzinger.

Di hari kedua jenasah Paus Benediktus XVI dibaringkan di Basilika St Petrus, sekian banyak peziarah berarak sunyi, tenang dan damai. Demi memberikan hormat dan mendoakannya. Tapi tentu tak sekadar berziarah, tetapi yakinlah semuanya ada  dalam hati-batin penuh  Persekutuan (Komunio).

Komunio sejuk dalam iman tentunya membawa setiap kita untuk bersatu hati dan akrab dengan dunia dan sesama. Di situlah damai, cinta dan keadilan akan semakin menjadi kokoh.

Maka, di hari Minggu, marilah kita berarak menuju ‘komunio perayaan iman, ekaristi, bersama semua saudara-saudari kita. Kita lepaskan segala ketergantungan dan kelekatan ini pada ini dan itu. Untuk sungguh mau ‘bersama-sama menghadap Tuhan dalam kebebasan dan sukacita. Untuk ungkapan iman!

Requiem aeternam, dona eis, Domine. Et lux perpetua luceat eis…

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

 

 

Pos terkait