Oleh P. Kons Beo, SVD
“Memaafkan adalah pelajaran yang paling sulit, namun pelajaran itulah yang paling tinggi nilainya dari semua pelajaran moral” (Joseph Jacobs, Folkloris Australia, 1854 – 1916)
Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Di hari pembacaan tuntutan jaksa, Rabu 18 Januari 2023 itu, tak kuasa ia menahan rasa. Air mata terurai di wajahnya. 12 tahun tuntuan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terasa berat. Padahal ia telah bertarung dalam dirinya sendiri. Relakan diri sebagai justice collaborator bukanlah satu keputusan gampangan.
Sementara itu, reaksi publik deru menggelegar. Tampaknya semua berpihak padanya. Dan itu, tak sekedar simpati datar, rata dan kosong. JPU dikecam abis. Tudingan-tudingan miring dan serius dialamatkan pada JPU. Intinya, ada gerakan bawah tanah yang telah berkongkalikong di balik semuanya. Geger memang!
Sambo kolektif ada di balik semua yang berujung ‘rasa ketidakadilan’ buat Richard Eliezer. Pertanyaan tunggal tertuju ke arena persidangan itu: Tak pedulikah JPU atas kerendahan hati dan good will si Eliezer untuk hadir bagai pahlawan penghancur skenario Sambo?
Bagaimana pun, siapa saja dapat mengira-ngira: seandainya? jikalau pun sekiranya…? Tetapi, sudahlah! Tidakkah jelas pada fakta bahwa Josua benar-benar telah pergi. Dan Eliezerlah yang jadi eksekutornya di balik tekanan Sambo?
Gelombang massa sudah berpihak pada Eliezer. Namun, tidakkah ada sebuah rasa menyesal atau rasa bersalah Eliezer di relung hatinya yang paling dalam?
“Andai waktu diputar kembali” Itulah sesal hati terdalam si Eliezer. Dan, “Saya masih merasa bersalah.” Dan itulah yang tetap memburunya. Atmosfer ketidaktenangan telah jadi kabut di jiwanya.
Di hadapan Sambo cs, Eliezer bisa bernada berontak. Dan lagi, itu tadi, dukungan massif tetap ada di pihaknya dan bahkan sudah jadi miliknya. Tetapi hal itu tidaklah untuk tipiskan satu rasa bersalah dan menyesal.
Dukungan apapun untuk dirinya tak akan pernah sedikit pun bebasmurnikan Eliezer dari apa yang disebut saja sebagai self judgement. Itulah ‘diri yang selalu dihakimi, dipersalahkan, disesalkan oleh diri sendiri.’
Kepada siapapun, kita dapat bertarung untuk satu pembenaran diri (self justification) sejadi-jadinya. Selalu ada alasan untuk loloskan diri dari penghakiman luaran. Kita pun bisa punya banyak argumentasi untuk luputkan diri sendiri dari apa pun yang disangkakan publik.
Bagaimana pun, terhadap diri sendiri? Sebuah rasa bersalah pasti tetap mengikuti. Itulah suasana alam batin keruh yang tak mungkin dipungkiri. Eliezer adalah pahlawan untuk sebuah kisah buram yang nyaris tak terendus. Namun, itu tidak untuk dan dari dirinya sendiri..
Kisah buram terhadap Josua, bagi Eliezer telah jadi sebuah ‘lorong gulita’ bagi diri sendiri. Namun ternyata, pada titiknya, semuanya dapat menuntun kepada satu kesadaran publik. Ada yang terjadi di negeri ini. Ada yang tak beres dalam kisah-kisah penanganan hukum. Ada lalu lintas sumpek penuh tanya dan penuh misteri dalam institusi Polri. Dan, karena kebesaran jiwa Eliezer, semuanya bisa menjadi awal baru untuk kembali berwibawa.
Justice colloborator sepantasnya dilihat Eliezer sebagai ‘pintu gerbang yang baru’ untuk alam situasi baru. Demi satu kebaikan bersama. Andai ingin berkata tulus, Justice Collaborator sekiranya tidaklah pertama dan utama dipakai sebagai garansi dan jalan tol agar dibebaskan! Biarlah publik mengandaikan bahkan menuntutnya demikian.
Renungkanlah jalan kepekatan hidup kita. Siapapun dapat memaafkan dan mengampuni diri kita yang penuh salah dan tercemar dosa. Satu pernyataan sesal dan tobat dapat kita suarakan dari kesadaran jiwa yang paling dalam. Tetapi, “apakah kita sanggup memaafkan dan mengampuni diri sendiri?”
Kenangan akan kematian Josua, segala kisah indah bersama Bang Josua, pasti akan jadi kisah pedih penuh rasa bersalah yang tak terlupakan. Silahkan Dewan Hakim yang mulia tampil untuk memutuskan yang terbaik, yang arif dan seharusnya. Namun, sebuah penghakiman yang ‘benar dan murni’ pasti lahir dari hakim nurani Eliezer sendiri.
Sekiranya bisa ditafsir lain, itulah yang ditangisi Eliezer. Bukan karena terasa beratnya tuntutan hukuman 12 tahun. Bukan pula karena rasa marah akan lebih ringannya tuntutan 8 tahun untuk Putri Candrawathi, Om Kuat, dan bang Ricky Rizal. Bukan!
Eliezer tidaklah berair mata penuh sesal hanya karena merasa ‘percuma telah jadi justice collaborator.’ Tidak! Eliezer ‘mesti berair mata’ sebab ia tahu, bahwa segala duka kematian Bang Josua akan ia tanggung dalam kesendiriannya. Dalam sesal dan salah yang entah kapan bakal berujung akhir?
Eliezer harus berairmata, sebab sejak tragedi Duren Tiga, 8 Juli 2022 itu, ia mesti memanggul beban yang tak tertahankan. Bung Rony Berty Talapessy, yang tampil tenang dan sejuk itu, telah dengan sepenuh hati jadi ‘teman peneguhan selama proses di jalan pengadilan.’ Namun, untuk hari-hari selanjutnya?
Mestikah si Richard Eliezer nantinya kembali ke tembang lama, “Ku berjalan di dalam kesunyian. Ku tertawa di dalam kepedihan. Ku tak mau seorang pun tahu. Biarlah ku derita sendiri…..”
Atau bila harus mem-fermak ‘Yang Terlupakan’ dari Iwan Fals, “Rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi. Harus kah aku lari dari kenyataan ini. Pernah kucoba tuk sembunyi. Namun, bayangan kematian Josua tetap mengikuti….”
Semuanya hanya Tuhan yang tahu pasti. Bagaimana pun Sambo, Ibu Putri Candrawathi, Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf dan Richard Eliezer, bagi kita sebagai orang beriman, sekiranya juga menjadi panggilan untuk sebuah ‘jalan doa dan harapan yang tulus.’
Sepantasnya Indonesia beriman tidak hanya terjebak mati-matian dalam kemacetan salah benar, amarah dan dengki, hukum ringan dan hukuman mati.
Verbo Dei Amorem Spiranti
- Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma