Oleh Agustinus Siswani Iri
Fakta menyajikan ada dua fenomena yang menarik. Fenomena pertama terkait kepala desa yang tergabung dalam Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) ramai-ramai datang ke Jakarta untuk berdemonstrasi di depan Gedung DPR RI. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. Mereka meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Para kepala desa itu membawa spanduk dan poster bertuliskan tuntutan perpanjangan masa jabatan tersebut saat berdemo di DPR. Seragam kepala desa pun mereka kenakan saat mengikuti aksi.
Adapun alasan memperpanjang jabatan karena menurut para kepala desa, jabatan 6 tahun sangat kurang untuk mengembangkan desa karena jabatan tersebut lebih banyak diwarnai persaingan politik. Selain itu ada alasan lain yaitu dana untuk pemilihan kepala desa lebih baik digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.
Fenomena kedua terkait dengan KPK menerima 300 laporan masyarakat soal dugaan penyelewengan dana desa. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.
Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan korupsi.
Modus korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti: markup proyek, penggelapan.kegiatan atau program fiktif, pemotongan anggaran.
Untuk itu maka ada 300 laporan masyarakat terkait korupsi yang dilakukan kepala desa ke KPK. Ketua KPK, Firli Bahuri, mengingatkan perilaku korupsi saat ini sudah meluas sampai ke desa. Dari 2012 sampai 2021 terdapat 601 kasus korupsi dana desa serta melibatkan 686 kepala desa. Kurang lebih Rp 470 triliun dana desa sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat sejak tahun 2015 sampai 2022. Namun kenyataannya harapan itu sampai sekarang belum bisa terwujud. Karena masih ada sebanyak 12,29% masyarakat desa yang berada dalam garis kemiskinan.
Bila kita melihat dua fenomena ini maka terasa miris dan bertentangan. Menjadi menariknya adalah dalam demonstrasi tersebut rakyat tidak hadir untuk mendukung. Rakyat sibuk dengan urusan pekerjaan yang dapat membawa profit dengan membuat laporan ke KPK untuk menyelamatkan uang desa sedangkan kepdes sibuk dengan urusan perpanjangan kekuasaan.
Dua hal yang bertolak belakang di saat rakyat menuntut penggunaan keuangan yang transparan dan akuntabel serta tidak boleh ada korupsi, kepala desa justru sebaliknya menuntut perpanjangan jabatan.
Menariknya, tidak ada satu desa pun yang masyarakatnya turun ke jalan meminta jabatan kepala desa diperpanjang. Tetapi para kades gegabah mengatasnamakan sebagai aspirasi rakyat. Mereka ingin berkuasa di desa lebih lama, menikmati pengelolaan dana desa yang lumayan besar. Menambah masa jabatan kades tidak lebih sebagai kepentingan politik pribadi. Apalagi tidak ada warga desa yang meminta jabatan kades diperpanjang. Semakin jelas desakan adalah murni hasrat politik pada kepala desa.
Rakyat tahu akan bahaya perpanjangan masa jabatan kepala desa sehingga mereka tidak ikut dalam demonstrasi. Menurut pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan, “Kepala desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut”.
Kepdes meminta agar UU tersebut harus direvisi. Bila revisi itu disetujui dengan memenuhi tuntutan perpanjangan 9 tahun berarti kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun. Jadi kekuasaan yang terlalu lama itu cenderung absolut dan kekuasaan yang absolut pasti korup.
Jabatan 9 tahun hingga berpeluang 27 tahun terlalu lama dan berpotensi besar menjadi absolut. Bila kita menelaah alasan perpanjangan dari tuntutan kepdes dalam demonstrasi tersebut yakni pertama, alasan memperpanjang jabatan karena menurut para kepala desa jabatan 6 tahun sangat kurang untuk mengembangkan desa karena jabatan tersebut lebih banyak diwarnai persaingan politik.
Kedua, dana untuk pemilihan kepala desa lebih baik digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.
Kedua alasan ini sangat lemah. Mengapa sangat lemah? Hal ini karena keberhasilan kepala desa dalam melaksanakan pembangunan di desa tidak diukur dari masa jabatan. Tetapi diukur dari kepercayaan warga desa terhadap kerja-kerja nyata aparatur desa. Penambahan masa jabatan tidak menjamin kepala desa itu mampu menunjukkan kinerja yang baik. Bahkan malah memperburuk kondisi desa.
Jika motivasi sebagai seorang kepala desa ialah mengurus kepentingan masyarakat, maka 6 tahun merupakan waktu yang cukup untuk membangun desa. Jadi memperpanjang masa jabatan hingga 9 tahun tidak perlu dilakukan, karena kepala daerah dengan masa jabatan lima tahun juga bisa menghasilkan karya.
Argumen yang pertama tidak dapat dibenarkan juga karena 6 tahun merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan program-program desa. Selain itu waktu 6 tahun merupakan waktu yang sangat lama untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk rata-rata hanya puluhan ribu.
Masalah utamanya bukan soal kurangnya waktu masa jabatan. Melainkan minimnya kemampuan kepemimpinan kades untuk melaksanakan pembangunan desa. Selain itu, minimnya kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca pilkades.
Jadi diperpanjang 9 tahun pun jika masalah substansinya tidak diatasi maka kepala desa tidak akan mampu menjalankan program-programnya dengan baik termasuk tidak mampu mengatasi problem keterbelahan sosial itu.
Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan. Kelemahan argument kedua yaitu dana pemilihan kepala desa sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya. Dana itu juga tidak menguras dan tidak mengganggu APBN seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN.
Berdasarkan perhitungannya, dana untuk pemilihan kepala desa di seluruh Indonesia totalnya tidak sampai Rp 50 triliun. Apalagi, Pilkades tidak dilaksanakan secara serentak dalam waktu yang sama di seluruh Indonesia.
Argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa itu selain lemah tetapi juga lebih dari itu secara substantif merusak demokrasi. Demokrasi terhadap jabatan publik yang dipilih rakyat harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoritarian dan korupsi.
Masa jabatan 9 tahun jelas akan lebih lama lagi. Bila tidak ada perubahan soal jumlah periode (tetap memakai 3 periode), maka seorang kepala desa berpotensi memegang kekuasaan di desa hingga 27 tahun lamanya, hampir setara dengan rezim orde baru.
Wacana 9 tahun masa jabatan seorang kepala desa juga memperkecil ruang demokrasi bagi desa itu sendiri sehingga meminimalisir lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang cakap di desa, terutama golongan anak muda. Bagaimana tidak, seorang anak muda yang dinilai punya kemampuan yang cakap dalam memimpin harus menunggu setidaknya 9 tahun dan semaksimalnya 27 tahun jika petahana terpilih untuk 3 periode.
Selain itu para kepala desa juga bisa saja meminggirkan aspirasi warga yang tidak mendukungnya pada saat proses pemilu sehingga pembangunan desa tidak bisa berjalan dengan maksimal. Hal ini merupakan hal yang sangat lazim terjadi di desa-desa, orang-orang yang tidak memilih kepala desa akan dinomorduakan oleh kepala desa tersebut.
Semakin lama dia menjabat, maka semakin lama ketidakadilan semakin menganga. Selain ketidakadilan tetapi juga perilaku korupsi akan terus berjalan. 6 tahun saja terdapat pelbagai banyak kasus korupsi apalagi 9 tahun. Tidak sedikit pula kepala desa yang tertangkap korupsi akibat penyalahgunaan dana desa.
Sejak 2012 hingga 2021 saja KPK menyatakan bahwa sebanyak 686 kepala desa terjerat korupsi dana desa di 601 kasus. Nilainya mungkin tak seberapa dibandingkan dengan pejabat di pusat yang korupsi. Tetapi 601 kasus korupsi jika diakumulasikan akan menjadi megakorupsi yang sangat besar, belum lagi yang tidak terdeteksi oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam beberapa kasus, bukan hal yang langka jika warga-warga desa menemukan peningkatan ekonomi yang tidak wajar terjadi pada kepala desanya.
Melihat gambaran yang disajikan diatas maka sebaiknya para kepala desa lebih utama menunjukkan kinerja yang baik, benar, nyata dan tidak koruptif ketimbang meminta perpanjangan masa jabatan. Karena ketika kepdes bekerja dengan baik maka dapat dipilih lagi oleh rakyat.
- Penulis, rohaniawan Katolik, mahasiswa Fakultas Hukum Unpar Bandung