LABUAN BAJO KABARNTT.CO— Mantan Camat Boleng, Manggarai Barat, Bonaventura Abunawan, resmi ditahan Kejari Manggarai Barat karena terlibat kasus dugaan pemalsuan dokumen surat pernyataan yang ditandatangani oleh beberapa tua adat di Kecamatan Boleng.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Manggsrai Barat, Vendy Trilaksono, SH., kepada media di Labuan Bajo, Senin (10/1/2023), mengatakan Bonaventura diduga melanggar pasal 263 ayat 1 atau 263 ayat 2 terkait pemalsuan surat dengan ancaman di atas 5 tahun penjara.
“Intinya BA ditahan terkait surat penyataan. Karena di dalam surat pernyataan tersebut terdapat beberapa tanda tangan tua adat,” jelas Vendy.
Kasus ini, demikian Vendy, masih dalam tahap dugaan. Karena itu benar dan salahnya tersangka tentunya akan dibuktikan di pengadilan.
“Ini kan masih status tersangka terkait kasus pemalsuan surat pernyataan dan benar atau salahnya nanti tentunya akan dibuktikan di pengadilan. Dalam kasus ini BA ditahan maksimal 20 hari ke depan,” jelas Vendy.
Pantauan media Bonafantura Abunawan keluar dari ruangan Kejari Mabar dan dikawal oleh beberapa petugas. Ia terlihat tegar saat digiring oleh tim kejaksaan menuju mobil tahanan.
Sesekali Bona melihat ke arah media saat berjalan menuju mobil tahanan, namun tidak memberikan komentar sedikit pun terkait penahanan dirinya.
Sebelumnya Ditreskrimum Polda NTT pernah menetapkan Bona sebagai tersangka dan sudah melayangkan panggilan sebanyak dua kali kepadanya.
Tu’a Gendang Terlaing, Hendrikus Jempo, mengatakan, kasus ini mulai dilanjutkan oleh Polda NTT meski sebelumnya sempat terhenti.
“Kasus ini sempat diproses hingga Bona menyandang status tersangka tetapi terhenti tanpa alasan yang jelas,” ujar Hendrik sebagaimana dilansir dari fajartimur.com, Selasa (3/01/2023).
Tu’a Golo Terlaing Bone Bola sebagai pelapor, kata Hendrikus, terus berjuang agar kasus dugaan pemalsuan dokumen tanah tersebut bisa menemukan titik terang. Hal itu agar mengantisipasi terjadinya konflik horizontal.
Ia mengatakan, dokumen ‘Wau Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng’ ini memang aneh dan meresahkan masyarakat adat Boleng.
Jika dicermati, lanjut dia, dalam dokumen itu ada beberapa kampung adat yang dibuat hilang yaitu Wangkung, Rai, sebagian Rareng, Tebedo, Terlaing, Lancang dan Nggorang.
Dalam dokumen itu juga Lingko Menjerite milik Lancang, Lingko Nerot milik Kampung Terlaing dan sebagian Lingko Warang milik Rareng, tiba-tiba diklaim sebagai tanah milik masyarakat adat Mbehal.
“Ini kan aneh dan tidak masuk akal. Bone Bola terpanggil untuk meluruskan persoalan ini dan lakukan antisipasi untuk hindari konflik horizontal. Ia melaporkan kasus ini ke Polda NTT di Kupang,” jelas Hendrikus.
Setelah kasus tersebut terhenti di meja penyidik Polda NTT, kata Hendrikus, Bona seenaknya membagi-bagi tanah milik orang meski tanah tersebut telah bersertifikasi.
“Selama kasus ini terhenti, saudara Bona ini dengan leluasa membagi-bagi tanah milik orang itu kepada siapa saja tanpa menghiraukan bahwa tanah tersebut sudah bersertifikat. Lokasi itu dibersihkan dan ditanami pisang dan buat pondok. Anehnya, setiap orang yang mendapat tanah itu tidak diberikan dokumen tanda bukti. Ini cara licik,” kesal Hendrikus.
Menurut dia, aksi Bona membuat kalangan masyarakat adat geram. Aksi ini juga dinilai berbahaya dalam kehidupan masyarakat.
“Para tokoh adat di Boleng, terutama Terlaing dan Lancang menahan diri dan berupaya jangan terulang lagi tragedi berdarah 2017 di Menjerite,” jelasnya. (adi)