Oleh P. Kons Beo, SVD
“Cinta seperti kupu-kupu yang terbang melayang. Sayapnya warna-warni memabukkan. Bila kau kejar, ia terbang semakin jauh. Bayangnya pun tak mampu kau raih. Bila engkau diam, ia akan datang menghampiri, ho.. hinggap di hatimu” (Puisi dan Lagu Demikianlah Cinta, by Ebiet G Ade)
Hukum dan kebenaran
Di hari-hari ini hukum dan kebenaran lagi dipentaskan. Kebenaran yang dilukai mesti berhadapan dengan dalil-dalil hukum. Dan persis di situlah rasa keadilan mulai bergelora. Apakah hukuman itu nantinya sungguh atas dasar fakta kebenaran? Dan juga menyerap pada rasa keadilan? Itulah yang jadi pertanyaan tunggal. Dan tentu menantikan jawaban pasti.
Tapi, entah hukum atau pun kebenaran, keduanya tetaplah jadi basis penentu bagi sebuah ‘rasa keadilan.’ Kebenaran tetap mengalir atau juga dialirkan. Dan itu bergerak menuju muara putusan. Di situlah hukum tampil dalam marwahnya.
Tetapi terutama para juru hukum (hakim) tertantang oleh etika kebenaran. Tak lupa, di situ pun kualitas integritas diri dipertaruhkan.
Hukum sepantasnya ditegakkan. Manusia, dalam lalu lintas kehidupannya, terlalu bising dalam aneka urusan dan gejolak hasrat. Dibutuhkan pedoman, lineamenta petunjuk atau regulasi. Semuanya demi ‘mendisplinkan’ manusia yang terjebak dalam segala tanya. Yang belum menentu jawabnya.
Hukum hanya dalam situasi darurat?
Namun, ada jebakan di alam pikiran dan di ruang jiwa saat hukum ditangkap melulu dalam ‘situasi darurat.’ Hukum bercahaya hanya karena dinyalakan dalam segala ruang-tempat dan waktu yang kasuistik sifatnya. Dan di situlah manusia tak lebih ditelisik hanya sebagai insan yang potensial hukuman.
Jika tak ingin potensi hukuman teraktualisasi nyata, maka seluruh pancaindra sungguh dituntut dalam alarm kehati-hatiannya. Dalam rana sosial, di tempat-tempat publik, selalu ada ‘attention please.’ Perhatian sungguh dimohonkan! Tak boleh ada eror yang terjadi. Sebab, kerugian dan hukuman siap jadi risikonya.
Tetapi, sebenarnya kita adalah bangsa yang terisap dan ketagihan oleh hukum. Hidup sebatas di lintasan atau putih atau hitam. Kita menuntut satu kepastian hukum, misalnya, tentang gesture tubuh. Tak lupa tentang makanan-minuman, melebar pula pada cara berpakaian, serta segala macam tetek bengek ini-itu. Iya, itulah!
Terjebak Melulu Dalam Kepastian Hukum?
Maka, benarlah jika pertanyaan kita melulu sebatas, “Guru, apa hukumnya bagi orang yang berlaku…..?” Gaung pertanyaan yang cenderung sempit ini jelas mengarah kepada peluang terbukanya jawaban yang yang juga kerdil dan picik. Syukurlah bila sang guru adalah sosok yang arif. Yang tidak menjawabinya “sebatas halal atau haram hukumnya, atau sebatas surga dan neraka akibatnya.”
Pertanyaan seputar “apa hukumnya” berikhtiar untuk tetapkan satu keadaan nyaman di hati. Untuk disiplinkan segala hasrat, kehendak hati dan segala gerak-gerik yang ‘liar dan sering tak terkendali.’ Tetapi, tidak kah pertanyaan dan jawaban seperti ini adalah bagian dari proses pemborgolan hidup ‘penuh spontan?’
Tetapi, dapat dibayangkan bila si guru cenderung mendikte ‘kebenaran’ seturut alam pikirannya sendiri yang sempit dan ekslusif. Ketika kebenaran diikat-mati pada kelompoknya sendiri. Dan lalu tempelkan segala diktum kepalsuan dan haram untuk semua yang di luar kelompok sendiri.
Kebenaran Yang Terpasung
Bukankah, walau di masa penuh keterbukaan ini, ‘kebenaran’ masih dibuat sekian kaku, beku dan mengeras di kepala? “Kebenaran” seperti ini sungguh anti dialog, anti kemungkinan dan alternatif, anti peluang, anti sekian banyak tawaran lain. Sebabnya, iya itu tadi, ia sudah ‘dipagartembok berlapis dan kokoh’ dari segala pilihan luaran.
“Kebenaran” jenis ini lalu jadi landasan untuk menghardik yang lain, ‘yang bukan kita.’ Dan nampak pula ia jadi sebagai referensi untuk halalkan berbagai cara pandang dan sikap intoleran. Inilah ‘kebenaran’ yang membenarkan kebencian dan permusuhan terhadap yang berbeda.
Dalam rana hidup apa saja, siapa pun kita dan apa pun kelompok kita dengan varian latar primordialnya, sepertinya tidak sedang mencari kebenaran itu sendiri. Yang ditampilkan nyata-nyata adalah aksi pembenaran diri sendiri. Dan lagi, kita telah gemar dan bahkan kecanduan dalam mengagungkan kelompok kita sendiri.
Kebenaran-ku Bukan Milik-mu
Sungguh menjadi sulit memuliakan martabat dan citra kemanusiaan yang ada dalam semua manusia. Untuk melihat ‘yang lain, yang berbeda, yang jauh di sana, yang bukan orang kita.’ Bola mata kita tak jernih benar. Sebab ia sungguh terhalang oleh tebal dan tingginya tembok kepentingan. Atau setidak-tidaknya antara cita rasa atau orang kita atau bukan kita.
Sebab itulah, kebenaran sesungguhnya tidak sedang belayar bebas di alam samudra luas. Untuk menggapai hati dan pikiran setiap insan. Kebenaran tetap saja terpasung dalam sel-sel otak yang tak pernah tercerahkan mengenai ‘apa itu kebenaran yang sesungguhnya?’
Kasih Sayang Yang Melampui Segalanya
Tetapi, adalah mandat Kasih Sayang yang ternyata melampaui segalanya. Itulah Cinta yang tidak bisa dikurung oleh kekuatan manapun. Maka benarlah ketika dilukiskan, “Ketika cinta merasuki kita, kita seakan-akan mendapatkan kekuatan tersembunyi yang tidak bisa tunduk bahkan kepada dahlil-dahlil “Kebenaran”.
Kita sepantasnya kembali merenung penuh teduh bahwa “Cinta menyelamatkan kita dari penyempitan hidup yang hanya disederhanakan jadi ruang “salah” dan “benar”. Cinta memperkukuh kita di tengah keganasan antagonisme.”
Cinta tetap jadi motivasi agung universal. Agar, setidaknya, yang berlawanan dan bermusuhan berjabat tangan. Ketika segala perbedaan diterima dalam satu pengakuan teramat tulus dan dalam.
Cinta kasih menjadikan hati kita nyaman saat bisa kita berada ‘di ruang-tempat-waktu’ manapun. Sebab di situlah pengasingan telah berubah sebagai ‘tempat di mana hati kita sungguh berada.’
Mesti Lupakan Ustad Abdul Somad
Tetapi, di kisah Valentine Day ini mari kita, sekali lagi, lupakan sudah Ustad Abdul Somad (UAS). Hari Kasih Sayang itu bukanlah momentum liar sebagai “Hari Zina Internasional.” Tetapi, apa mungkin bahwa UAS, sejak tahun kemarin itu, sudah serius alarmkan agar Valentine Day itu dimaknai secara sehat dan benar? Untuk tidak ditilik sebagai hari kesempatan erotis yang vulgar tak terkendali? Entalah!
Namun, mari kita tinggalkan UAS, jika memang ia sebenarnya ada di jalur penghakiman akan Hari Kasih Sayang sebagai hari ‘yang sungguh carnalic-coporeal’ semata. Yang tak terkonek pada nilai. Yang jauh dari pemaknaan terdalam dari Kasih Sayang itu sendiri.
Cinta Kasih – Kesetiaan dan Pengorbanan
Mengagungkan Kasih Sayang adalah narasi untuk kembali kepada pengorbanan, perjuangan, kesetiaan dan kepada kehidupan itu sendiri. Mungkin kah kita dapat masuk ke alam kehidupan ini tanpa cinta dan pengorbanan dari sesama kita? Sesuatu yang mustahil.
Di titik ini, kita tersadari bahwa Kasih yang teramat agung adalah ‘Kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya dan seluruh jalan hidupnya bagi sahabat-sahabatnya.’ Sebab itulah, di Hari Kasih Sayang ini, kita hadirkan semua mereka yang telah hadirkan makna Kasih Sayang ke dalam diri kita. Siapa pun mereka.
Akhirnya….
Amatlah jelas bahwa Kasih Sayang itu memang tak peduli akan batas-batas yang kita bangun. Kasih Sayang memanggil pulang semua yang asing dan diasingkan untuk kembali tinggal dalam kebersamaan yang asri.
Sebab, bukan kah Kasih Sayang adalah prinsip, karakter dan identitas dasar seluruh diri dan hidup kita? Kasih Sayang bukanlah sekedar sebuah hukum! Yang bernafaskan kepastian “salah” atau “benar.”
Akhirnya, “Engkau hanya perlu duduk ‘dalam sunyi nan agung. Sebab cuma disaat seperti itu, Cinta yang sesungguhnya bakal hinggap di hati dan jiwamu. Dan ia lalu akan menuntunmu ke jalan mana yang harus kau lalui.
Cinta Kasih tak pernah ribut yang pekakan telinga, yang memburunya kasar dan liar!’ Sebab, Cinta Kasih tak ingin kehilangan dirinya sendiri. Seperti itulah yang bisa ditafsir seadanya dari Bung Ebiet G Ade.
Selamat Hari Kasih Sayang untuk kita semua..
Verbo Dei Amorem Spiranti.
- Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma