Oleh : Pater Tuan Kopong MSF
Frasa pada judul tulisan ini “Menanti Ketegasan dan Keberanian” ditujukan kepada Menteri Agama RI, Menteri Dalam Negeri RI, Kapolri dan Panglima TNI.
Para Bapak Menteri dan Bapak Kapolri serta Bapak Panglima TNI yang saya kasihi dan banggakan.
Toleransi dan kerukunan beragama selalu kita banggakan dan gaungkan. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 selalu kita siarkan untuk mengokohkan toleransi dan kerukunan antarumat bergama di Republik ini. Dunia luar bangga dengan toleransi dan kerukunan di negeri yang beragam ini walau kita juga harus jujur bahwa toleransi dan kerukunan hanya terjadi di satu dua provinsi di Republik tercinta ini.
Kita harus jujur bahwa toleransi dan kerukunan antarumat beragama dan kepercayaan di negara kita masih jauh dari harapan bersama karena di beberapa wilayah Indonesia masih saja ada perlakukan intoleran berupa pelarangan pendirian rumah ibadah dan persekusi terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah masih saja terjadi.
Kita seakan merasa puas ketika dunia luar dalam hal ini bangsa lain membanggakan toleransi dan kerukunan antarumat beragama dan kepercayaan di Indonesia sehingga seakan lupa dan menutup mata terhadap tindakan kelompok tertentu yang selalu menghalangi pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan ibadah agama lain.
Kebebasan beragama dan mengekspresikan kepercayaan yang sejatinya dilindungi oleh UUD 1945 pasal 29 ayat 2 justru terpenjara dalam SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006 yang dengan jelas mengebiri dan menindas kebebasan beragama dan mengungkapkan kepercayaan sebagai hak asasi setiap warga negara menjadi kebebasan berdasarkan perhitungan mayoritas dan minoritas. Jika menjadi mayoritas di wilayah tertentu maka kebebasan itu sungguh dialami dan dinikmati, semuanya aman dan beres serta perizinan dengan cepat diberikan. Dan sebaliknya jika menjadi minoritas maka hanya menunggu mujikzat kebaikan Allah walau puluhan tahun mengurus dan menunggu perizinan.
SKB dua Menteri pada tahun 2006 dengan jelas merupakan penyebab baru lahirnya intoleransi dan intimidasi terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan berkaitan dengan pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan ibadah karena harus mengumpulkan daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah minimal 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat serta dukungan masyarakat minimal 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa serta rekomendasi tertulis dari FKUB.
Kita bisa belajar pada situasi saat SKB ini dikeluarkan hingga hari ini. Ketika di salah satu desa adalah agama mayoritas maka akan dengan mudah mendirikan rumah ibadah dan melaksanakan ibadah, namun ketika menjadi mayoritas maka seperti kebanyakan yang terjadi harus menunggu puluhan tahun untuk mendapatkann izin termasuk tergantung keberanian bupati maupun walikota ataupun gubernur.
Kecuali di NTT secara khusus di Flores. Urusan pendirian rumah ibadah maupun pelaksanaan ibadah tidak ada gangguan sama sekali karena kedewasaan dalam beragama dalam arti tidak ada ketakutan akan kehadiran agama lain, termasuk yang paling penting adalah nilai kekeluargaan dan semangat gotong royong yang terus dipelihara hingga hari ini. Bahkan tidak jarang para tuan tanah dengan ikhlas memberikan tanah mereka untuk pendirian rumah ibadah agama apapun. Dalam hal toleransi dan kebebasan beragama serta mengekspresikan kepercayaan para bapak bersama FKUB di luar NTT secara khusus di luar Flores untuk jalan-jalan ke Flores dan belajar tentang toleransi yang sejati dan benar.
Penolakan pendirian masjid di Manokwari dengan keluarnya Perda Manokwari sebagai Kota Injil (2005 dan 2019-tirto.id, 8 Januari 2019)), penolakan izin pendirian Pura di Sukatani-Bogor (news.detik.com, 07 Mei 2019) dan kasus lainnya seperti sebelumnya GKI Yasmin, Paroki Sta. Ursula yang menunggu dua puluhan tahun baru mendapatkan izin serta yang terbaru adalah pelarangan perayaan Natal umat GPI Tulang Bawang-Lampung, Desa Banjar Agung-Kecamatan Banjar Agung pada 26-Desember 2021 yang lalu adalah bukti kegagalan SKB dua menteri tahun 2006.
Yang menyedihkan lagi ketika ada aksi protes oleh sekelompok orang di gereja GPI Tulang Bawang-Lampung yang sedang beribadah merayakan Natal, ada aparat keamanan di sana, namun kita bisa saksikan dalam video bagaimana sikap dan tindakan mereka. Seperti ada pembiaraan bahkan kewibawaan kehadiran negara yang melindungi setiap warga negara tak dihargai dan “diinjak-injak.”
Pihak aparat keamananpun seakan “tak berdaya” di hadapan sekelompok orang dari kelompok tertentu ketika aksi intoleran mereka didasarkan pada SKB dua menteri 2006 yang kemudian hanya berakhir dengan perdamaian meskipun kemudian rumah ibadah yang sudah berdiri tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya, salibnya diturunkan dan hanya menjadi rumah doa atau rumah ibadah keluarga (pernyataan Kapolres Tulang Bawang; beritasatu.com, Selasa, 28-Desember 2021).
Proses perdamaian sebagai akhir sebuah persoalan intoleran dan diskriminasi atau bahkan relokasi tempat pendirian rumah ibadah bukanlah solusi namun dengan itu kita secara jelas menyetujui dan mendukung tindakan intoleran atas nama agama tersebut karena tidak akan menyelesaikan persoalan. Perdamaian dengan kata mufakat maupun relokasi untuk mengakhiri persoalan intoleran tetap menyisahkan sikap dan tindakan intoleran karena tindakan bukan manusianya yang dibina tapi bangunan fisik yang diubah. Padahal yang menyebabkan tindakan intoleran adalah mental manusia dan bukan bangunan fisik rumah ibadah ataupun pelaksanaan ibadah.
Oleh karena itu jika kita sungguh serius menjadikan tahun 2022 sebagai tahun toleransi maka:
- SKB dua menteri 2006 perlu dikaji dan direvisi oleh pihak terkait dalam hal ini kementerian terkait, kalau boleh dicabut dan proses perizinan langsung ke gubernus, wali kota ataupun bupati.
- Moderasi beragama sedang digaungkan. Salah satu bentuk moderasi beragama adalah perubahan mental umat beragama bahwa kehadiran penganut agama lain harus diterima sebagai keniscayaan dari Bhineka Tunggal Ika dan bukannya dicurigai dan ditakuti. Tidak boleh takut dengan kehadiran agama lain termasuk rumah ibadah agama lain. Selama masih takut dengan kehadiran agama dan rumah ibadah agama lain artinya orang tersebut belum siap untuk beragama.
- Penegakan hukum yang tegas. Negara dalam hal ini aparat keamanan tidak boleh kalah dengan pihak maupun kelompok intoleran apapun alasannya termasuk alasan belum ada izin pendirian. Jika kemudian ada kelompok agama yang melakukan misi untuk mempengaruhi umat beragama lain maka ditindak tegas pula sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
- Kembali kepada UUD 1945 pasal 29 ayat 2, dimana negara wajib melindungi setiap umat beragama dan aliran kepercayaan di dalam mengekspresikan iman dan kepercayaan mereka. Perbedaan harus diterima tanpa harus diberi stigma sesat atas nama penafsiran agama tertentu.
Kebebasan beragama dan toleransi hanya bisa berajalan dengan baik bukan semata karena pelaksanaan aturan tapi niat baik dan rasa persaudaraan tanpa pemikiran mayoritas dan minoritas yang bisa menciptakan kerukunan sebagaimana yang terjadi di NTT secara khusus di Flores. Ketika kebebasan beragama dan toleransi “terpenjara” dalam segala peraturan maka akan selalu menguntungkan yang merasa mayoritas dan pihak minoritas selalu terkucilkan dan dengan demikian agama yang sejatinya membawa sukacita dan kedamaian justru menjadi pembawa ketakutan dan kegaduhan.
Maka dari itu, sebagai anak bangsa yang mencintai kerukunan, toleransi dan kebebasan beragama menanti ketegasan dan keberanian para bapak untuk menghiasi tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi di Indonesia yang jujur dan terbuka. (*)
Manila: 08-Januari 2022