Oleh Laurens Leba Tukan
Kampung Likotuden di Desa Kawalelo, Kecamatan Demong Pagong, Kabupaten Flores Timur, Senin (29/8/2022) siang. Mirip kawasan lain di Flores Timur atau NTT umumnya. Potret gersang dari tahun ketahun tak berubah, tetap menjadi pemandangan meluas.
Panas yang terasa menyengat semakin menggenapi tubuh alam berselimut tandus. Namun kawasan dengan curah hujan sangat terbatas tak sepenuhnya menjadi tantangan terjal bagi para petani sekitarnya. Bumi Likotuden dan kawasan lainnya di NTT justru sangat cocok untuk budidaya sorgum (Sorghum spp), jenis tanaman multiguna: sumber pangan, bahan baku industri atau pakan ternak.
Jelang puncak siang itu. Sebuah truk terparkir di tepi jalan sekitar mulut Kampung Likotuden. Bagian bak truk penuh berisi panenan sorgum yang masih menyatu atau belum rontok dari mayangnya.
Ketika di dekati, gelondongan sorgum itu ternyata milik Ancis Witin (62), petani asal desa tetangga, Duli Pali, dalam wilayah kecamatan yang sama. Didampingi istri dan dua anak gadisnya, kunjungan Ancis ke Likotuden dengan tujuan khusus merontokkan biji sorgum dari mayangnya.
“Kebetulan di Likotuden sudah tersedia mesin perontok sorgum. Di desa saya (Duli Pali), belum ada,” tutur Ancis, pemilik kebun sorgum seluas 2 ha di Duli Pali.
Likotuden tidak hanya nama kampung di Desa Kawalelo. Ternyata diabadikan juga menjadi nama koperasi khusus urusan sorgum yang berpusat di Likotuden. Usaha mesin perontok sorgum di kampung itu di bawah pengelolaan Koperasi Likotuden. Koperasi itu kini beranggotakan 45 orang petani dengan dukungan kebun khusus sorgum seluas kurang lebih 50 hektar (ha).
“Saya masih harus menunggu giliran. Mesin perontok masih melayani perontokan sorgum sejumlah petani lain yang datang lebih awal. Juga kebetulan operatornya sedang makan siang,” lanjut Ancis.
Tentang usaha jasa mesin perontok yang belum ada di Duli Pali, dimaklumi karena petani berkebun sorgum di desa itu masih sangat terbatas. Ancis Witin menjadi petani langka berkebun sorgum di Duli Pali.
Dia mengakui, perontokan bisa saja dilakukan secara manual seperti zaman dulu. Namun kalau secara manual, butuh waktu lama, apalagi dalam jumlah banyak. Upah bagi para perontoknya pun mahal, sekitar dua kali lipat ketimbang melalui jasa mesin perontok.
Ancis sendiri belum tercatat sebagai anggota Koperasi Likotuden. Karena itu ia harus siap membayar jasa perontokan Rp 150.000 per jam. “Kalau sudah berstatus anggota koperasi, tarif jasa perontokan lebih murah, Rp 100.000 per jam,” jelas Ancis.
Kepulauan di NTT yang curah hujannya sangat terbatas sebenarnya sangat cocok untuk budidaya sorgum. Apalagi sorgum sebenarnya untuk jangka waktu sangat lama pernah menjadi bahan pangan utama masyarakat NTT. Namun kehadiran bahan pangan lokal itu tergusur menyusul program swasembada beras tahun 1990-an. Dampak yang segera melekat, gengsi beras sorgum merosot hingga tersingkir dari rumah rumah keluarga karena jika tetap dipertahankan melekat dengan image miskin.
Kandungan sorgum mirip gandum. Sejauh ini kebutuhan gandum Indonesia (untuk mie instan, roti, biskuit, cookies dan lainnya), terus melonjak dan hampir total andalkan dari pasokan impor. Tahun lalu misalnya, Indonesia mengimpor 8,4 juta ton gandum (senilai 2,6 miliar dollar AS). Dari jumlah itu sebanyak 2,07 juta ton (23 %) di antaranya diimpor dari Ukraina. Pasokan itu tentu saja jadi terganggu akibat invasi Rusia atas Ukraina, yang perangnya masih berlangsung hingga sekarang.
Belakangan ini, Pemerintah Indonesia mulai mendorong budidaya sorgum. Presiden Jokowi – sebagaimana disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Kamis (4/8/2022) – meminta penanaman sorgum diprioritaskan di NTT. Flobamora yang dikenal dengan curah hujan sangat terbatas diharapkan menjadi sentra sorgum di Indonesia.
Budidaya sorgum sebenarnya belum punah di NTT. Hingga saat ini tanaman tiga kali panen setahun itu masih dibudidayakan di daerah ini. Sebut misalnya di Desa Kawalelo. Di sana setidaknya ada 45 petani yang kini fokus berkebun sorgum dengan areal total seluas kurang lebih 50 ha. Mereka adalah kelompok tani sorgum di bawah koordinasi Koperasi Likotuden.
Budidaya sorgum di sana relatif terjaga karena peran koperasi yang selalu fokus siapkan benih, siapkan pasar (beli dan jual sorgum). Para petani tetap jadi anggota koperasi bila mereka masing masing memiliki lahan minimal 1 ha dan semuanya harus ditanami sorgum. Yang tidak taat dicoret dari keanggotaan koperasi.
Contoh menyusul di Lembata. Ada petani bernama Petrus Daton di Desa Mudawuok, Kecamatan Nubatukan. Ia bersama keluarganya sejak lama fokus berbudidaya sorgum. Bahkan keluarganya sejak 7 tahun lalu hanya mengandalkan nasi sorgum sebagai makanan utama dalam keluarganya.
Ada juga contoh budidaya sorgum dorongan Rm Tinus Dai Koban Pr, Pastor Paroki Kalikasa (Lembata).
Bermodalkan kisah sejak turun temurun, keluarga Ancis sejak empat bulan lalu kembali merintis budidaya sorgum. Dan sorgum yang hendak dirontokkan di Likotuden, dari panenan perdananya. “Hasilnya cukup menggembirakan, sekitar 2 ton per ha. Nanti tiga bulan lagi atau sekitar November akan panen lagi,” papar Ancis.
Diakuinya, setelah panen perdana itu langsung didatangi banyak pembeli. Bahkan ada juga dari Kupang yang mau membeli 15 ton sekaligus. Namun khusus calon pembeli terakhir ini untuk sementara terpaksa ditolak karena stok yang tersedia masih jauh dari cukup.
Selain untuk kebutuhan makan bersama keluarga di rumah, sebagian sorgum dari kebun Ancis dipasarkan. Jika sudah berupa beras sorgum, harganya Rp 11.000 per kilogram (kg). Selanjutnya kalau sudah diolah dalam bentuk bubuk, harganya Rp 25.000 per kg.
Menjajikan
Erdo Kaseh (35) asal Amarasi, Kabupaten Kupang, sejak tahun 2014 menanam sorgum di Likotuden (Flotim). Erdo yang adalah satu dari 45 anggota Koperasi Likotuden, mengaku berkebun sorgum sangat menjadjikan. Penghasilan dari menanam sorgum sangat membantu perekonomian keluarga. Bahkan, pria yang mempersunting gadis Likotuden itu kini memiliki sebuah rumah tembok dari hasil menjual sorgum.
Keberhasilan para petani sorgum di Likotuden pernah membawa mantan Gubernur NTT (Alm). Frans Lebu Raya melakukan panen perdana sorgum di kampung itu tahun 2015 silam.
Meski begitu, masih ada kendala serius yang dihadapi petani Likotuden dan sekitarnya. Di antaranya keterbatasan peralatan atau mesin pengolahan hasil sorgum, seperti mesin perontok, mesin penggiling biji jadi beras sorgum dan mesin penepung.
Sebagai contoh mesin perontok hanya satu unit milik Koperasi Likotuden. Pada saat musim panen, praktis terjadi antrean panjang untuk perontokan. Erdo Kaseh mengharapkan dukungan pemerintah membantu tambahan mesin perontok dan mesin pengolahan hasil sorgum.
Petani Likotuden sangat terbantu terutama menyusul kehadiran Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) atas prakarsa Maria Loretha. Yayasan yang juga dipimpin Maria Loretha tak hanya gencar mendorong pengembangan sorgum. Yaspensel juga berupaya menyediakan bibit/benih, pendampingan, kegiatan paskapanen hingga pengolahan dan pemasaran hasil sorgum.
Kini, para petani sorgum di Likotuden telah membentuk sebuah koperasi (Koperasi Likotuden) yang beranggotakan 45 petani sorgum. “Semua hasil panen dibeli oleh koperasi kemudian ditampung di gudang Yaspensel di jalan masuk kampung Likotuden. Harga beli dari koperasi sekitar Rp 9.000 per kg. Selanjutnya Yaspensel yang menjual keluar,” ujar Erdo Kaseh.
Ketua Koperasi (Sorgum) Likotuden, Lambertus Belang Werang, mengatakan sebelum ada koperasi, para petani tergabung dalam kube atau kelompok usaha bersama petani sorgum pada tahun 2015.
Sorgum di kampung itu pertama kali dikenalkan oleh Maria Loretha. Ketika itu kebetulan panenan jagung dan padi dari kebun ladang gagal. Ibu Maria Loretha datang membawa benih sorgum. Lalu sejumlah petani coba menanamnya secara tumpang sari bersama benih jagung dan padi.
“Dalam perjalanana padi dan jagung mati tetapi sorgum hidup. Mulai saat itu kami bentuk kube dan sekarang jadi koperasi sejak 2021 dengan anggota 45 orang,” sebut Lambertus.
Ia mengakui, tanaman sorgum sangat membantu masyarakat dari sisi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan. “Kalau tanpa sogum, wilayah kami ini terus terjadi rawan pangan karena jagung dan padi untung untungan bisa tumbuh,” katanya.
Ia juga menyebut, pengembangan sorgum sangat mudah karena sekali tanam dipanen selama tiga kali. “Pada awal tahun ini di saat hujan banyak kita tanam. Tiga bulan berikut panen sekaligus pangkas. Begitu seterusnya hingga tiga kali panen dalam setahun.
Lambertus juga sangat memahami keluhan para nggota kelompok koperasi yang masih kekurangan alat perontok, pencacah dan penggiling sorgum. “Kami ada mesin perontok tapi selalu macet dan itu ukuran mini. Kita butuh mesin yang besar yang bisa hasilkan olahan lebih banyak dan cepat. Kami juga butuh mesin penepung, pengosoh dan pengayah untuk membesihkan sorgum dari kulitnya. Sebelum ada mesin kita manual saja pakai tumbuk,” katanya.
Esy Kung, salah seorang petani sorgum Likotuden mengatakan, sorgum yang ditanam oleh semua masyarakat hanya mengandalkan humus tanah. Tidak pernah menggunakan pupuk kimia. “Kami bersyukur ada sorgum untuk membantu perekonomian kami. Saya tanam lalu jual sendiri. Saya belum masuk koperasi. Saya jual bebas saja, ada yang datang beli langsung. Saya buat dalam bentuk tepung, harganya Rp 25.000 per kg,” katanya.
Ibu Rumah Tangga yang juga berjualan di depan SMK ANCOS ini mengaku punya lahan sorgum sekitar 1 hektar. “Hasil dalam 1 hektar sekitar 1,5 ton. Tahun ini saya tanam setengah hektar saja, sisanya saya buat tanam padi. Sekarang saya punya sorgum sudah panen, tiggal rontok dan dibuat jadi tepung untuk dijual,” sebut Mama Esy Kung.
Tak berlebihan untuk mencatat bahwa budidaya sorgum kini sudah menjadi keunggulan kampung gersang Likotuden dan sekitarnya. (*)