Sambilewa,  Jejak  Keramat Melukis Makna

Batu megalit peninggalan leluhur di Sambilewa. Foto/ist

BORONG KABARNTT-CO Sambi Lewa. Sebuah nama tempat. Kampung tua. Lokasi pemukiman manusia perdana orang Rongga. Suku Nggeli, khususnya. Menyusul Suku Motu. Dua suku ini bertetangga. Kerabat dekat.

Sambilewa bukan sekadar nama. Tetapi ada sesuatu yang abadi. Sebab di lokasi itu, ada peninggalan-peninggalan yang mewaris. Peninggalan itu masih berdiri kokoh. Utuh. Meski diantaranya dilumuri lumut kusam. Peninggalan itu juga unik. Menarik. Tak ada tandingannya.

Bacaan Lainnya

Ada dua loh batu raksasa. Berdempetan. Bentuknya khas. Di beberapa titik ada kuburan leluhur. Terdapat pula menhir dan megalit. Formula menhirnya aneka macam.

Jauh sebelum Manggarai Timur otonom, peninggalan-peninggalan itu terkulai lemas. Tak terurus. Namanya dielus manja tapi dilupakan. Bagai sepoi angin ditelan bumi. Bejana indah itu pun tak lebih seperti mutiara di tengah semak. Tidak  akrab  di gendang telinga masyarakat publik. Jangankan untuk konteks nasional, untuk masyarakat  Manggarai Raya  sendiri pun masih asing. Maka tidak heran bila potesi wisata itu  seperti  mosaik-mosaik tak bertuan. Luput dari perhatian. Jauh dari ingatan.

Padahal lokasi wisata tersebut memiliki potensi luar biasa. Bukan saja jejak peninggalannya, tetapi pesan moral di dalamnya. Pesannya membekas. Kuat. Menggigit.Bertenaga. Mempresentasekan peradaban masyarakat Rongga  umumnya dan Suku Nggeli dan Suku Motu pada khususnya.

Lama nian potensi ini dilupakan.  Nyaris lenyap dari awasan. Luput dari perhatian dan ingatan. Kecuali turunan Suku Nggeli dan Suku Motu sendiri. Dua suku ini tetap  menaruh hormat. Masih akrab dengan tempat itu.  Saat-saat tertentu berkunjung ke sana. Membersih-kan rumput-rumput liar. Seraya  mempersembahkan sesajian bagi leluhurnya.

Kecuali itu. Tak jarang pula. Secara  kebetulan. Sesekali  potensi wisata itu perkenalkan ke ruang publik. Pada moment-moment tertentu. Saat-saat tampak yang terkesan bernyawa. Selanjutnya? Belum diberdayakan  maksimal agar  berdampak  luas bagi daerah dan masyarakat setempat.

Akhir-akhir ini. Bersyukurlah. Pemerintah Manggarai Timur mulai melirik potensi itu. Meski belum disentuh lebih dalam dan akrab. Jauh terjangkau. Dikelola lebih elegan. Lebih  profesional. Lebih bermartabat. Yang ada  masih sebatas inventaris. Meski, sesekali ada perhatian lebih, lalu hilang lagi. Belum berkelanjutan, terencana dan terukur. Dan ini, memang, kita harus akui Manggarai Timur daerah baru. Nalar pembangunan di daerah baru selalu dalam napas ini. Bertahap pelan dan berkelanjutan. Terencana dan terukur. Sesuai kemampuan sehingga dampaknya jelas dan menyentuh.

Watu Susu Rongga merupakan salah satu peninggalan sejarah. Terletak di lembah Sambi Lewa-Palehoza, Dusun Mausui, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT.

Lokasi itu berdempetan dengan padang savanna. Tak jauh dari bibir pantai Selatan. Sekitar 6 KM arah Barat Waelengga, pusat Ibukota Kecamatan Kota Komba. Atau 20-an KM arah Timur dari Kota Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur..

Perjalanan ke sana  dapat ditempuh dua arah. Timur dan Barat. Dari arah Timur  tidak rumit. Enteng saja. Berangkat dari Waelengga bisa menggunakan kendaraan apa saja. Mobil jadi. Sepeda motor, ok. Jika menggunakan sepeda dayung juga bukan perkara sulit. Lebih enjoi lagi.

Mulai  dari cabang jalan Gereja St. Arnold Waelengga. Kita menyusur jalan aspal. Melewati Kampung Wae Wole dan Lekolembo. Lalu menanjak ke  Padang Sengga Sulu. Menyusul sedikit landai kita akan tiba di  Jerekota. Lalu masuk  dataran  Mausui.

Di Mausui kita akan mendapatkan ratusan ternak  berkubang  bebas di muara sungai itu. Serong arah kiri kita berhadapan dengan deburan ombak. Menatap laut biru. Sejauh mata memandang. Selanjutnya kita menanjak pelan melintasi rebis tipis Wai Jo.

Setibanya di dataran Woi Jo kita akan berjumpa dengan permadani rumput hijau. Hela napas sejenak di pohon keramat Nunu Langgo. Selanjutnya  kita berjalan pelan menuju pintu masuk  kawasan hutan Sambi Lewa.

Sekitar tiga  puluh menit  perjalanan dari Waelengga, kita   sudah tiba di tempat itu. Mata kita akan sungguh dimanjakan. Tak jua berkedip. Kita justru nanar menyaksikan panorama alam yang khas dan unik.

Selain  pemandangannya menarik,  kesan magis dan mistik  terasa kental. Hal itu  erat kaitan dengan keberadaan  Watu Susu Rongga dan batu megalit. Dua jenis peninggalan ini  membahasakan kekuatan. Konon di bawah batu megalit  ada jasad yang  dikuburkan. Jasad para penghuni perdana.

Watu Susu Rongga membahasakan jejak perjuangan mengamankan diri dan lingkungan kampung. Sebab  batu itu, sesuai kisahnya, mau menutup pintu jalan masuk kampung. Khawatir ada serangan musuh. Sebab  kala  itu, konon katanya. Perang berkecamuk di mana-mana. Yang kalah  bakal jadi hamba sahaya. Yang masih gadis akan jadi budak seks. Yang melawan dihabiskan. Jika perlawanan sekampung, maka kampung itu dibumihanguskan. Demikian potongan kisahnya, mengapa dua loh batu itu dibutuhkan.

Semula hanya warga perdana Suku Nggeli yang menempati kawasan Sambi Lewa. Seturut kisah awal Suku Nggeli. Selepas  pendaratan di bibir Pantai Watu Sedhu, warga perdana Suku Nggeli itu sempat hela napas beberapa minggu. Seiring perjalanan waktu mereka mencari tempat yang lebih nyaman untuk memulai kehidupan baru. Maka Sambi Lewa jadi pilihan utamanya. Mulailah mereka berteduh di tempat itu seraya menenun  kehidupannya.

Namun kemudian, warga perdana Suku Motu menyusul ke Sambi Lewa. Bermukim di tempat itu. Ada kisahnya hingga warga Suku Motu berpindah dari Sarikondo  ke  Sambi Lewa. Praktis warga awal di Sambi Lewa, dua suku ini bertetangga.   Menurut tutur lisan dua  suku ini ‘bersaudara’. Tidak akan saling mengkhianati peradaban itu.

Seturut kisah lisan juga. Turunan perdana Suku Nggeli memiliki jiwa pemberani. Ada dua orang bersaudara yang terkenal. Yaitu, Jawa Tu dan  Nai Patty. Kakak beradik. Keduanya memiliki kemampuan luar biasa. Manusia talenta tinggi. Fisiknya tinggi besar. Otaknya cerdas. Memiliki senjata ajaib. Sosok keduanya disegani. Sekaligus  kebanggaan orang Rongga umumnya dan suku Nggeli khususnya.

Kisah heroik Jawa Tu Nai Paty dilukiskan. Konon, ketika Raja  Todo hendak berperang melawan Cibal. Saat itu posisi Todo sudah terjepit. Terancam kalah. Sebab dua kesempatan  berperang sebelumnya, pihak Todo selalu menderita kekalahan. Pertempuran ketiga sangat menentukan. Apakah Todo tetap bertahta sebagai pusat kekuasaan raja atau  kekuasaan raja bakal bergeser ke Cibal.

Maka utusan Raja Todo mendatangi Jawa Tu Nai Paty di Sambi Lewa. Tujuannya  memohon bantuan agar turut serta dalam peperangan melawan Cibal.  Membantu pihak Todo. Maklumlah sosok Jawa Tu Nai Patty sangat popular di zaman itu. Figur tenar dan disegani.

Maka berangkatlah  kakak-beradik ini ke sana. Setibanya di Todo, Jawa Tu Nai Patty  mendengar semua kisah pertempuran antara Todo-Cibal yang sudah berlangsung. Pimpinan pasukan Todo mengaku kekalahan mereka disebabkan kekuatan pasukan  Cibal  di bawah pimpinan, Nda Ne,e Panga.

Karena itu, malam hari sebelum perang Jawa Tu Nai Patty bertemu Raja Todo. Seraya bertanya, apakah Raja Todo memiliki butiran-butiran emas atau tidak!” Sebab seturut penglihatan  Jawa Tu Nai Patty, mematikan Nda Ne’e Panga tidak ada pilihan. Sebab kekuatannya dahsyat. Serangan dari sisi mana saja selalu berhasil dijinakkan Nda Ne’e Panga. Karena itu, pilihan mematikan Nda Ne’e Panga  harus menggunakan peluru emas. Lalu Raja Todo menyerahkan butiran-butiran emas yang tersimpan dalam sokal ukuran kecil.

Malam itu juga. Mulailah Jawa Tu Nai Patty  meracik satu butir peluru  emas.  Peluru ini diberi nama “Ana Ndeo”. Saat meracik peluru “Ana Ndeo”, Jawa Tu Nai Paty bersumpah terhadap peluru itu. Isinya berupa  ‘sura’ atau  sumpah. Isinya  demikian. “Peo-peo Ana Ndeo, paka mata Nda Ne’e Panga,”(Terjemahannya Ana Ndeo kami bersumpah dan memohon kepadamu agar ketika  butir peluru emas ini  dilepaskan  harus tepat sasaran pada Nda Ne’e Panga,” kisah Markus Bana, salah seorang tokoh turunan Suku Nggeli.

Seturut kisah Markus Bana dan  Simon Liko. Ketika di medan perang konsentrasi Jawa Tu Nai Patty hanya tertuju pada Nda Ne’e Panga. Beberapa warga Todo membantunya untuk memastikan sosok Nda Ne’e Panga itu.

Saat mendatangi lokasi perang, Nda Ne’e Panga menunggang kuda jantan putih. Lengkap dengan peralatan perang. Pimpin pasukan tempur dari Cibal. Seketika itulah Jawa Tu Nai Patty melepaskan satu tembakan menggunakan butir peluru emas Ana Ndeo itu. Dua..ar, Nda Ne’e Panga pun jatuh tersungkur bersama kuda jantan putih tunggangannya.

Selanjutnya, pasukan Todo secara enteng menyerang habis-habisan pasukan Cibal. Tiada maaf… Membakar semua rumah dan membunuh seluruh warga. Membumihanguskan perkampungan Cibal. Sejak saat itulah  Cibal dinyatakan kalah. Kekuasan raja pun tetap bertahta di Todo.

Yang berhasil meloloskan diri hanya seorang gadis perawan. Gadis itu diselamatkan karena memohon kepada pimpinan perang pasukan Todo agar tidak dibunuh. Diceritakan, gadis itu sangat cantik. Gadis sempurna. Sang gadis bersedia dijadikan apa saja. Asalkan dizinkan  tetap hidup. Permintaan sang gadis  pun dikabulkan. Gadis tersebut  dibawa ke Todo.

Sesuai rencana semula. Setibanya di Todo, gadis tersebut akan dipersembahkan bagi pimpinan pasukan perang. Raja Todo. Tetapi Raja Todo  keberatan. Tidak tega. Tidak bersedia menjadikan gadis itu sebagai istrinya. Sempat juga  ditawarkan kepada Jawa Tu Nai Patty memperistrikan gadis itu. Atau dijadikan pelayan. Tetapi Jawa Tu Nai Patty menolaknya.

Karena itu disepakati. Sebab  dibiarkan hidup layaknya sebagai warga biasa  khawatir akan jadi sasaran empuk Raja Bima. Maka  gadis malang itu pun dibunuh. Lalu  dikuliti tubuhnya. Kulit tubuh bagian perut dijadikan gendang. Gendang keramat yang dibabtis dengan nama ‘Loke Nggerang’. Gendang  bersejarah warisan pusaka Todo. Saat ini gendang itu masih abadi di rumah adat Todo.

Sementara untuk Jawa Tu Nai Patty, atas bantuan terlibat dalam peperangan melawan Cibal, Raja Todo merasa berutang  budi. Sementara tawaran untuk jadikan istri, gadis asal Cibal yang selamat itu ditolak. Maka kepada Jawa Tu Nai Patty diminta menyebut satu permintaan khusus. Permintaan  apa saja. Raja Todo siap mengabulkannya.

Sesungguhnya Jawa Tu Nai Patty tidak menghendaki apa-apa. Sebab namanya juga bantuan. Tidak harus mendapat imbalan. Lantaran terdesak oleh permintaan Raja Todo, maka Jawa Tu Nai Patty hanya minta supaya butir emas sisa racikan peluru emas  Ana Ndeo dijadikan oleh-oleh pulang. Permintaan itu dikabulkan.

Maka bawalah Jawa Tu Nai Patty butir-butir emas itu. Kemudian butir emas itu diolah sebagai kekayaan dan peninggalan bersejarah. Hasil olahan butir-butir emas itu masih abadi di rumah adat Suku Nggeli di Lekolembo-Mausui. Meski beberapa diantarannya sudah ‘raib’ akibat ulah tangan-angan jahil sesama warga Suku Nggeli sendiri.

Namun, bagi Raja Todo  oleh-oleh butiran emas yang diserahkan untuk Jawa Tu Nai Patty tidak cukup sepadan jika disandingkan dengan bantuannya. Sebab Todo menyadari tanpa bantuan Jawa Tu Nai Patty, pasti  pihak Todo  kalah lagi. Kekuataan Nda Ne’e Panga tidak bisa dijinakkan. Meski dengan segala cara. Nda Ne’e Panga tokoh super man dengan kekuatan super pula. Laut, darat, dan udara beres. Semua ada penangkalnya. Nda Ne’e Panga miliki itu semua.

Lambat-laun, Raja Todo mencari solusi lain. Yakni, perlu adanya ikatan   kuat antara Todo dengan Jawa Tu Nai Patty. Maka disepakati dalam bentuk  hukum adat. Yaitu, Raja Todo dan turunannya menjadi anak rona dan turunan Jawa Tu Nai Paty sebagai  anak wina.

Sekembalinya dari peperangan Todo, Jawa Tu Nai Patty menjalankan kegiatan hariannya di Sambi Lewa. Hidup layaknya dengan warga sekitar. Namun beberapa tahun kemudian. Lambat laun  kondisi lingkungan dan perkampungan  di Sambi Lewa dan sekitarnya mulai terancam. Terutama maraknya pencarian manusia untuk dijadikan hamba sahaya  dan serdadu perang. Apalagi Jawa Tu Nai Patty sudah tua. Tenaga dan kekuatannya sudah kusut.

Karena itu Jawa Tu Nai Paty bersama warga setempat sepakat  mendatangkan dua loh batu besar untuk  menutup pintu gerbang masuk kampung.

Menurut kisah lisan, sebagaimana dituturkan Markus Bana. Jawa Tu Nai Patyy mengirim utusannya   mencari batu sesuai kebutuhan itu. karena itu, hampir seluruh wilayah Manggarai ditelisik. Mencari batu  dimaksud.

Ketika utusan  Jawa Tu Nai Patty hendak pulang, mereka menyisir wilayah selatan. Saat itulah mereka menemukan dua loh batu yang dibutuhkan itu. Dua  loh batu yang dimaksudkan itu, ada di Watu Lajar-Todo.

Utusan Jawa Tu Nai Patty menginformasikan lokasi dua loh batu itu ditemukan. Maka Jawa Tu Nai Patty mengutus utusannya untuk bertemu Raja Todo. Meminta  agar dua loh batu itu dizinkan, untuk dipindahkan ke Sambi Lewa.

Lantaran antara Raja Todo dengan Jawa Tu Nai Patty ada hubungan khusus, maka Raja Todo tidak keberatan dengan permintaan itu. Dua loh batu diizinkan, jika sangat membutuhkan.

Maka sesuai rencana berangkatlah delapan orang  utusan Jawa Tu Nai Patty  pergi ke Watu Lajar-Todo untuk angkut dua loh batu itu. Anggota rombongan termasuk salah seorang pria asal Bajawa. Kebetulan pria itu sedang berada di Sambi Lewa. Ketika mendengar rencana akan pergi ke Watu Lajar-Todo, pria asal Bajawa itu  menawarkan diri untuk ikut. Jawa Tu Nai Patty tidak keberatan dengan tawaran itu. Asalkan pria asal Bajawa itu patuhi seluruh perintahnya.

Sebelum  berangkat ke  Watu Lajar-Todo  delapan orang utusan ini mendapat wejangan dari Jawa Tu Nay Patty. Tujuannya agar mereka  selamat dalam perjalanan. ‘Bersih’ dari godaan. Sebab mereka pergi tanpa membawa apa pun. Meski demikian mereka harus ekstra hati-hati. Bagaimana proses mengambil dua loh batu itu agar bisa tiba di pintu masuk kampung sebelum ayam berkokok tiga kali.

Proses evakuasi berjalan lancar. Dalam waktu sekejap dua loh batu itu sudah mereka angkut. Hal itu diyakini karena leluhur Todo  merestuinya. Dua loh batu ini menjadi tanggung jawab delapan utusan. Mereka terbagai dalam dua kelompok. Kelompok pertama bagian depan batu. Kelompok kedua bagian belakangnya.

Mereka pikul batu itu hingga tiba di tengah kampung  Sambi Lewa sebelum larut malam. Maka diputuskan untuk istirahat sambil menunggu tanda ayam jantan berkokok agar batu itu boleh diletakkan pada tempat  di Nua Komba-pintu masuk kampung.

Cukup lama mereka istirahat. Bahkan ada diantara mereka nyenyak tidur. Setelah ayam berkokok tiga kali mereka  mulai bergegas angkut batu itu. Apesnya pada saat itu bagian pinggir salah satu sudut batu  menyentuh ‘bere’ (tas dalam bahasa lokal Bajawa)  warga asal Bajawa yang ikut serta dalam prosesi angkut batu itu.

Ternyata  dalam tas  itu berisi  seekor anak anjing yang sengaja dia ambil dari  kolong rumah  warga Watu Lajar-Todo ketika proses angkut  dua loh batu  itu. Seketika itu  pula terjadilah siang. Batu itu pun tidak bisa diangkut lagi. Batu tetap berdiri angkuh di sudut  kampung. Kemudian batu ini popular disebut Watu Susu Rongga. (kanis lina bana/bersambung)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *