Renungan Akhir Tahun :  Kita Memang Mesti Berhenti Sejenak

Kons Beo6

Oleh : Pater Kons Beo, SVD

Peristiwa hidup tidak memiliki makna tertentu, namun kitalah yang merumuskan makna atas seluruh peristiwa”

Bacaan Lainnya

(Anthony Robbins, penulis-motivator-Amerika Serikat, 1960)

Sekadar satu kisah

 Piazza San Pietro. Lapangan Santu Petrus, di Kota Roma. Adakah yang lain, yang mesti ditangkap dari pancarannya dari sekadar suatu keramaian? Di Minggu, 25 Desember 2022, iya tepat di Hari Raya Natal kemarin itu, kehadiran ‘diri saya’ jadi satu ‘sumbangan’ untuk keramaiannya.

Sebenarnya, tak ada niatan nan mendesak untuk ke situ. Tapi sudahlah.  Biar sekadar isi waktu sajalah. “Mama mia…!” Di sekitar pukul 11 siang ‘itu ke sana’ beberapa entrata (tempat masuk) sudah padat orang. Dan sudah pada antrian panjang lagi.

Seperti biasa. Untuk kesempatan meriah seperti itu, mesti dicek satu per satu barang bawaan. Jangan-jangan bisa terjadi ‘apa-apa’ nantinya. Namun, peziarah tetap tertib dan sabar.  Untuk pada gilirannya bisa lewati jalur masuk itu.

Saya sendiri tertahan masuk. Padahal jaket, dompet, kunci kamar, HP, dan jam tangan, ‘sudah aman lewati alat pemeriksa.’ Rasa gugup dan khawatir muncul seketika. ‘Barang-barang sudah lewat. Tapi pemiliknya, saya sendiri, masih tertahan.’ Apakah gugup dan kekhawatiran itu karena adanya sedikit ‘virus kelekatan’ akan barang milik? Entahlah!

kons beo
Kota Valletta – Malta, di hari-hari penghujung 2022

Selidik punya selidik, ternyata soalnya ada pada ikat pinggang yang masih melekat. Harus dilepas sementara juga barang itu. Demi lewati alat deteksi. Alhamdulilah, celana agak pas juga tanpa ikat pinggang. If not, bisa kedodoran lah. Dan di tempat seramai itu?

Satu dalam pecahan-pecahan

Tapi mari kita lajut ceritanya. Piazza seluas itu tampung sekian banyak peziarah dalam ‘pecahan-pecahannya.’ Entahlah kelompok-kelompok itu terikat oleh apa? Intinya, yang berbeda-beda, yang saling tak tahu persis dari mana asal.  Yang nyata-nyata beda bahasa hingga warna kulit dan perawakan. Namun, semuanya bersatu-padu di situ!

Dan ada saatnya, ketika kepenatan dan rasa hati tak karuan di antrian tadi segera jadi berubah. Ini tentu bukan karena tampilan dan suara Paus yang tertatap dan ditangkap. Walau tentu ada aura spesial yang tercipta. Tetapi, Sri Paus, saya yakin, bukanlah protagista. Mungkin hanya tampilan dan suara Bapa Suci sajalah yang jadi ‘mediasi untuk mempersatukan aneka perbedaan itu.’

Namun, tak mungkin 100 % yang berjubel itu semuanya pada mengerti bahasa Italia. Lalu, untuk apa beramai-ramai ke satu titik kumpul? Yang tak disatukan oleh bahasa yang tak dimengerti? Ada kah sesuatu yang lain yang bisa bikin  manusia dapat saling terhubung satu dengan yang lain? Tapi mungkin ini jawaban sebaliknya.

Berziarah menuju diri sendiri

Di tempat keramaian seperti itu, tak selamanya massa membludak itu mesti terpintal dan terus tertenun dengan yang lain. Terkadang, di keramaian seperti itu, orang mesti  belajar merasa dan mendapati dirinya sendiri yang ‘kosong’ dan bahkan ‘telanjang.’ Dalam satu kerumunan yang sungguh  ‘ber-ketiadaan dan ber-ketanpaan.’

Mari kita terus bertolak ke permenungan lanjut.

Terkadang popularitas, ketenaran, bakat, kesanggupan, nama besar dan meroket, serta panggung multi talented terasa bagai jala-jala demi menjaring khalayak. Tapi, ini bisa berakibat pada jebakan arus publikasi diri. Katakanlah sebagai riak-riak strategi pencitraan.

Terdapat keinginan untuk menjadi orang yang dicari dan dimpikan. Jadi ‘someone needed in every crisis.’ Jadi rujukan pasti demi pecahkan soal sana-sini.

Pengakuan versus Pembebasan

Tetapi, sekiranya ada kesanggupan untuk ‘masuk dan berenang’ di lautan massa a-nonim. Artinya, biarlah menjadi orang apa adanya. Iya, untuk dapat temukan diri sendiri seutuhnya walau tak sesempurna tentunya. Itulah diri yang tak terjebak dan terkepung berlapis-lapis oleh rupa-rupa pengakuan. Yang jauh dari hiruk pikuk puja puji penuh sanjungan.

‘Terlebur dan berenang’ di dalam lautan massa, dan bukannya tenggelam atau bersembunyi dalam kepemilikan  massa,’ adalah tanda untuk satu dinamika dari of crowded to off-crowded. Dari ‘manusia popular-massif’ menuju ‘manusia bebas-libur-tak terkonek’ pada massa. Agar sungguh jadi manusia yang hening di dalam diri sendiri.’

Dari hari-hari yang sungguh sumpek dan sibuk, kiranya day-off mesti diaransir dan terlebih-lebih mesti dialami pula. Tidak kah “kata off sendiri menegaskan keadaan terlepas?”  Di situ, manusia maklumkan ‘pelepasan dirinya’ dari apa pun yang mengikat. Yang membuatnya ‘hidup di bawah bayang-bayang apa pun dan dari siapa pun.” Dari bayang-bayang positif yang manipulatif. Pun dari yang sifatnya peyoratif.

Bisa terjadi, misalnya, ‘kualitas orang besar’ yang tertempel pada diri kita, adalah sematan dari sesama yang tak pernah tahu siapa kah kita sebenarnya. Pun dari sesama dan orang-orang yang ‘jadi kepunyaanku.’  Ataukah ada sekian banyak usaha bergelombang dan menderu-deru dari diri sendiri untuk diakui dalam kualitas sebagai ‘orang besar dan penting.’

Begitu pun sebaliknya, ketika stigma suram yang tertempel pada diri.  Semuanya bisa saja datang menderu dari ‘yang bukan sedarah, seasal, sebahasa, sedialek, senasib, dan terlebih dari yang tidak se-kepentingan atau merasa kepentingannya terancam.’

Sebab pada titik tertentu, orang bisa merasa merdeka serentak dijajah sekaligus oleh unsur yang sungguh arkais-primordialik, yakni Blut und Boden, pertalian ‘darah dan tanah’ seperti yang disinyalir oleh Svetlana Boym, penulis budaya Amerika – Rusia.

Menjadi Manusia Bebas-Merdeka?

Orang hanya mau merasa diri ‘manusia’ jika memang berhasil mendepak ‘yang bukan sedarah dan  bukan setanah asal.’ Orang sungguh merasa ‘pribumi,’ ketika segala yang diberi label non-pribumi terhalau tuntas. Orang merasa menang saat yang ‘sedarah dan setanah asal’ itulah yang mesti dimahkotai.

Ini kiranya persis seperti ‘orang yang merasa diri sungguh beriman – taqwa pada Yang Mahakuasa hanya karena berhasil ‘bikin mati kutu’ semua yang tak seagama. Yang merasa diri saleh dengan modal murahan melaknatkan yang lain.

Tetapi, sekiranya siapapun dapat tiba di titik off. Bahwa terdapat dinamika liburan, kosong, hampa, ketiadaan dari siapapun dan apapun. Yang tak terbelenggu dari virus ketergantungan. Ibarat kepemimpinan yang mesti ‘nyaman dan bebas.’ Yang sungguh merdeka dari rasa  kejepitan di bawah bayang-bayang ketiak senioritas yang masih tervirus oleh Post Power Syndrome.

Karena itu, sungguh ada bagusnya, jika satu momentum jedah sejenak diciptakan. Di situlah setiap orang dapatkan kembali peluang untuk bercengkeramah indah dengan ‘diri sendiri.’ Tetapi, bukan kah pulang kepada diri sendiri sungguh adalah satu perjalanan jauh dan tersulit?

Sebab, orang sudah pada ketagihan dalam afirmasi diri penuh heboh. Pada apapun aksi teatrikal yang dahaga akan pengakuan. Ketika massa dipakai sebagai dasar kebenaran dan pembenaran.

Akhirnya…

Di Piazza San Pietro yang ramai membludak itu, ‘ada jalan dan terowong sunyi untuk pulang pada diri sendiri.’ Saat masing-masing orang kembali pada keasliannya. Ketika ‘saling tidak peduli’ mesti ditangkap positif. Toh, ini bukanlah ketidakpedulian yang berseberangan total dari perhatian penuh kasih.  Bukan!

Ini ‘cuma’ satu jalur self discovery yang lurus. Tanpa dimangsa bayang-bayang ini dan itu. Iya, termasuk bayang-bayang Blut und Boden itu. Namun, ini benar-benar satu sikap dan tindakan off  yang sungguh mulia.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait