Perang Narasi di Kisah Sedih Mai Cenggo, Labuan Bajo

Kons beo3 1

Oleh P. Kons Beo, SVD

Memang sudah diduga. Makin membesarlah kisah sedih di Restoran Mai Cenggo, Labuan Bajo. Kisah itu terjadi di siang hari, Selasa, 24 Mei 2022. Sekian banyak postingan yang dapat terbaca di berbagai media sosial.  Banyak yang sesalkan. Mengapa peristiwa itu mesti terjadi? Seorang pejabat publik, yang memiliki kedudukan sebagai wakil rakyat di Senayan, diduga telah lakukan kekerasan. Apakah benar pejabat itu telah lakukan kekerasan? Kita semua memang mesti berabar tentang ini.

Bacaan Lainnya

Indikasi ke arah sana memang besar, jika dilihat dari rekaman CCTV. Tetapi ada alibi dari yang diduga sebagai pelaku kekerasan. Sebab katanya, “Saya mendorong mukanya si karyawan dan mengingatkan agar perlakuan terhadap pengunjung sopan dan santun…” Selanjutnya narasi pun ditiup yang intinya: mengapa harus terjadi?

Si pelaku merasa ‘berhak mendorong muka si karyawan’ yang dianggap telah ‘berlaku biadab alias tidak beradab.’ Di sini tentu ada narasi bernuansa  ‘santun dan tahan diri’ dari sang pejabat. Sebab walau ia dan orang-oranya ‘diperlakukan biadab atau tidak beradab’ ia ternyata hanya ‘sebatas mendorong muka karyawan itu.’

Selanjutnya ada citra pedagogik yang dihembuskan si pelaku. Maksudnya demi efek sosial, terutama bagi para pemilik restoran di Labuan Bajo. Bila dilukiskan dalam ‘bahasa pasar’ kira-kira maksudnya, “Labuan Bajo ini destinasi level super-premium, maka gerak laku dan tutur kata sepantasnya harus berlevel super premium pula.” Artinya hargailah ‘tamu-tamu yang datang: yang masuk restoran atau rumah makan, yang masuk hotel, yang bepergian dengan travel, dan seterusnya.’

Tampaknya sungguh malang dan terpojok si Mai Cenggo itu. Litania frase dan diksi yang dipilih juga bukan sembarangan. Terseleksi ketat dengan tendensi efek jerah sosial itu: “disuruh keluar, pakai celana pendek, baju kaos, lagi lusuh, kerja kebun, diperlakukan semena-mena, tidak manusiawi.” Apakah kira-kira maksudnya: ‘Sebab saya pakai celana pendek dan kaos lusuh dan dari kebun (rapresentan kaum kecil sederhana?) makanya sesuka hatinya kalian mengusir kami?’

Jika demikian, maka bisa dimengerti seandainya si pelaku harus ‘beberapa kali menampar wajah si petugas.’ Namanya api emosional bisa cepat terbakar membara. Sudah siang hari ‘panas-panas Labuan Bajo, belum makan dan baru saja datang dari (kerja) kebun.’ Pasti terasa penat, lapar dan dahaga.  Dan lalu harus diperlakukan sekian itu?

Sungguh mulia hati si pejabat itu, yang sekali lagi,  walau diperlakukan sedemikian tetap sebatas ‘mendorong muka saja.’ Masih amat ‘santun dan terhormat’ ia terhadap si ‘Mai Cenggo yang sungguh tak santun itu.’

Tetapi, yang dinarasikan oleh si pelaku (pejabat) ternyata sungguh bertolak balik dengan apa yang dikisahkan pihak ‘Mai Cenggo.’ Bila diringkas, maka isinya sebagai berikut: “tempat yang diduduki si pelaku adalah meja group, si pelaku diminta pindah meja dengan santun, ada minta maaf pihak restoran karena telah tak membuat nyaman, dan semuanya direaksi pelaku dengan empat kali tamparan.”

Kini, narasi persoalan sudah di meja Polres Manggarai Barat. Pertarungan antara ‘perbuatan biadab vs hanya sebatas sorong muka/tampar’?’ ini patut disesalkan. Tidak mungkinkah dibuat satu pertemuan demi ‘baik-baik kembali’? Cari jalan terbaik untuk berdamai? Di sini pasti butuh kekuatan hati untuk ‘akui kekurangan dan kesalahan demi berdamai kembali.’

Kisah getir ini tentu jadi pelajaran berarti bagi Mai Cenggo. Perlu sungguh berhati-hati dengan kondisi psikologis setiap pengunjung. Ada pengunjung yang damai dan sejuk di hati, ada yang ceriah, tetapi ada pula yang bisa cepat terbakar emosi hatinya. Tetapi intinya, Mai Cenggo mesti sopan dan selalu santun demi apapun variasi kondisi psikologis setiap pengunjung.

Salut buat bagi Mai Cenggo yang walau ‘cuma didorong muka ataukah ditampar beberapa kali’ tampak tetap tenang. Tak bereaksi kasar (terlihat di rekaman CCTV). Mungkinkah ini karena  Mai Cenggo telah sadar bahwa telah berlaku ‘tidak beradab atau biadab’ terhadap pengunjung? Bisa dibayangkan andaikan dari pihak Mai Cenggo ada pula reaksi fisik? Bukankah bisa berakibat lebih fatal?

Tetapi, seandainya memang si pejabat itu ‘nyata-nyata telah lakukan tamparan karena sikap tidak sopan Mai Cenggo,’ tentu ada hal yang tetap jadi pelajaran pula. Sebenarnya, itu adalah kesempatan indah bagi pejabat wakil rakyat di Senayan itu untuk mendidik dengan lembut rakyat yang diwakilinya ‘yang lagi cari makan.’ Ringkasnya seandainya ada ‘bicara dengan tenang.’

Bila Mai Cenggo bersalah, ‘tegurlah di bawah empat mata untuk mendapatkan kembali citra Mai Cenggo sebagai restoran yang punya nama.’ Ketenangan hati dan kesabaran memang sebuah ‘harga mahal yang mesti dipertaruhkan.’

Mungkin terlalu biblistik untuk mengatakan “meskipun berwujud orang besar, pejabat, orang penting, berpengaruh, punya kuasa, punya reputasi, berpangkat atau bergelar akademik, setiap orang terundang untuk ‘merendahkan diri dan menjadi sama dengan saudara-saudari kita yang lain” (cf surat Rasul Paulus, Filipi 2:5-8). Tentu di ujungnya ‘yang hina dina diangkatnya, sementara orang kaya disuruh pergi dengan tangan kosong….’

Restoran, warung makan, kedai kecil pinggir jalan, jualan gorengan tahu isi atau pisang molen, bakso, mie ayam, terang bulan, gado-gado atau pecel lele dan seterusnya-seterusnya adalah ‘wahana orang atau masyarakat cari makan (cari hidup) demi menjaring siapapun yang lagi cari makanan. Di situlah alam hidup dan kenyamanan hidup ditata. Iya, demi kebaikan dan kekariban antar manusia.

Verbo Dei Amorem Spiranti.

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait