Paulo Bento di Antara Portugal dan Korsel

Kons beo5 1

Oleh P. Kons Beo, SVD

Mestikah Paulo Jorge Gomes Bento berwajah kembar penuh gelisah? Persis di dua puluh tahun lalu itu, ia jadi pemain Timnas Portugal. Berkiprah di putaran Final Piala Dunia 2002 Jepang-Korsel.

Bacaan Lainnya

Sejarah kenangkan kekalahan Portugal yang dramatis. Tumbang dihantam Korsel 0 – 1. Gol kemenangan Park Ji-sung di menit 70 kala itu memaksa pulang Paulo Bento dkk. Mereka terhenti. ‘Terusir’ dari putaran 16 besar.

Pulang seterusnyakah Paulo Bento ke negerinya Portugal? Tidak! Tidak, ternyata tidak. Paulo mesti kembali lagi ke Korsel. Dan kini, ia malah jadi Pelatih Korsel untuk Piala Dunia Qatar 2022.  Undian putaran final menasibkan Paulo untuk bergabung dalam permusuhan Grup  H. Dan di situ ada pula Timnas Portugal, negeri asalnya sendiri.

Tak seperti Kosel, jalan penyisihan Grup H bagi Portugal tak ada hambatan di dua laga perdana. Ghana bertekuk 2 – 3. Urugai menyerah 0 – 2 dalam laga yang disinyalir penuh aroma ‘balas dendam Portugal.’ Sementara Korsel? Di dua pertandingan awal hanya punya nilai 1. Hasil seri kontra Uruguai. Hitung-hitung kemenangan dan produktivitas gol, Korsel harus menang versus Portugal di tarung akhir.

Dan semalam, di grup ada tarung sengit. Korsel, Ghana dan Uruguai mesti unjuk kekuatan. Agar bisa jadi teman pendamping Portugal ke 16 besar itu. Dan semuanya telah berakhir dalam kepastian. Sayonara untuk Ghana dan Uruguai. Menyedihkan memang. Banyak pengandaian muncul. Tafsiran kocak dan bahkan liar, seperti biasa, merebak sana-sini.

Portugal bisa keok di tangan Korsel? Sungguhkah? Jangan-jangan ‘ada pembiaran agar Korsel unggul.’ Dan itu jadi jalan tepat untuk hentikan Uruguai yang bisa saja masih didendami Portugal? Ataukah juga ada skenario diam-diam Paulo Bento dan Fernando Santos, pelatih Portugal, agar, itu tadi, kemungkinan besar jalan Uruguai tertutup? Iyalah, Piala Dunia tak luputlah dari kecurigaan dalam teori konspirasi.

Tapi, yang jelas duel sengit telah terjadi. Tak ada kesan liar penuh curiga. Selecao vs The Taeguk Warriors tampak sungguh untuk saling membunuh. Kemenangan tak hanya untuk jaga wibawa dan nama besar timnas. Lebih dari itu, ada perjuangan demi impian yang lebih besar.

Gol Ricardo Horta di menit ke 5 tunjukkan keperkasaan Portugal. Namun semuanya berakhir pada dahsyatnya semangat Korsel. Untuk menutup pertandingan dengan 2 – 1.  Itulah filosofi seadanya yang jamak terdengar, “Bola itu bundar, Bro!”

Mari pulang pada Paulo Bento. Satu dinamika kualitas perelasian terbaca darinya. Ia mesti ber-passingover dari ‘seorang pemain dulu’ dan lantas kini mesti jadi seorang pelatih. Korsel baginya, sebenarnya, adalah dua medan rasa yang tak berkarib mesrah. Antara ‘dulu musuh dan kini pendamping’ terbentang jarak waktu 18 tahun. Jangka waktu yang tak singkat.

Namun, semuanya sudah cukup untuk satu tranformasi diri, untuk tak harus menyesebutnya sebagai satu transformasi kepentingan. “Korea Selatan dulu harus dikalahkan, namun kini ia harus dimenangkan.”  Mari tafsir seluasnya. “Paulo Bento sesungguhnya telah ditobatkan di Korea Selatan.” Di 2002 itu, ia datang sebagai musuh untuk ‘menang dengan membunuh di lapangan, toh akhirnya ia ditaklukkan untuk jadi arsitek pemenang Korsel.’

Itulah seni dan gambaran dari satu dinamika kehidupan. Dalam dimensi apa saja. Tak terkecuali dalam koridor keagamaan sekalipun. Apa yang dilihat sebagai ‘lawan, musuh, yang mesti dihancurkan, atau yang mesti dibabat, sebenarnya adalah sesama yang mesti dilindungi, diperjuangkan dan dimenangi.’

Mungkin masih butuh berabad-abad untuk membuka pikiran dan terutama hati. Untuk ubah cara dan isi berpikir demi sikap yang sejuk terhadap yang lain.

Di sini, kita sebenarnya, belajar untuk alami hidup yang sering berubah dan tak pasti alurnya. Ada ‘yang bermusuhan, tapi bisa bekarib pada akhirnya.’ Ada pula yang ‘sungguh sungguh akrab, namun ternyata bisa retak yang berakhir pecah.’Sedih memang.

Tetapi, katanya, terlebih dalam dunia politik, “Tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.” Sebab itu, kenapa kita ribut dan terus meributkan kalau memang politisi itu akan terus berzig-zag dan berakrobat demi kepentingannya? Bukankah ini adalah satu kelumrahan?

Bagaimanan pun demi kepentingan yang positif dan bernilai, siapapun sepantasnya memilih mengalah demi kebaikan. Apalagi demi kebaikan umum. Jika tidak demikian, arus permusuhan yang dibalut dendam kebencian akan tetap berlarut-larut. Dan ngerinya lagi jika diturun-temurunkan.

Dan itu semua yang tidak terjadi pada Paulo Bento. Sebab, ia tak mau melihat terus dan terus saja bersikap kepada Korea Selatan: Sebatas musuh. Dan selalu terus saja memusuhi. Perjalanan waktu telah mengubah semuanya…

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

 

 

Pos terkait