(Satu permenungan atas satu alur sidang pengadilan)
Oleh P. Kons Beo, SVD
“Apa yang merupakan kebahagiaan bagi seseorang, boleh jadi merupakan mimpi buruk bagi orang lain. Begitulah yang terjadi saat ini, dan akan demikian selamanya” (Bertolt Brecht – Dramawan Jerman, 1898-1956)
Tendensi ‘bikin emosi’
Yang terjadi hari-hari ini sebenarnya adalah letusan emosi. Tak sekadar letusan emosi biasa. Tetapi, ia telah masuk dalam perangkap kompetisi liar. Pertarungan untuk ‘saling bikin emosi’ sudah tak terhindari. Maksudnya, agar ‘yang di seberang sana’ jadi sekian emosional.
Jelas, ini tidak dalam arti emosional yang bercabang-ranting pada emphathy dan simpathy. Yang nantinya berujung pada tindakan bernafas misericordia-karitatif. Bukan. ‘Saling buat sakit hati antarkubu’ sudah jadi nyata. Segala gesture dan diksi sudah dikaroseri. Demi mengiris rasa buat yang di sana.
Sebatas rasa ceriah oleh kemenenangan tim, itu belumlah cukup. Mesti ada ‘tambahan ungkapan kegembiraan’ yang bikin pendukung lawan harus ‘makan hati.’ Tapi sabar dulu. Justru yang kalah pun jadi semakin sentimental dan emosional. Itulah ‘kebenaran dan harus dibenarkan.’
Logika kebenaran emosi
Ada prinsip agak samar, “Di lapangan kami boleh kalah. Tetapi, ingatlah! Di level tribun penonton, kamilah yang harus jadi pemenang! Dan itu harus. Dan di situ, di tribun itu, kekerasan tampak beringas. Demi kebenaran emosional. Yang tak tertanggulangi.
Makanya, mesti dingat bae-bae. “Menang itu hanya untuk kita. Sakit hati itu milik yang di sana. Sebab itu, biar kita menang, tapi jangan terlalu lagak-lagak yang hanya umpan emosi.” Kita kini tampak semakin tak bijak. Ya sedikit liarlah dalam ‘umpan dan bikin emosi dalam gerak dan kata.’ Kita sudah meramu jadi satu: data – fakta dengan ‘bikin emosi.’ Pun ‘tak berfakta-tak berdata dengan ‘umpan amarah.’
Simaklah pula lukisan ini. “Silahkan Andalah yang jadi pemimpin! Namun, Anda tak akan pernah tenang di kediaman resmi. Sebab, di kebisingan jalanan kamilah pemenang dan pengaturnya.” Kira-kira begitulah logika sederhananya. Tampaknya tak ada kalah-menang obyektif yang mengikat. Sebab ia masih disisip-sisip, ya bahkan disumbat mati oleh emosi.
Logika rasional telah diborgol?
Masih merasa seharusnya menang, dan masih tertimbun rasa diakali untuk terpaksa kalah sering masih menebal. Diperam dalam dendam. Maka, di situlah, aksi-reaksi suram berkerayapan. Tanpa jedah. Selalu terulang dan terulang kembali. Pohon akal sehat tumbang. Sepertinya tercabut pula seluruh akarnya. Sebab, kita kini nampak lebih berkiblat pada pohon emosional.
Logika rasional telah diborgol. Dan sudah tersekap pula! Sebab, orang hanya mau ikut emosi. Dan bahkan rela tenggelam dalam lautan emosi pula. Larut dalam ungkapan sebatas rasa. Tidak kah kini, di sana sini, lahirlah badut-badut sebatas rasa? ‘Kebenaran emosional’ dimaklumkan. Yang faktual diremas dan hendak dibikin tak berkutik.
Kebenaran yang tersumbat
Di pengadilan, orang ‘enggan memeluk kebenaran.’ Pun untuk hanya mau mendekati kebenaran, itu serasa telah tersumbat. Penuh rintangan. Sebab saksi kebenaran faktual sudah tersangkar dalam emosi. Penuh takut dalam ketakberdayaan. Namun, itu sebenarnya untuk hanya mempermainkan emosi seisi sidang pengadilan.
Dan lagi, di pengadilan itu, hanya ada pecahan-pecahan mozaik. Yang coba dibongkar pasang sana-sini. Hanya demi satu ‘figura kebenaran’ yang dipaksakan. Benar atau palsu, fakta atau fiksi, kenyataan atau mimpi, serius atau jenaka, pun ‘yang sesungguhnya atau hanyalah setingan,’ semuanya lagi menguji kesanggupan akal sehat. Dalam meterai hati nurani bening.
Jalan tanjak kebenaran dengan penuh tikungannya
Jika ingin “suci lahir dan di dalam batin,” maka sepatutnya “tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkiran debu setingan yang masih melekat.” Kira-kira begitu harapannya.
Kita lagi sulit berkarib sejati oleh karena kebenaran rasional dan faktual! Sebab kita lagi diayak-ayak oleh kebenaran emosional. Antara mendekat atau menjauh, merangkul mesrah atau melabrak obyek, semua gelagat itu selalu dikomando oleh alam emosi. Itu yang dapat ditangkap dari K.R Scherer dan H.G Wallbot.
Tak ada kepedulian sama sekali pada fakta, jika memang emosi lagi membara. Pakaian kebenaran faktual selalu hendak dicabik. Sebab, yang lebih digandrungi adalah jubah kebenaran emosional. Bila dirujuk pada Henri Frijda, maka alangkah dahsyatnya pengaruh emosi itu. Itulah triumfalisme satu sisi kepribadian yang sungguh berdaya rusak bagi kebenaran itu sendiri.
“Pengaruh emosi dapat menyebabkan kita menghindari dan menolak beberapa orang, membantu dan menerima orang lain, mendominasi atau menyerah pada orang lain, dan menghormati atau mengejek orang lain…., “ tulis psikolog dan profesor dari Universitas Amsterdam itu.
Tesis Henri Frijda itu tentu dapat dipahami mudah. Kita tak akan pernah sanggup tiba pada kebenaran faktual di sana, pada alam orang lain, pada segala yang nota bene bukan atau berbeda dari kita. Sebab kita hanya berbekal pada kebenaran emosional itu. Yang umumnya bising, gelegar, masif serta opresif. Dan yang lebih cilakanya lagi saat ‘kuasa ilahi harus dicatut’ untuk mendogmakan semua ‘kebenaran itu.’
Tak boleh rabun dan berkatarak akan kebenaran
Di hari-hari ini, kita memang tengah dibuat semakin rabun terhadap akal sehat. Satu kenyataan, kebenaran, tetap diupayakan agar terblokir. Dia dibikin tak punya akses jelas dan pasti demi tiba pada keputusan. Dan publik pun hendak dibuat terkecoh. Dibikin panik dan tak tenang. Dan lalu terungkap dalam marah dan makian. Bagaimana tidak?
Lihatlah! Bagunan logic, yang mulai tersusun rapih dalam hukum-hukum rational, sepertinya goyah oleh satu serangan kebenaran emosional. Bukan kah sebuah drama yang dipaksa masuk dalam aula punyanya primat kebenaran, pasti bikin heboh dan juga menggelikan? Kita sekiranya masih berlayang-layangan di atas dan bersama awan-gemawan. Sedikit pun tak hendak berpijak di atas kenyataan sesungguhnya.
Ruang pengadilan jadinya bagai gelanggang pertandingan antara kebenaran versus pembenaran. Selebihnya tidak! Siapapun hanyalah sebatas ‘lebih mendekati atau lebih menjauh dari kebenaran itu.’ Tetapi, repotnya, itu tadi, jika fakta terus saja dicekik oleh satu permainan emosi.
Gelanggang pertandingan penuh ‘riuh namun senyap’
Celakanya lagi andaikan nantinya pengadilan nyata-nyata tak imun dan tak steril dari tendensi pengaturan hasil dari semuanya. Di pengadilan memang yang ada di ujungnya hanyalah ‘atau kalah atau menang.’ Namun, semuanya dalam primat dan kehormatan kebenaran! Tidak karena emosi sana-sini yang menjebak. Pun tidak oleh satu pengaturan.
Bagaimana pun yang juga tetap jadi momok itu tetaplah ‘pemain luaran.’ Apakah satu kematian mengerikan, misalnya, sungguh bertolak dari ‘reaksi emosi singular tak tenkontrol terhadap satu kisah yang sejatinya amat privacy ruangnya?
Ataukah sebenarnya ini semua hanyalah satu ‘reaksi kolektif atas rasa solidaritas negatif’ yang bertali-temali sana-sini? Mengapa tidak? Dan karena itulah, di ruang pengadilan, tetap saja ada ‘baku rabik’ yang mempermainkan emosi, bertele-tele, serta tak sinkron. Fragmentasi episode demi episode berdiri sendiri. Yang sedikit pun tak pernah jelas benang merah penghubung satu dengan yang lainnya.
Racikan para bouwheer elitis?
Dan lagi, semuanya pasti tambah rumit, jika memang ada para pemain inti yang beraksi dari dalam kesenyapan. Bukan tak mungkin bahwa kita tak luput dari para bouwheer (bohir). Selalu saja ada orang yang beraksi sebagai “pemberi tugas, pemilik proyek atau owner.”
Kelompok bohir tak pernah akan mau rugi. Tak mau hancur lebur oleh apa pun yang jadi tandingannya. Demi segala nafsu kepentingan, para bohir selalu ‘rindukan’ kegaduhan, ketidakadilan, situasi khaos, dan teror.
Itulah yang sudah dan tengah dicemaskan hari-hari belakangan ini. Sekiranya ‘group bohir elitis’ sudah dengan murah meriah dan enteng masuk ke ruang pengadilan. Memainkan ‘kebenaran emosional’ untuk menjebak kebenaran faktual. Yang sesungguhnya.
Akhirnya
Renungkan apa yang terjadi hari-hari ini. Di sini, dalam deraian air mata, “kesederhanaan menangisi kebenaran. Agar nanti sungguh jadi miliknya. Tetapi di sana, walau tak jelas dan terbata-bata, kemewahan masih tetap bersiasat demi pembenarannya…. “Itulah hidup, semakin biasa. Seakan tak pedulikan lagi.” Jika memang yang elit tetap ingin terus berpesta pora maka segala cara pun dikerahkan! Entah mau sampai kapan?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma