Oleh: Agustinus Siswani Iri
Minyak goreng merupakan hasil olahan buah kelapa sawit yang paling populer dan menjadi bahan pangan yang wajib ada di dapur yang kini semakin langkah didapat di pasaran.
Media TV, instagram, facebook tersebar video yang menampilkan puluhan warga rebutan untuk mengantre membeli minyak goreng berbagai kemasan. Berita kelangkaan minyak goreng menjadi berita terseksi belakangan ini yang masih menjadi isu yang menarik di kalangan elit politik, media, dan masyarakat umumnya. Isu ini menjadi menarik dan seksi karena Indonesia kekurangan minyak goreng di lumbung kelapa sawit.
Lumbung Kelapa Sawit, Krisis Minyak Goreng
Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar. Kompas.com pada 13 Maret 2022 memberikan data terkait produksi kelapa sawit tahun 2019 di daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia: Riau: 9.513.208 ton, Kalimantan Tengah: 7.664.841 ton, Sumatera Utara: 5.647.313 ton, Kalimantan Barat: 5.235.299 ton, Sumatera Selatan: 4.049.156 ton, Kalimantan Timur: 3.988.883 ton, Jambi: 2.884.406 ton, Kalimantan Selatan: 1.665.397 ton, Aceh: 1.133.347 ton, Sumatera Barat: 1.253.394 ton.
Melihat Indonesia sebagai produsen minyak goreng, maka secara langsung bisa dikatakan masyarakat Indonesia harus memperoleh ketersediaan bahkan kelimpaan minyak goreng dan mesti mendapatkan minyak goreng dengan harga yang terjangkau.
Seperti diketahui, Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006, menyalip posisi yang selama bertahun-tahun sudah ditempati Malaysia. Sementara itu media Liputan6.com, memberitakan bahwa Indonesia menjadi negara dengan ranking pertama eksportir terbesar minyak kelapa sawit di dunia pada 2020. Di mana total ekspor minyak kelapa sawit Indonesia tercatat mencapai sebanyak 37,3 juta ton dengan market share global mencapai 55 persen.
Di tengah tingginya produksi minyak goreng di Indonesia, namun telah tercatat dalam dua dekade Indonesia mengalami kelangkaan ketersediaan minyak goreng, sehingga menyebabkan tingginya harga minyak goreng di pasar. Terlihat banyak antrean untuk mendapatkan minyak goreng akibat kelangkaan ini. Pembelianpun terbatas jumlahnya setiap orang.
Selain itu para pedagang pun terjebak dalam kondisi dilema. Ketika menjual stok minyak goreng lama dengan harga eceran tertinggi (HET), maka pedagang akan rugi. Tetapi, jika stok lama tersebut dijual dengan harga di atas HET, dikhawatirkan pedagang yang bersangkutan akan kena sidak dari Satgas Pangan Polri.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. Mengacu pada UU No 18/2012 Tentang Pangan, dikatakan bahwa baik pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas ketersediaan bahan pangan dan stabilitas harga di masyarakat, maka dari itu sudah menjadi hak setiap warga negara untuk hidup dalam kesejahteraan yang telah diatur secara kontitusional.
Perlu diketahui bahwa harga eceran tertinggi minyak goreng yang tertera didalam Peraturan Kementerian Perdagangan No 6 Tahun 2022 yaitu minyak goreng curah Rp. 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp. 13.000 sampai Rp.14.000 per liter. Seluruh harga yang ditetapkan sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di dalamnya. Tugas pemerintah menjaga stabilitas harga minyak goreng dan ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat.
Kerugian Masyarakat Akibat Kelangkaan Minyak Goreng
Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies atau IDEAS memperkirakan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat akibat krisis lonjakan harga minyak goreng mencapai Rp 3,38 triliun. Selain kerugian ekonomi yang disajikan lembaga riset tersebut ada juga kerugian jiwa.
Baru-baru ini, tepatnya tanggal 12 Maret 2022 terjadi kabar duka di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur terkait seorang ibu yang dinyatakan tewas setelah pingsan saat antre membeli minyak goreng di salah satu pusat perbelanjaan.
Krisis minyak goreng yang melanda Indonesia beberapa waktu belakangan ternyata menyisakan cerita duka yang menyayat hati. Bagaimana tidak, setidaknya ada orang yang meninggal dunia setelah mengantre berjam-jam di pasar hanya untuk mendapatkan minyak goreng.
Kerugian lain juga terkait keberadaan antrean yang tak terkelola dengan baik disinyalir sangat merugikan, baik dari sisi pelanggan maupun dari pelaku bisnis itu sendiri. Selain waktu dan tenaga yang terbuang percuma, ternyata ada imbas finansial yang ditimbulkan, nilainya bahkan mencapai miliaran rupiah setiap harinya.
Dari masyarakat yang antre untuk mendapatkan minyak goreng ternyata ditemukan kerugian yang cukup besar setiap harinya. Jika kita ambil sampel dalam pelayanan minyak goreng ada 2.820 titik pada Maret 2022. Jika dalam satu titik antrean untuk mendapatkan minyak goreng sebanyak 200 orang warga, maka total akan ada 564.000 warga setiap harinya yang terjebak antrean.
Rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia adalah Rp 10.000 per jam. Jika diasumsikan per orang menunggu 1 jam maka ada kerugian sebesar Rp 5,64 miliar setiap harinya.
Belum lagi, ada pengorbanan yang harus mereka berikan untuk datang ke tempat dan mendapatkan pelayanan. Mulai dari meninggalkan pekerjaan, sampai mengorbankan biaya perjalanan untuk datang mengantre. Apalagi jika layanan di hari tersebut sudah penuh, keesokan harinya harus mengatur jadwal dan mengorbankan waktu untuk datang kembali, otomatis biaya yang dikeluarkan menjadi dua kali lipat. Situasi stres, putus asa dan tertekan juga merupakan kerugian immaterial yang harus mereka tanggung.
“Menggoreng” Mafia
Hati-hati ya, kata pepatah ‘Siapa bermain api, awas kena api’. Dan bisa jadi, siapa yang bermain minyak goreng, bakal kena ‘goreng.
Mengapa minyak goreng langka dan mahal? Penyebab minyak goreng langka menurut Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, yaitu pertama, karena kebocoran untuk industri yang kemudian dijual dengan harga tidak sesuai patokan pemerintah.
Kedua, ada penyelundupan dari sejumlah oknum. Pernyataan Menteri Perdagangan ini mesti diselidiki kebenarannya. Jika tidak ada bukti maka tidak ada kejahatan, tetapi bila ada bukti maka mesti ditelusuri kebenarannya. Bila itu ada kejahatan karena disebabkan mafia sangat disesalkan. Kelangkaan minyak goreng yang disebabkan perbuatan disengaja dengan menimbun barang produksi minyak goreng terang dan jelas merupakan tindak pidana disengaja (dolus) dan tidak ada celah hukum karena lalai (culpa), apalagi peristiwa kelangkaan minyak goreng di pasaran diduga termasuk perbuatan korporasi distributor berskala besar.
Bila ada dugaan mafia minyak goreng maka tidak ada alasan pemaaf dan apalagi alasan pembenar perbuatan pengusaha melakukan pembelian besar-besaran dan melakukan penimbunan minyak goreng melampaui batas yang sudah ditetapkan dalam UU. Apalagi dengan tujuan memperoleh keuntungan berlebihan di tengah-tengah penderitaan masyarakat untuk memperoleh minyak goreng untuk keperluan sehari-hari.
Masyarakat ingin tahu siapa-siapa yang menjadi mafia minyak. Polisi sebagai penegak hukum perlu segera mewujudkan kepastian hukum dan keadilan terkait langkanya minyak goreng ini. Kita berharap ada pengusutan oleh kepolisian secara tuntas dan akuntabel agar para mafia minyak goreng dapat “digoreng” dalam hal ini dikenakan sanksi hukuman. *
Rohaniawan Katolik, Tinggal di Bandung