Oleh P. Kons Beo, SVD
“Anda tidak marah dengan orang lain ketika Anda menertawakan mereka. Humor mengajarkan toleransi” (William S. Maugham, 1874 – 1965, penulis drama, Inggris)
Dunia Humor Yang Terpenjara?
“Tidak layak dan immoral. Hanya cocok dengan sifat kasar dan bodoh.” Itulah lukisan penilaian tentang humor di masa Aristoteles hingga Plato (Budi Sarasati, 2017). Konsep peyoratif dan sakarstik seputar humor seperti ini tentu bertahan. Hingga masa kini.
Tak bisa ditampik bahwa forma dan isi humor pun sering dikaroseri dalam relasi surplus dan minus. Artinya, seseorang yang merasa diri superior, merasa punya hak untuk ‘menertawakan orang lain karena kebodohan, kelemahan dan kekonyolannya.’
Apa yang ditelaah oleh Wasson (1926) bisa menjelaskan secara simplistik daya dan fakta tentang dunia humor. Tulisnya, “Humor adalah sesuatu yang merasa geli di otak dan tertawa adalah cara untuk menggaruknya.”
Namun, tentu patut dipertanyakan jenis geli apakah yang ada di otak? Dan, adakah rasa dan sikap penuh kewajaran untuk tiba pada ajang ‘tertawa sebagai garuknya?’ Di titik inilah ada sekian banyak hal yang sepatutnya disimak dan dicermati secara amat hati-hati.
Humor: Usilan Menuju Pembebasan
Humor tentu tak selamanya berkonotasi baik dalam perkembangannya. Bayangkan hingga abad ke 17, sebagaimana dicatat oleh Sarasati, bahwa publik menerima dan merasa wajar jika tertawaan itu ditembakkan pada yang cacat fisik dan cacat mental. Tetapi, syukurlah akan sumbangan para humanis-moralis di awal abab ke 18. Humor sepantasnya mesti bersifat simpatik dan menghibur.
Demikianpun sense of humor yang adalah cikal bakal imperium jenaka. Yang menantang agar tak boleh hanya melihat diri dan dunia dalam peran dan teater teramat sangat serius. Tiada humor. Tanpa senyum kelegahan sebagai kanal katarsisnya.
Tentu saja citra humor yang sehat itu tidak boleh terpolusi oleh debu-debu candaan atau lukisan apa saja yang bersifat kasar, keras dan kejam. Maka, perlu disadari bahwa humor tetaplah jadi ‘panggung hiburan jenaka.’ Agar manusia tak kehilangan smiling approach (pendekatan senyum) dalam ‘keras dan rumitnya’ dunia kehidupan ini.
Humor Menggugat Hati Kita Yang Beku
Dari arena humor didapati pandangan baru tentang peliknya hidup. “Saat berada dalam situasi sulit, yang dapat membuat seseorang menderita depresi, kecemasan dan kemarahan yang meningkat.” Sebab itulah, daya dan aksi humor itu menuntut kecerdasan tertentu yang meyakinkan. Agar orang lain sungguh merasa jenaka atas ‘isi, pilihan, pengalaman serta jalan hidupnya yang tengah disusurinya.’
Sekian banyak pendapat yakini bahwa litania aksi jenaka dan daya humor itu adalah ‘arena rumah sehat.’ Yang pancarkan keceriahan, spontanitas, serta aura apa adanya. Suasana dan alam ‘gunung es, dingin, beku dan kaku’ dicairkan oleh hangatnya daya humor yang cerdas. Yang mempertautkan relasi positif antara sesama manusia.
Tetapi bukankah humor itu telah dapatkan banyak tuduhan? Ia dianggap sebagai cara dungu untuk berlari dari kenyataan hidup yang sebenarnya. Humor dituduh sebagai ‘virus tak serius.’ Yang lemahkan kerja keras dan semangat perjuangan.
Humor: Dibenci dalam Agama?
Yang paling menyedihkan bahwa alam humor dianggap oposisi serius dari satu dunia nan sakral. Tak boleh ada senyum dan tawa dalam selebrasi iman. Sebab sudah dipastikan bahwa Tuhan jelas bersorot mata tajam jika ada umatNya berjenaka dalam ruang kudusNya.
Agama dan ritualnya adalah kepastian. Tak boleh dicorat-coret oleh ‘aksi-reaksi maen gila bodok.’ Sebab yang terperankan adalah bagian dari alam penuh khusuk, hening, syahdu, meditatif dan kontemplatif. Humor dan aksi kocak tentu tak boleh dapat celah sedikitpun.
Tuhan dalam agama, katanya, bukanlah Tuhan humoris penuh tawa. Ia bukan Tuhan yang melebar dalam senyum jenaka. Apalagi sebagai Tuhan yang tertawa terbahak-bahak. Dan, katanya pula, kaum tertentu yang dipanggil dan dipilih Tuhan, setidaknya harus terlatih untuk tertawa ‘yang punya forma terukur.’ Itulah aksi ‘tertawa religius’ yang tak asal ‘tempias terkekeh-kekeh.’
Pernahkah terpikirkan bahwa agama tanpa sense of humor bisa membahayakan? Saat keseriusan dalam agama mesti dijaga amat ketat. Humor tak boleh ada dalam agama dan keyakinanku. Yang kuanggap pasti, sungguh, dan benar! Namun anehnya, ada usaha penuh geli untuk ‘menghumorkan’ agama dan keyakinan orang lain.
Humor itu Lompat Batas
Humor dan segala lantun jenakanya adalah pintalan tali temali yang merekatkan. Yang memperkaribkan satu dengan yang lain. Dalam kesemestaan. Tanpa pembedaan dan pembatasan apapun. Sebab, humor itu bebas dari nuansa SARA. Ia bahkan melampauinya.
Gairah humor tak pedulikan batas dan segala tembok dan ruang pemisah manapun. Humor pun tak mau ‘diper-agamakan dalam keyakinan tertentu belaka.’ Kisah humoristik yang piawai itu bebas dari pasal penistaan agama. Kejenakaan yang sehat dan dalam kewajaran dari mimbar gereja, misalnya, tidak bisa dikutuk hanya karena ‘pengarang humor itu diklaim dari seorang saudara muslim.’
Humor Itu Anti Politisasi
Yang jadi masalah kini adalah bahwa originalitas humor sudah dipasung sejadinya. Ia jadi tak lepas bebas merdeka. Sebabnya, itu tadi, bahwa humor tak tampak lagi sebagai subyek dalam dirinya. Yang jadi prima causa dari segala senyum dan tawa semesta. ‘Humor telah dikudeta dan sudah kehilangan pamornya yang seharusnya.
Rasa permusuhan, ketidaksukaan serta kebencian, telah mendobrak ‘humor’ dalam candaan oleh hanya sekelompok. Di sini, ‘humor sakarstik’ dibangkitkan kembali. Sebab orang bisa bergairah dalam candaan ‘saat yang dianggap lawan atau musuh’ berada dalam kemalangan, kesedihan, dan penderitaan.
Dan lagi, orang bisa bersembunyi serta berkelit dalam ‘sekedar candaan atau humor’ saat satu dua hal serius ditanggapi publik sebagai penistaan.
Humor teraplah humor yang lahirkan suasana senyum bersama. Ia bukan sekedar politisasi lucu-lucuan yang menyasar sesama dalam hinaan dan sarat kepentingan untuk mempermainkan yang tanpa batas dan sungguh merendahkan.
Citra Humor Mesti Dipertahankan
Apa yang diyakini dan diteorikan oleh Freud sungguh diamini Maslow dan Allport. “Kepribadian yang sehat dan matang diperlihatkan oleh gaya humor yang non-hostile, philosophical dan self-accepting.”
Namun sayangnya, seturut mata analisis Maslow dan Allport, humor yang sehat itu jarang terjadi. Kita kehilangan panggung jenaka yang ‘bikin kita tertawa lepas bebas.’ Sebaliknya kita hanya dibuat ‘makan hati’ untuk melihat hanya sekelompok orang yang mempermainkan sesamanya dalam lucu-lucuan tidak pada tempatnya.
Kita pasti rindukan ‘kumpul-kumpul bersama’ dalam jenaka yang bikin tertawa kocak meledak. Tentu pula hal ini menyehatkan dan mencairkan suasana ‘panas dan berdebu’ dalam relasi. Sayangnya bila arena humor itu ditinggalkan. Sebab, katanya, orang lebih suka pada ‘kelompok bisik-bisik. Senyap dan tersembunyi demi rahasia kepentingannya.’ Pun orang lebih tertarik pada kumpul-kumpul dengan yang urat cocok. Hanya untuk menghina, mempermalukan, dan membidik nama sesamanya.
Akhirnya….
Kita memang mesti belajar untuk merawat selera humor yang benar, sehat dan tentunya bermakna pedagogik. Sesekali, mari tinggalkan dulu ocehan group yang tampil hanya sebagai pengeritik penuh nyinyir tanpa solusi. Dan mari menatap (kembali), misalnya, orang-orang seperti Sule – Andre – Nunung atau Rina Nose. Sebab Indonesia memang tak boleh kehilangan ajang stand up comedy.
Indonesia memang tak kehilangan meme-meme kocak yang bikin orang senyum-senyum sendiri. Dan itu tak hanya menyehatkan. Tapi membawa pesan nilai pula. Sebab itu, mari tinggalkan saja seruan-seruan yang hanya bikin darah naik penuh marah dan kebencian. Yang hanya mau merusakkan dan mencerai beraikan.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro, Roma
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma