Oleh P. Kons Beo, SVD
Ada yang sungguh terganjal di hati Luca Modrić. Kapten Kroasia itu tak habis pikir akan hukuman pinalti bagi timnya. Dia kesal berat akan keputusan Daniel Orsato. Wasit itu dinilainya tak jeli. Untuk menilai apa yang sebenarnya terjadi di area pertahanan Kroasia. Luka akui dirinya jarang dan bahkan tak suka komen tentang wasit. Tapi malam ini, ia dipaksa untuk menggerutu. Iya, tentang wasit.
“Rigore non c’era, E’ alvarez che colpisce Livakovic. Direzione disastro.” Itu yang terbaca dari Eurosport. Iya, tak ada pelanggaran yang berujung pinalti. Yang terjadi, justru Alvarezlah yang melanggar Livakovik, penjaga gawang Kroasia.
Modrić di akhir pertandingan kemarin tak kuasa menahan rasa. Kecewa, marah dan sedih bercampur. Usianya telah 37 tahun. Sekiranya itulah pertandingan putaran final terakhir bagi negerinya. Playmaker Real Madrid itu mesti mundur di perlehatan 2026 nanti.
Tapi itu bukan hal yang paling penting dari kisah penalti untuk Argentina. Keputusan Orsato, wasit asal Italia itu, tidaklah sulutkan emosi tak terkontrol. Pemain Kroasia tetap kuasai diri. Tak ada protes keras atau “serang wasit segarang-garangnya.”
Takluknya Kroasia 0 – 3 itulah hasil yang pas. Argentina dan Messinya terlalu tangguh dan luar biasa. Itu yang harus dijempol. Bagaimana pun, untuk Argentina vs Kroasia, tak ada hasil dan suasana akhir yang terus getarkan kemarahan, permusuhan, apalagi kebencian.
Rangkulan Messi terhadap Modrić, sesudah pertandingan itu, adalah satu pesan damai. Iya, satu pesan persahabatan. Bukankah di kisah-kisah lalu el Clasico itu Messi-El Barca dan Modrić-Real Madrid saling menantang? Dan kini keduanya masih tetap saling tantang saat Real Madrid versus Paris Saint-Germain? Namun, persahabatan sebagai sesama football players tetap terajut.
Lawan boleh lawan, saing boleh bersaing. Tapi, toh pada akhirnya kebesaran jiwa yang harus jadi pemenangnya. Satu pelajaran mahal yang mesti ditangkap. “Saat sibuk kerja di lapangan, kita harus kompetitif. Bersaing penuh perjuangan dan sportif.” Di keseharian, haruslah sejuk dan damai.
Yang ini buat saya teringat akan satu stiker di satu mobil travel di Kota Ruteng. Tertulis di kaca depan, “Bersatu di pangkalan bersaing di jalanan.” Yang ini pasti bertolak belakang dengan banyak kenyataan berbeda untuk alam sepakbola.
Lihat saja! Para pemain, semuanya, ada ‘aman-aman di pangkalan lapangan,’ tapi para suporter ini yang ‘mulai emosi sembarang’ sampai luar lapangan. Dan ini yang memang berat dan membahayakan. Tapi mari tinggalkan dulu Messi dkk vs Modrić dkk.
Tim Tango kini lagi menanti Prancis di final. Dalam laga penuh sengit, akhirnya Prancis boleh melenggang ke final. Maroko mesti terhenti di hasil akhir 0 – 2. Gol Theo Hernandez dan Randal Kolo Muani hentikan ambisi besar Maroko demi ke final. Bagaimana pun, Prancis boleh berjaya, namun salut dan aplaus mesti jadi milik Maroko pula. Maroko sudah punya sejarah. Jadi tim pertama benua Afrika yang masuk semi final.
Satu perlawanan penuh sengit. Sepertinya kalah dan menyerah hanya ditentukan pluit akhir. Bukan setelah lawan sudah ciptakan gol. Mungkin itulah prinsip heroik yang dimiliki Maroko. Serang dan terus menyerang.
Bukankah sebenarnya buat Maroko ada peluang untuk ciptakan gol? The Atlas Lions sungguh tak beruntung nasib malam tadi. Bayangkan saja, andai di jelang akhir babak pertama itu tendangan salto Jawad El Yamiq berbuah gol? Atau sebelumnya, saat tendangan jarak jauh Azzedine Ounahi tak mampu ditepis penjaga gawang Prancis, Hugo Llioris. Cerita pertandingan bisa berakhir lain.
Tapi, tak usah berandai-andai yang ‘buang-buang waktu.’ Bagi yang fans berat Prancis, seperti ponaan saya Maroz Sari di Ende sana, pasti larut dalam sukacita tak terbendung. Tak mau repot dengan ‘banyak andai-andainya.’ Intinya, Prancis, juara bertahan sudah ‘tembus final.’
Maroko terhenti untuk ke final, setelah ia gebuk tak berkutik tim-tim favorit. Belgia, Spanyol dan Portugal takluk di tangannya. Kini, Maroko mesti bersiap hadapi Kroasia demi tempat ketiga.
Kini, tentu mulai muncul komen-komen sengit. Seputar akan seperti apa nanti perjumpaan dua jawara PSG, Messi versus Mbappé di partai final, di Lusail Stadium itu? Tak hanya itu. Duel sengit pasti tersaji antara juara Amerika Latin 2021 dan juara bertahan Piala Dunia 2018.
Tarung-tarung komen pasti sengit pula dalam sekian banyak WA Group. Apalagi untuk partai final sekelas Piala Dunia. Kita saling tunggu saja.
Tapi harapan besar saya, semoga teman kelas saya Valens Daki Soo itu “rajin-rajin komen jugalah. Biar ada warna energi positif juga di WA group kita.” Kita yang lain komen asal habok dan bikin ramai saja. Tapi untuk teman kelas kami seperti Romo Stef Buyung, kami pasti maklum.
Beliau ini Karmelit yang tak suka heboh. Jauh dari alam yang anti silentium. Bukankah hura-hura stadion itu sungguh-sungguh kontra dengan aklamasi, “O kesunyian yang membahagiakan?”
Les Bleus benar-benar beruntung. Tapi akankah Si Ayam Jantan, Prancis ini, akan beruntung lagi di laga final nanti? Bersiap-siaplah kita menikmatinya. Yang jelas Mbappé pasti akan kencang melaju. Namun, mungkinkah Messi akan menjinakkannya dengan gerak tubuh dan passing-passingnya yang indah, akurat dan terutama berdaya magik?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma